Tips Mengenyahkan Pedophilia dari Muka Bumi
Trauma Anak korban Pedophilia bisa membuat ia gila. |
Tragis dan memilukan. Membuat pelakunya dihujani rutukan. Makian. Ancaman bahkan laknat dari Tuhan. Tambah ngeri lagi ternyata ini bukan kasus pertama. Bisa jadi ini kasus kesekian yang kebetulan saja terungkap. Pelakunya adalah pekerja cleaning servise sekolah tersebut.
Puluhan kasus serupa terjadi dimana-mana. Mungkin jumlahnya malah bisa melampaui bilangan puluh. Ratusan bahkan ribuan di seluruh dunia. Dari tahun 1950 sampai 2002, sebanyak 10.667 anak-anak dilaporkan menjadi korban pelecehan seksual oleh 4392 pastur.
Studi ini dilakukan oleh The American Catholic bishops tahun 2002 sebagai respon terhadap tuduhan adanya penyembunyian kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan para tokoh Gereja.Ini data tahun 2002, 12 tahun silam, apatah lagi sekarang.
Komnas Anak mencatat, jenis kejahatan anak tertinggi sejak tahun 2007 adalah tindak sodomi terhadap anak. Dari 1.992 kasus kejahatan anak yang masuk ke Komnas Anak tahun itu, sebanyak 1.160 kasus atau 61,8 persen, adalah kasus sodomi anak (Kompas.com, 10/4/2008).
Ya Allah… kemanalah kami harus mencari tempat yang aman untuk anak-anak kami. Jika lingkungan terdekatnya saja bisa membuatnya frustasi.
Membesarkan anak-anak di zaman edan seperti sekarang benar-benar stress. Berbagai bahaya mengancam mereka. Bukan saja kasus kekerasan, pembunuhan, penjualan organ, penculikan hingga menjadi korban kaum Sodom, kaum terlaknat pedophilia.
Aku benar-benar tidak bisa terpejam demi mengawasi anak-anakku hari ini. Solusi yang ditawarkan jauh panggang dari pembakaran. Nggak nyambung. Seperti mau memberantas HIV/AIDS dengan membagikan kondom gratis. Solusi gila.
Inipula yang coba ditawarkan oleh salah seorang psikiater dalam buku Alfie’s Home. Anda bisa baca catatan saya berjudul ada apa dengan buku Alfie’s home.
Lalu bagaimana tips mengenyahkan pedophilia dari muka bumi ini. Simak tips saya kali ini.
Pertama, pelaku sodomi harus dibunuh. Hukum bunuhnya dengan cara dijatuhkan dari ketinggian. Disaksikan oleh khalayak ramai. Disiarkan oleh seluruh media. Baik elektronik maupun media cetak.
Hukuman ini akan menjadi pencegah tindak serupa terjadi. Orang yang menyaksikan eksekusi akan merasa ngeri meniru-niru kejahatan macam ini. Kalau toh ada yang sudah terlanjur ketularan, maka dia tetap akan berfikir seribu kali. Tak layak pelaku pedophilia (sodomi anak) dihukum kurungan penjara. Hukuman penjara sama sekali tidak akan menjadikannya jera.
Namun hukuman bunuh untuk pelaku pedophilia hanya bisa di jalankan kalau syari’at Islam diterapkan. Kalau di Negara demokrasi macam negeri kita ini, justru akan menjadi bahan bully.
Tentu saja hukuman ini tidak boleh dilaksanakan oleh masyarakat sipil. Hukuman ini hanya boleh di lakukan oleh pemimpin tertinggi, yaitu Kholifah. Kepala Negara KHILAFAH. Sayang sekali, hingga saat ini belum ada satu orangpun yang dibaiat. Sehingga pelaksaanaan hukum ini belum dapat terealisasi.
Apalagi di negara Demokrasi. Bulshit! Karena demokrasi memang mengayomi para pelaku kejahatan atas nama hak asasi manusia.
