Anak Laki-Laki Mainnya Sama Laki-Laki
Wajah Naufa Sumringah. Janji ke toko buku selalu bisa membinarkan wajah dan senyumannya. Bersegera bersiap dengan perlengkapan keluar rumah. Wangi sabun mandi masih tercium di kulitnya yang bersih.
“Ayo dek, cepetan mandi… kita mau ke took buku, nanti keburu tutup loh!” celotehnya menyemangati Naura agar segera mandi. “Kita mau ke toko buku, ya Bun…” Naura memandangku yang tengah memakaikan jilbab dan kerudung pada Naufa.
“Bunda… Booond!” Naura memekik karena tidak mendapat jawaban dariku. Tangannya menarik-narik bajuku. “Bundaaaaaa… Booond!” aku menoleh. Tersenyum dan segera menatapnya lamat-lamat. Mengangguk. “Iya… adek Naura mau ikut?” Naura mengangguk. Tersenyum lebar . Gigi depannya yang besar-besar tersembul.
“Kalau begitu, adek mandi dulu… biar nggak bau!” aku menutup hidung rapat-rapat. “Mbak Naufa tunggu di depan ya… sambil nunggu ayah selesai siap-siap” Naufa segera melangkah keluar. Paduan jilbab merah dan kerudung merah membuatnya begitu manis.
Kami bertiga telah siap. Menunggu ayah Naufa yang belum juga keluar. Sembari menunggu, Naufa dan Naura berjalan menuju sepeda motor yang terparkir tak jauh dari rumah kami. Maklumlah, jalan masuk ke rumah kami begitu sempit. Hanya muat satu motor saja. Jadilah teras rumahpun sangat minimalis. Untuk perkir kendaraan, harus memenuhi pinggiran rumah tetangga yang agak lapang.
Anak-anak kecil berlarian kesana kemari. Bermain dengan sesama anak lainnya. Jumlah anak-anak di gang sempit ini terbilang banyak. Enam, delapan, sepuluh bahkan mungkin selusin. Itu yang seumuran Naufa dan Naura. Belum lagi yang agak lebih besar. Sudah kelas 1-4 SD. Gang sempit dengan penduduk yang padat.
Sempurna sudah semua persiapan rekreasi hari ini. Tas ransel berisi bekal tergendong di punggung. Tiba-tiba terdengar jeritan dari arah parkir motor. Bukan… bukan tangisan Naufa juga buka jeritan Naura. Aku kenal sekali dengan kedua suara putriku itu. Lama aku mematung. Menatap di kejauhan tempat Naufa dan Naura menunggu ayahnya.
Seorang anak laki-laki seusia Naufa meraung-raung. Ibunya tergopoh membujuknya pulang. Namun tak juga ia beranjak. Meringkuk di tanah sambil memegangi tangannya. Anak-anak kecil yang lain menonton adegan itu. Semuanya terdiam bisu. Hanya suara tangisan anak lelaki itu saja yang mendominasi suasana. Naura bersembunyi di belakang punggung Naufa. Mengintip apa yang terjadi dengan anak lelaki itu. Aku menghampiri Naufa dan Naura.
“Kenapa, mba Naufa…” Naufa terdiam menggigit bibir.“Nggak papa kok bun, memang si Choki yang duluan nakal…” ibu anak lelaki itu menjelaskan padaku. Alamak… kenapa pula dengan anakku. Karena Naufa masih bungkam. Anak-anak yang lain menceritakan kejadian sesungguhnya.
“Tadi Chiko nggodain Naura, Bun... berkali-kali” tutur Vilda. Rupanya Naufa menggigit tangan Chiko karena tidak terima dengan perlakuan Chiko kepada Naura. “Ini adek ku…!” bibir Naufa manyun meneriaki Chiko yang kesakitan. Wajahnya mengkal menatap Chiko.
Aku segera minta maaf kepada ibu Chiko perihal gigitan Naufa. “Maaf ya bu… sekali lagi saya minta maaf…” kulihat tangan chiko yang kemerahan. Sebuah lingkaran yang meninggalkan jejak gigi tertato di tangan Chiko.
“Nggak papa kok, Bun… Nggak papa. Emang Chiko yang nakal” anak itu masih meraung. Sementara Naufa masih bungkam.
Sepanjang jalan menuju ke toko buku, aku mengajak Naufa dan Naura bercerita. Seperti biasa. Mengomentari mobil/motor bahkan sepeda ontel yang lalu lalang. Juga membicangkan reklame besar yang terpampang sepanjang jalan. Hingga aku menanyakan perihal kejadian tadi.
“Mba Naufa kenapa gigit tangan Chiko?” tanyaku pelan-pelan tanpa nada menyalahkan. “Tadi Chiko pegang-pengang pipi adek, Bunda… itu kan nggak boleh. Anak laki-laki kan mainnya sama anak laki-laki…” Naufa menjelaskan kekesalannya. “Ooo gitu, lain kali diingatkan aja, mbak... jangan digigit, kasihan kan… digigit itukan sakit, nak…” pembicaraan teralihkan. Sebuah motor dengan suara keras menyalip kami. Kepulan asapnya pekat meninggalkan jejak.
