Antara Karir, Bisnis dan Menjadi Ibu

Antara Karir, Bisnis dan Menjadi Ibu

Antara Karir dan Menjadi Ibu
Antara Karir, Bisnis dan Menjadi Ibu – Aku ada di tiga persimpangan. Pikiranku membentang, melayang membayangkan masa depan. Hidupku sungguh berubah. Utamanya setelah menikah dan dikaruniai dua bidadari kecil. Berjibaku dengan kesibukan baru. Mengurus rumah, suami, anak-anak, belanja ke pasar, masak, mencuci pakaian, menyetrika, dan seabrek pekerjaan lain khas ibu rumah tangga.

Tidak, aku tidak bermaksud berhitung lelah dengan semua itu. Aku juga tak hendak mengadukan plus berkeluh kesah dengan kepenatanku. Terkadang, bayangan masa lalu sewaktu aku masih jomblo berkelebat kembali. Lalu kulihat teman-teman atau adik-adik tingkat yang masih jomblo. Hm... betapa asyiknya mereka, masih punya banyak waktu luang untuk merenda hari.

Terkadang juga ada pikiran nakal untuk meninggalkan rumah. Hey... Bukan untuk minggat yak. Tapi untuk meniti karir. “Sayang mbak sampean dah sekolah tinggi-tinggi, jurusan bahasa inggis lagi, tapi ndak kerja” begitu komentar tetanggaku. Hm... mungkin buat yang tidak ngerasain kegalauan ini akan berkomentar, “Halaaah... gitu aja kok repot!”

Antara Karir, Bisnis dan Menjadi Ibu


Meniti karier, inilah yang saat ini menjadi trend wanita dunia. Selain karena tekanan ekonomi yang sedemikian beratnya. Kepenatan mengurus rumah tangga dan anak-anak juga menjadi alibi teman-teman yang menerjuninya. Uang belanja pemberian suami yang jauh dari memadai adalah faktor terbesar yang memotivasi wanita bekerja. Terlepas apapun pekerjaannya.  Kerja di kantorkah,  jadi buruh di pabrik ala wong kuto kah, jadi buruh tandur matun ala wong ndeso kah, jadi buruh pemerintah (PNS) kah,  jadi guru kah, jadi dosen kah,  jadi TKW kah,  jadi PRT kah, jadi SPG kah dan lain-lain. Esensinya sama saja meninggalkan rumah dalam kurun waku tertentu untuk mencari uang tambahan. Apalagi dengan blow up gaya hidup borju yang dipromosikan media. Kaum wanita didorong untuk menjadi shopaholic padahal kan default perempuan memang begitu ya... hehe

Aku tidak sedang membahas hukum bekerja dalam Islam. Islam memang membolehkan wanita untuk bekerja. Boleh lho... bukan wajib!. Tak juga berarti haram kok. Jadi, aku sedang menimbang dalam takaran manfaat dan mafsadatnya untuk diriku sendiri. Dalam tulisanku kali ini, aku sedang tidak menyindir atau menyinggung siapapun. Mungkin ada yang punya pengalaman mirip. But... it’s real about me!
 
Sewaktu aku masih lajang. Aku pernah bekerja di sebuah perusahaan ekspedisi, menangani laporan keuangan bulanan. Maklumlah karena aku lulusan SMK jurusan akuntansi. Gajinya lumayan, bisa membantu orang tua untuk belanja kebutuhan harian, bisa membeli aneka keperluan (pakaian, gadget dll), bisa infak buat yang membutuhkan, bisa jajan apa saja yang aku inginkan. Hm... enak deh pokoknya. Karena, selain gaji pokok aku juga dapat uang makan. Secara materi memang enak.

Namun, aku tak bertahan lama di perusahaan itu. Setidaknya ada dua alasan yang menjadikan aku harus mengundurkan diri. Pertama, jam kerja full time. Aku memang tidak pernah kena marah sama bos, bahkan aku cenderung jadi karyawan kesayangan.  Di perusahaan itu, aku tetap dibolehkan memakai jilbab dan kerudung. Padahal, staf lain pakaiannya super miskin bahan ala sekretaris kantoran. Setahuku, pekerja perempuan di kantor (sekretaris, akuntan, dll) pakaiannya ya kayak begitu. Bahkan dijadikan syarat pertama kali untuk bisa kerja. Tapi bosku tidak keberatan dengan kostumku yang kata orang mirip “karung”berjalan karena longgarnya jilbab  dan lebarnya kerudungku.