Kedua, stop penyiaran reka ulang kejahatan. Selama ini masyarakat justru dididik tata cara melakukan tindak kejahatan dengan adanya tayangan reka ulang. Disiarkan secara terang-terangan. Mulai dari modus operandi, alat-alat yang di gunakan dan detail kejahatan diterangkan. Disisi lain justru vonis hukuman malah dikaburkan.
Implikasinya adalah, masyarakat yang semakin terbiasa dengan tindak kejahatan. Masyarakat yang sakit. Masyarakat yang labil. Karena benaknya dipenuhi dengan informasi sampah yang tidak hanya berbahaya tapi juga membahayakan. Tidak hanya rusak tapi juga merusak.
Mestinya kementrian komunikasi dan informatika (kominfo) mengambil kebijakan tegas. Tayangan apa saja yang merusak masyarakat, harusnya di bredel. Tapi sekali lagi, inilah realita di negara Demokrasi. Mana ada menteri punya nyali membredel tanyangan itu ini, kalau departemennya justru makan dari sana. Nanti lagi-lagi dituduh melanggar hak asasi manusia.
Ketiga, stop penyebaran pornografi. Kelainan seksual apapun bentuknya (homoseksual, lesbian, transgender, pedophilia) semuanya dipicu oleh bertaburnya pornografi. Pedophilia itu adalah penyakit menular. Ia menyebar seperti virus.
Dan virus itu adalah pornografi. Kelainan seksual akan cepat sekali menjangkiti suatu komunitas yang pornografi dapat diakses secara mudah. Indonesia salah satu negeri yang akses pornografinya tinggi. Bayangkan 97 % anak SMP di Indonesia mengaku pernah menonton film porno. Masya Allah…
Pedophilia, adalah salah satu dampak berbahaya dari kecanduan pornografi. selain faktor lain karena waktu kecil juga pernah disodomi. Seseorang yang sudah kecanduan pornografi akan terus dan terus mencari hal-hal baru yang bisa memuaskan birahi. Selalu distimulus untuk mengakses yang lebih tinggi. Hingga penyimpangan terjadi.
Lagi-lagi yang punya akses menutup penyebaran pornografi dengan segala derivatnya adalah pemerintah. Seharusnya pemerintah mengambil tindakan. Seluruh tayangan televisi baik iklan, sinetron, infotainment yang bernuansa pornografi yang tak layak disiarkan, benar-benar dilarang siarannya. Begitu juga Surat kabar, Koran, selebaran, dan media cetak lainnya harus dipastikan bebas dari pornografi.
Akses terbesar dalam penyebaran pornografi adalah internet. Bagaimana membebaskan dunia maya dari akses pornografi, wah tentu saja pakar-pakarlah yang layak bicara disini. Saya tidak punya kapabilitas bicara tentang IT.
Peran negara lagi-lagi penting untuk menjamin seluruh media terbebas dari akses pornografi. Ironi di negara demokrasi, lagi lagi keinginan untuk membebaskan diri dari pornografi selalu dikebiri. Alasannya ya karna itu hak asasi. Padahal jelas-jelas pornografi adalah biang keladi dari semua masalah ini. Mau sampai kapan berharap sama demokrasi?
Hanya Negara KHILAFAH lah yang akan sungguh-sungguh melindungi seluruh warga negaranya dari paparan pornografi.
Keempat, Stop pornoaksi. Seluruh warga negara wajib menutup aurat. Aurat sesama laki-laki, adalah dari pusar samapai kelutut. Jadi tidak boleh sesama jenis melihat apa yang ada di antara batasan tersebut. Sementara aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Siapa saja yang membuka aurat, berarti ia melakukan tidakan pornoaksi.
Jangankan melakukan tindakan tidak senonoh, wong membuka aurat saja sudah terkategori pornoaksi. Maka negara wajib menindak pelanggaran ini. Dengan cara apa? Tergantung tingkat pelanggarannya. Kalau pelaku homoseksual/lesbian ya ditindak seperti tips pertama. Dibunuh dengan cara dijatuhkan dari ketinggian. kalau pezina, lain lagi.