Setiba di toko buku kami bertiga langsung naik ke lantai dua. Sementara ayah Naufa masih senang memelototi kumpulan buku-buku yang baru terbit di halaman muka. Aku segera meraih buku yang telah kurencanakan baca, bergegas menuju tempat duduk yang disediakan disana. Naufa dan Naura sudah dengan keranjang. Merapat ke rak buku anak-anak. Asik dengan buku masing-masing.
Baru sepuluh menit jenak duduk dengan bacaan, lagi-lagi tangisan seorang bocah laki-laki menggema. Keras sekali sampai-sampai semua pengunjung menengok ke asal suara.
Aku menghampiri Naufa. Ia bersungut-sungut. “Itu bunda… anak itu… nempel-nempel Naufa!” aku merunduk, berjongkok diantara Naufa dan anak lelaki itu. “Terus…” tanyaku memastikan. Baru saja kejadian Chiko berlalu. Kini ada korban baru. “Terus Naufa gigit dia… soalnya dia di kasih tahu nggak mau!” Naufa memberi alasan sambil menggerutu kesal.
Astaghfirullah… aku menghampiri ibu anak lelaki tersebut. Ia tengah menggendongnya. Kulihat tangannya yang memerah. “Maaf ya, Bu… mohon maaf…” berbeda dengan reaksi tetanggaku, yang memaklumi sikap defensive Naufa. Ibu itu nampaknya marah sekali dengan kejadian itu. Ia beringsut turun dari lantai dua sambil ngomel-ngomel.
Memang, waktu kami naik, anak lelaki itu sudah membuntuti Naufa dan Naura. Entah kenapa. Apa karena keduanya memakai pakaian dengan warna mencolok sehingga mengundang perhatian untuk menggoda atau sebab lain, entahlah…
Yang jadi beban pikiranku kini, kenapa ya… anak-anak kecil jaman sekarang sudah seperti orang dewasa saja dengan lawan jenis. Kejadian ini bukan sekali dua. sering kali anak-anak lelaki sepantar Naufa dan Naura yang tak sengaja main ke rumah, menggoda Naufa atau Naura. Astaghfirullah…
Seringkali kusampaikan kepada Naufa dan Naura bahwa anak laki-laki mainnya sama anak laki-laki, anak perempuan main sama anak perempuan. Mungkin itu yang menyebabkan Naufa begitu defensive jika ada anak laki-laki yang mendekatinya apalagi menggodanya.
“Ayo dek, cepetan mandi… kita mau ke took buku, nanti keburu tutup loh!” celotehnya menyemangati Naura agar segera mandi. “Kita mau ke toko buku, ya Bun…” Naura memandangku yang tengah memakaikan jilbab dan kerudung pada Naufa.
“Bunda… Booond!” Naura memekik karena tidak mendapat jawaban dariku. Tangannya menarik-narik bajuku. “Bundaaaaaa… Booond!” aku menoleh. Tersenyum dan segera menatapnya lamat-lamat. Mengangguk. “Iya… adek Naura mau ikut?” Naura mengangguk. Tersenyum lebar . Gigi depannya yang besar-besar tersembul.
“Kalau begitu, adek mandi dulu… biar nggak bau!” aku menutup hidung rapat-rapat. “Mbak Naufa tunggu di depan ya… sambil nunggu ayah selesai siap-siap” Naufa segera melangkah keluar. Paduan jilbab merah dan kerudung merah membuatnya begitu manis.
Kami bertiga telah siap. Menunggu ayah Naufa yang belum juga keluar. Sembari menunggu, Naufa dan Naura berjalan menuju sepeda motor yang terparkir tak jauh dari rumah kami. Maklumlah, jalan masuk ke rumah kami begitu sempit. Hanya muat satu motor saja. Jadilah teras rumahpun sangat minimalis. Untuk perkir kendaraan, harus memenuhi pinggiran rumah tetangga yang agak lapang.
Anak-anak kecil berlarian kesana kemari. Bermain dengan sesama anak lainnya. Jumlah anak-anak di gang sempit ini terbilang banyak. Enam, delapan, sepuluh bahkan mungkin selusin. Itu yang seumuran Naufa dan Naura. Belum lagi yang agak lebih besar. Sudah kelas 1-4 SD. Gang sempit dengan penduduk yang padat.
Sempurna sudah semua persiapan rekreasi hari ini. Tas ransel berisi bekal tergendong di punggung. Tiba-tiba terdengar jeritan dari arah parkir motor. Bukan… bukan tangisan Naufa juga buka jeritan Naura. Aku kenal sekali dengan kedua suara putriku itu. Lama aku mematung. Menatap di kejauhan tempat Naufa dan Naura menunggu ayahnya.