Pun ketika waktu shalat tiba, bosku tak mempermasalahkan kepergianku untuk menunaikan shalat dzuhur dan ashar. Dia malah menyediakan ruangan khusus untuk aku shalat. Maklum mayoritas pegawai Tionghoa beragama Budha. Kalaulah ada yang muslim kebanyakan tidak shalat. Aku masuk kerja senin s.d sabtu jam 08.00 pagi pulang  jam 16.30 sore. Nah... karena jam kerja yang full ini membuat aku kelelahan untuk melakukan aktifitas lain yang hukumnya wajib. Semisal menuntut ilmu (walau sekedar membaca buku), silaturahmi, berdakwah, membantu orang tuaku mengerjakan pekerjaan rumah dan lain-lain.

Waaah, panjang aku merenung... memang secara materi terpenuhi, tapi apakah hidupku hanya akan kuhabiskan untuk ini? Batinku dalam hati. Padahal aku masih lajang, bagaimana jika aku sudah punya anak yang jumlahnya berbilang. Pasti akan banyak sekali kewajiban yang terabaikan. Pasti akan banyak hak yang tak dapat kutunaikan. Karenanya, ku azamkan untuk tidak bekerja seperti ini lagi setelah suatu saat nanti aku menikah.

Kedua, melanggar hukum syara’. campur baur pegawai sudah menjadi kelaziman kerja di kantor seperti ini. Apalagi kerjaanku di bagian ekspedisi. Banyak berinteraksi dengan para sopir yang berjenis kelamin laki-laki.  Yang paling bikin risih adalah saat laporan keuangan. Karena aku dipaksa untuk berkholwat dengan laki-laki yang bukan mahramku. Ya Allah... wajar saja banyak terjadi perselingkuhan bos dengan sekretarisnya. Lha kondisi kerja nya seperti ini.

Dengan dua alasan itulah aku berisi keras untuk mundur. Kuajukan surat pengunduran diri, anehnya si bos malah tidak mau menerima alasan pengunduran diriku. Waktu itu, alasanku adalah karena aku diterima menjadi tenaga pengajar honorer di SD Negeri.

Bos bilang: “Lu pertimbangin dulu aaa keputusan lu itu. Lu boleh tetep ngajal sambil kelja disini aaa, gaji lu nggak dipotong. Tar lu bisa beda-in enak kelja dimana” katanya membujukku dengan logat khas Tionghoa.

“Tapi Kho, saya nggak enak sama pegawai lain. Masa saya masuk sesuka hati dan pulang sesuka hati cuma karena alasan ngajar,” sanggahku.

“Lu kelja sama gua aaa.. Jadi tak perlu pusing apa kata olang.”

Bodo amat! Esok harinya aku tak masuk kerja dan sampai kapan pun aku tidak mau kerja seperti ini.

Setelah keluar dari perusahaan tersebut, orang tuaku sangat menyesal, mereka menyayangkan kenapa aku harus keluar kerja. Wajar saja, orang tuaku masih seperti orang tua pada umumnya yang menjadikan materi sebagai standar bahagia. Ini memang menjadi tantanganku tersendiri, dakwah di keluarga. Hm... aku sudah jelaskan alasanku kenapa tetap keukeuh keluar kerja. Tapi karena standar kami berbeda tetap saja ada pertengkaran.

Tidak kerja lagi di perusahaan tidak lantas membuatku diam berpangku tangan. Sebelum keluar dari perusahaan itu, aku telah diterima menjadi tenaga pengajar honorer di sebuah SD Negeri. Aku ngajar bahasa Inggris kelas 4 s.d kelas 6. Seminggu 3 kali. Memang sih, dari sisi waktu aku punya banyak waktu luang. Namun, menjadi guru honorer di Indonesia "menyedihkan" sekali nasibnya. Jangankan untuk berbagi rizki dengan infak, sekedar untuk transpor ngajar saja, honornya tidak cukup. Aku sering minta uang ke ayahku untuk transpor, namun ini justru menguatkan alasan kedua orangtuaku agar aku kerja lagi di perusahaan. Karenanya, kuputuskan juga untuk mengundurkan diri menjadi pengajar honorer.

Dalam hati aku berbisik... ya Allah, kasihan sekali yang menjadi guru honor ya. Pantas ada yang sampai bunuh diri karena gajinya tidak cukup untuk biaya hidup. Gimana mau mencetak generasi berkualitas kalau gurunya saja dibengkalaikan :'(. 