Kelima, menanamkan sex education sejak dini. Hm… sex education yang saya maksud bukan macam buku kesehatan reproduksi ala BKKBN zaman sekarang yah. Itumah sama saja dengan kampanye gaul bebas bung! Anda bisa membaca tips mengajarkan pendidikan seks untuk anak usia dini yang besok insya Allah akan saya posting.
Keenam, ajari defensive. Karena sekarang kejahatan ada dimana-mana, juga tidak pandang bulu pelaku apalagi korbanya, maka sudah seharusnya diri kita dan anak-anak kita belajar cara-cara defensive, alias cara-cara bertahan jika ada kejadian yang membahayakan.
Putri saya yang pertama—Naufa—punya cara yang unik untuk mempertahankan diri jika ada yang mencoba mengusilinya. Meski pelakunya masih teman sebaya, itu cukup efektif sebagai benteng diri. Anda bisa baca kisahnya di artikel dengan judul anak laki-laki mainnya sama anak laki-laki ya.
Namun jika pelakunya orang yang lebih dewasa, saya rasa ia juga belum punya kemampuan bertahan. Saya sendiri masih mencari guru untuk mengajari kami beladiri untuk pertahanan. Tempo hari di UNAIR ada yang mengadakan pelatihan tersebut. Namun saya belum berkesempatan ikut. Mungkin lain kali. Insya Allah…
Ketujuh, jalin komunikasi yang baik dengan putra-putri kita. Jangan biarkan ia murung dan stres. Karena anak-anak yang stres bisa dengan mudah dijadikan korban pedophilia. Janganlah kita menghancurkan hatinya dengan omelan dan ceracau orang tua. Itu sama sekali tak membuatnya nyaman. Terkait hal ini saya telah membuat artikel berjudul belajar dari ember pecah.
Kedelapan, selalu bersamai anak. Saat kondisi keamanan semakin mengerikan. Keberadaan kita di sisi si kecil akan menjadikan ia merasa aman. Naufa kini sudah 4 tahun. Anak-anak seusia Naufa, rata rata sudah sekolah. Namun saya memutuskan untuk tidak menyekolahkan Naufa hingga usianya genap 7 tahun.
Sebagai pengganti untuk ajang sosialisasi, saya kerap mengundang tetangga sekitar untuk bermain bersama di rumah. Kami bermain puzzle, hafalan al-Qur’an, menyanyi, bermain petak umpet, masak-masakan, mewarnai, menggambar dan lain-lain.
Sayang sekali, banyak ibu di luar sana yang tak seberuntung saya (selalu bisa di rumah membersamai anak-anak). Sebagian harus banting tulang bekerja sebagai buruh pabrik, berjualan di pasar, atau bahkan menjadi TKW di negeri orang.
Tak pernah bisa membersamai anak-anak mereka, memperhatikan mereka, mengasihi mereka, mengajak mereka bermain. Sedih sekali saat kodrat wanita yang seharusnya menjadi tulang rusuk malah beralih fungsi menjadi tulang punggung keluarga. Ibarat buah simalakama, bingung. Silahkan baca catatan saya ini wanita, antara kerja, bisnis dan menjadi ibu.
Sedih dan miris karena begitu banyak peran seorang ibu yang terabaikan yang menyebabkan kerusakan generasi di banyak sisi. Sedih, karena inilah realisasi demokrasi.
Andai saja KHILAFAH berdiri. Tentu negara akan memobilisasi laki-laki, untuk mencukupi nafkah anak istri. Sekarang perempuan jadi komoditi. Untuk memenuhi ketamakan liberalisasi. Ah… betapa merindunya diri ini, pada tatanan hidup Islami. Akidah Islam yang jadi pondasi. Negara KHILAFAH yang mengayomi. Memastikan kehidupan aman terkendali. Tak seperti sekarang ini. Apa-apa menjadi semakin ngeri.
Demikianlah tips mengenyahkan PEDOPHILIA dari muka bumi. Jika anda menawarkan solusi lain, monggo… semoga pendapat saya ini bisa jadi kontribusi untuk membenahi negri dari karut marut demokrasi.
Siwalankerto 02 Mei 2014, 00:20