Seorang anak laki-laki seusia Naufa meraung-raung. Ibunya tergopoh membujuknya pulang. Namun tak juga ia beranjak. Meringkuk di tanah sambil memegangi tangannya. Anak-anak kecil yang lain menonton adegan itu. Semuanya terdiam bisu. Hanya suara tangisan anak lelaki itu saja yang mendominasi suasana. Naura bersembunyi di belakang punggung Naufa. Mengintip apa yang terjadi dengan anak lelaki itu. Aku menghampiri Naufa dan Naura.
“Kenapa, mba Naufa…” Naufa terdiam menggigit bibir.“Nggak papa kok bun, memang si Choki yang duluan nakal…” ibu anak lelaki itu menjelaskan padaku. Alamak… kenapa pula dengan anakku. Karena Naufa masih bungkam. Anak-anak yang lain menceritakan kejadian sesungguhnya.
“Tadi Chiko nggodain Naura, Bun... berkali-kali” tutur Vilda. Rupanya Naufa menggigit tangan Chiko karena tidak terima dengan perlakuan Chiko kepada Naura. “Ini adek ku…!” bibir Naufa manyun meneriaki Chiko yang kesakitan. Wajahnya mengkal menatap Chiko.
Aku segera minta maaf kepada ibu Chiko perihal gigitan Naufa. “Maaf ya bu… sekali lagi saya minta maaf…” kulihat tangan chiko yang kemerahan. Sebuah lingkaran yang meninggalkan jejak gigi tertato di tangan Chiko.
“Nggak papa kok, Bun… Nggak papa. Emang Chiko yang nakal” anak itu masih meraung. Sementara Naufa masih bungkam.
Sepanjang jalan menuju ke toko buku, aku mengajak Naufa dan Naura bercerita. Seperti biasa. Mengomentari mobil/motor bahkan sepeda ontel yang lalu lalang. Juga membicangkan reklame besar yang terpampang sepanjang jalan. Hingga aku menanyakan perihal kejadian tadi.
“Mba Naufa kenapa gigit tangan Chiko?” tanyaku pelan-pelan tanpa nada menyalahkan. “Tadi Chiko pegang-pengang pipi adek, Bunda… itu kan nggak boleh. Anak laki-laki kan mainnya sama anak laki-laki…” Naufa menjelaskan kekesalannya. “Ooo gitu, lain kali diingatkan aja, mbak... jangan digigit, kasihan kan… digigit itukan sakit, nak…” pembicaraan teralihkan. Sebuah motor dengan suara keras menyalip kami. Kepulan asapnya pekat meninggalkan jejak.
Setiba di toko buku kami bertiga langsung naik ke lantai dua. Sementara ayah Naufa masih senang memelototi kumpulan buku-buku yang baru terbit di halaman muka. Aku segera meraih buku yang telah kurencanakan baca, bergegas menuju tempat duduk yang disediakan disana. Naufa dan Naura sudah dengan keranjang. Merapat ke rak buku anak-anak. Asik dengan buku masing-masing.
Baru sepuluh menit jenak duduk dengan bacaan, lagi-lagi tangisan seorang bocah laki-laki menggema. Keras sekali sampai-sampai semua pengunjung menengok ke asal suara.
Aku menghampiri Naufa. Ia bersungut-sungut. “Itu bunda… anak itu… nempel-nempel Naufa!” aku merunduk, berjongkok diantara Naufa dan anak lelaki itu. “Terus…” tanyaku memastikan. Baru saja kejadian Chiko berlalu. Kini ada korban baru. “Terus Naufa gigit dia… soalnya dia di kasih tahu nggak mau!” Naufa memberi alasan sambil menggerutu kesal.
Astaghfirullah… aku menghampiri ibu anak lelaki tersebut. Ia tengah menggendongnya. Kulihat tangannya yang memerah. “Maaf ya, Bu… mohon maaf…” berbeda dengan reaksi tetanggaku, yang memaklumi sikap defensive Naufa. Ibu itu nampaknya marah sekali dengan kejadian itu. Ia beringsut turun dari lantai dua sambil ngomel-ngomel.
Memang, waktu kami naik, anak lelaki itu sudah membuntuti Naufa dan Naura. Entah kenapa. Apa karena keduanya memakai pakaian dengan warna mencolok sehingga mengundang perhatian untuk menggoda atau sebab lain, entahlah…
Yang jadi beban pikiranku kini, kenapa ya… anak-anak kecil jaman sekarang sudah seperti orang dewasa saja dengan lawan jenis. Kejadian ini bukan sekali dua. sering kali anak-anak lelaki sepantar Naufa dan Naura yang tak sengaja main ke rumah, menggoda Naufa atau Naura. Astaghfirullah…
Seringkali kusampaikan kepada Naufa dan Naura bahwa anak laki-laki mainnya sama anak laki-laki, anak perempuan main sama anak perempuan. Mungkin itu yang menyebabkan Naufa begitu defensive jika ada anak laki-laki yang mendekatinya apalagi menggodanya.