Mungkin akan berbeda kalau guru PNS ya. Karena standar gaji guru honor dengan PNS itu beda. Kalau untuk materi mungkin iya. Hanya saja, kalau yang PNS, setali tiga uang dengan kerja kantoran, terikat jam kerja. Temanku ada yang diterima jadi guru di MTs Negeri. Katanya, meski tidak ada jadwal ngajar dia tetap harus datang ngisi absen, piket, dll. Belum lagi tekanan standar ujian nasional. Kalau siswanya tidak lulus yang kena damprat gurunya. Apalagi guru sertifikasi, yang kejar jam ngajar untuk memenuhi kuota dapat sertifikasi. Ya ampuuun... tak dapat kubayangkan seandainya para ibu jadi PNS (meskipun ngajar) trus punya 2, 3 atau 4 anak yang semuanya masih balita. Dikemanakankah anak-anak itu?

Diasuh mbah nya dong! Ya Allah... alangkah kasihan para nenek, sudahlah ia capek ngurus kita waktu masih bayi sampai segede ini juga masih nyusahin... Miris! Belum lagi kualitas pengasuhan ibu dengan nenek yang bisa jadi berbeda. Apa yang baik menurut nenek belum tentu baik menurut ibu. Apa yang boleh menurut nenek bisa jadi berbeda menurut ibu. Perbedaan pola asuh ini akan berdampak negatif pada tumbuh kembang si kecil.

Misal, anakku Naufa, memang sejak lahir tak dibiasakan menonton TV. Karena menurut kami (aku dan suamiku) TV—untuk zaman kapitalisme sekarang ini—bisa bikin anak tidak cerdas, pasif, ketularan budaya liberal termasuk akhlak buruk yang dipertontonkan lewat sinetron. Karenanya, sejak awal kami menikah, kami sepakat untuk tidak "memelihara" TV dirumah.

Namun, ketika kami berkunjung ke rumah ortu, seringkali dipertontonkan TV. “Biar nggak rewel,” kata ayahku (Mbah Kung-nya Naufa). Meski sudah kujelaskan kepada Mbah Uti dan Mbah Kung soal dampak buruk TV, tetap saja saat Naufa nangis disetelkan TV. Setelah dua bulan kami disana, apa yang terjadi? Naufa sudah hafal lagu IWAK PEYEK. Padahal, aku ada di sisinya, mendampinginya ketika ia menonton TV. Gimana kalau kita tidak ada di sisinya, sibuk ngurus SP, RP, dan tetek bengek soal kurikulum, ngoreksi ujian, dll. Tak terbayangkan olehku jadi apa kelak anak-anak kita 10 tahun yang akan datang. Padahal, usia 1-8 tahun adalah golden age untuk anak-anak. Masa keemasan dimana pertumbuhan otaknya maksimal.

Lagi, soal perbedaan pola asuh. Aku membiasakan untuk menyajikan makanan halal dan thayyib untuk anak-anak. Bahkan untuk camilan sekalipun, sebisa mungkin aku masak sendiri. Bolu kukus wortel, bolu kukus bayam, martabak jagung, dan lain-lain kuolah sendiri. Aku tak biasakan mereka beli jajan chiki, snack, permen, mie instan dan lain-lain yang tidak sehat. Namun, karena didorong oleh rasa cinta dan kasih sayang nenek kepada cucunya, semua yang menurut Mbah Uti-nya enak dibelikan buat Naufa. Tentu ini akan mencederai pola asuh yang sudah kita bangun dari awal. Akan sangat tidak bijak menyerahkan pengasuhan anak-anak kepada neneknya apalagi baby sitter. Wes ta lah...

Karenanya, aku sama sekali tidak tertarik dan tidak akan menjadi PNS.

Gimana kalau jadi enterpreneur? Mau nggak?

Hehe... setelah aku tidak ngajar lagi di SD Negeri tersebut, aku putuskan untuk berwirausaha saja. Jualan pakaian jadi pilihan. Waktu itu, aku bekerja sama dengan rekanku soal permodalan. Aku yang menjalankan, modal dari dia, kami bagi hasil. Sebulan sekali aku belanja ke Tanah Abang-Jakarta. Biasanya rombongan, dengan para pedagang lain yang nyarter mobil pribadi. Kebanyakan dari mereka juga ibu-ibu. Berangkat jam 10.00 malam dari Lampung dan tiba di Tanah Abang jam 05.00 pagi esok harinya. Setelah shalat subuh, kami sarapan sembari nunggu kompleks grosir di Tanah Abang buka sekitar jam 08.00 pagi. Setelahnya, hunting produk. Kirim via paket jasa ekspedisi. Untuk urusan angkut mengangkut ada kuli pasar yang siap membantu. Sore harinya kami sudah bersiap pulang lagi dan jam 03.00 dini hari sudah sampai rumah.

Setelah barang sampai, sibuk lagi mempromosikan barang-barang tersebut hingga ludes terjual. Agar barang segera habis, aku jual dengan kredit. So... ada kerjaan tambahan lagi yaitu nagihin uang angsuran. Belum lagi harus berurusan dengan yang suka mangkir bayarnya. Ya Allah... benar-benar terporsir! Capek...! Tidak terbayang kalau sudah beranak-pinak, sibuk dengan bisnis beginian.

Ah, itu kan zaman dulu... nggak secanggih sekarang. Sekarang lho, ada toko online yang tidak harus cari barang langsung ke lokasi. Cukup klik, kita bisa cari barang sekaligus jual barang tanpa keluar rumah. Urusan keuangan dah ada internet banking, tul nggak?

Hm... inilah yang menjadikan banyak ibu-ibu zaman sekarang terjun ke bisnis online karena dirasa paling aman. Masih bisa nungguin anak-anak, mengasuh mereka, mengawasi mereka sekaligus mendapatkan uang (earning money). Aku sendiri, saat ini sedang menjalaninya. Ada beberapa toko online yang sedang kukembangkan, diantaranya Toko Herbal Online dan Grosir Koyo. Namun, tetap saja ketika kita sibuk di depan laptop, BBM, dll, anak-anak jadi terabaikan. Kita memang berada di sisi mereka, namun hati kita, jiwa kita, melayang bersama para costumers.

Terkadang terbersit pikiran usil, mendingan posting produk di FB atau toko online ketimbang menemani anak-anak membaca dan menghafalkan ayat-ayat al-Qurán. Astaghfirullahal ‘adhim... Begitupun kesibukan masak dan membuat camilan sehat tergantikan dengan kesibukan packing produk. Melayani keluh kesah dan rengekan anak-anak tergantikan dengan konfirmasi nomor resi karena persoalan ekspedisi yang lambat.

Tak ada lagi target hari ini harus ngajarin doa ini, besok doa itu, karena sibuk mikirin posting produk apa lagi ya... Apalagi kalau sudah ada komplain, retur barang, supplier yang menipu, produk rusak, dll... Ya Allah...

Khusus untuk ini insya Allah saya akan tulis di artikel selanjutnya (Tips Sukses Bisnis Online untuk Ibu RT).

Namun, sejujurnya aku senang sekali jika aku tak perlu pusing dengan uang. Aku ingin sekali menikmati peranku sebagai ibu sejati, totally. Agar dapat kupersembahkan yang terbaik untuk suami dan anak-anakku. Sesungguhnya... aku ingin sekali fokus pada peranku sebagai ibu dan pendidik terbaik untuk anak-anakku. Aku ingin hati dan ragaku selalu ada untuk mereka, memeluk mereka dengan segenap jiwa. Saat mereka membutuhkan pelukanku, saat mereka membutuhkan bujukanku. Aku sangat iri ketika melihat posting sebuah komunitas: ada seorang anak usia 3 tahun sudah menjadi hafidzoh. Subhanallah... Ibu seperti apakah ia yang bisa mencetak anak semacam itu. Aku teringat profil ibundanya Imam asy-Syafi’i. Ya Allah... mudahkanlah jalanku...

Seandainya kita hidup dalam naungan pemerintahan Islam (Daulah Khilafah), tentu ibu-ibu seperti diriku tak perlu merasakan ikut pontang panting nyari duit. Seandainya... oh seandainya... Karena sejatinya peran wanita adalah menjadi ibu, manager rumah tangga, pendidik pertama dan utama untuk putra-putrinya, partner diskusi suami. Tugas itupun sudah teramat berat. Karenanya janganlah sampai menjalani yang mubah (berhukum boleh) sementara yang wajib terabaikan.

Tulisan ini adalah nasihat untuk diriku sendiri dalam sesi pembelajaran menjadi ibu sejati. [bunda naufa]

Related

Sakinah 3216994699496623482

Post a Comment

  1. Salam... Saya sdh baca artikelnya Bunda. Bagus. Mungkin ejaan perlu dibetulin lagi biar lebih enak bacanya. Moga tambah baik kemampuan nulisnya ya. Bravo..!

    ReplyDelete
  2. oke, thankiyu ya dah mampir n baca blog ku :)

    ReplyDelete
  3. MasyaAllah tulisan bunda naufa,, luar biasa

    ReplyDelete

emo-but-icon

Tulisan Unggulan

Sebulan Bisa Hafal Satu Juz?

Hafalan Al-Qur'an Yuuuk Saya memulai jadwal tahfidz harian ba'da shubuh. Saat suasana masih sangat tenang, Goma masih lelap ...

Catatan Terbaru

item