Belajar dari Ember Pecah
Salah satu yang membahagiakan seorang pengatur rumah tangga adalah saat mendapati rumah telah bersih dan rapi, anak-anak yang sudah mandi dan wangi, makanan yang sudah siap di saji. Ada kepuasan tersendiri di hati. Namun lihatlah ibu muda satu ini…
Perabot telah rapi tertata setelah satu jam berjibaku di kamar mandi mencuci piring. Lantai juga sudah harum semerbak wangi khas aroma pohon pinus. Tinggal satu hal yang belum kelar. Membereskan teras depan rumah. Membuang sampah dan mengepelnya agar nyaman untuk bermain anak-anak.
Karena sebagian pekerjaan rumah telah selesai di kerjakan. Akupun beranjak menyambar sebuah buku yang belum kelar kubaca. Selembar hingga berbilang lembar, larut dalam bacaan. Tak disadari dua putriku sudah bangun. Mereka melakukan apa yang hendak mereka lakukan. dan aku tak hirau sibuk dengan bacaan.
Piring-piring yang sedianya sudah tertelungkup di tempatnya, kini menganga di lantai. Berjajar seperti mengantre ransum. Gelas, mangkok, baskom juga bertabur memenuhi ruangan.
Naufa mengisi semua gelas dengan air kran. Ia hilir mudik menganggkut air dengan gayung. Begitu juga cetakan agar-agar dituang satu persatu seolah sedang membuat agar-agar. Ia menaburkan deterjen di atas piring sebagai hiasan.
Sementara Naura memegang baskom dan pengocok telur. Memasukkan sabun colek menuanginya air dan mengocoknya sehingga mengembangkan busa. Keduanya telah basah kuyup. Lantai dan kulit mereka lengket detergen.
Aku melongo melihat upayaku membersihkan rumah menjadi sia-sia. Lihatlah rumah yang berantakan ini.
“Bunda, adek bikin kue bunda…” celoteh Naura semakin membuat aku mengkal. Naufa khusyuk dengan air yang ia tuangkan.
“Ya Allaaaaaah…!” aku berteriak demi mendapati dapur layaknya kapal pecah. Lunglai terduduk di lantai. Ingin marah. Ingin kesal. Ingin ngomel. Beruntung kali itu tidak seperti kali yang lain. aku diamkan mereka. Aku ingin membenahi hati yang terluka. Perasaan yang merana.
Ini bukan pertama kalinya Naufa dan Naura memberantaki perabot rumah tangga. Ini kali kesekian. Awal-awal berulah macam ini aku marah luar biasa. Emberlah yang jadi sasarannya. Ember kubanting keras-keras meluapkan emosi yang membuncah. Astaghfirullah…
Padahal sudah berulang kali kunasehati mereka agar tidak memberantaki perabot masak ibunya.
“Namanya juga anak-anak bund… sabar…” suamiku menenangkanku.
Belajar dari ember yang pecah.
Aku punya dua ember, dua-duanya kini sudah tak bisa lagi dipakai untuk menampung air. Yah… setelah kejadian marah tempo hari.
Ember itu masih utuh bentuknya tapi tidak esensinya. Meski penampakannya masih ada, namun ia tak lagi dapat berdaya guna. Semua air yang mengalir ke dalam ember kan sirna. Ember kan segera kosong setelah kran ditutup.
Ia akan kosong dan terus kosong. Selamanya. Kecuali jika si empunya ember berupaya memberbaikinya. Menambalnya dengan lak ban, plester atau alat lain. tapi tetap saja, ia tak akan semulus di awal mula. Tetep ada yang cacat.
Setelah kurenungkan… anak-anak juga bisa seperti ember. Jika ember akan pecah dan cedera tersebab dibanting. Anak-anak juga akan pecah dan cedera jika hati dan perasaannya dibanting.
Bagaimana membanting hati dan perasaan?
Coba perhatikan apa reaksi anak-anak ketika untuk pertama kalinya mereka dimarah atau dibentak. Mengkerut takut. Itulah tanda pertama hati dan perasaan mereka dibanting.
Jangan salahkan ia jika tak mau mendengar nasihat kita orang tuanya. Jangan salahkan ia jika nasihat yang kita berikan seperti masuk kuping kanan langsung keluar lagi kuping kiri. Tak berbekas. Sebab bisa saja, hati dan perasaannya memang telah pecah.
Seperti ember, meski terus diisi dengan air kran, namun ia tetap tak dapat menampungnya. Ia telah pecah dan segera akan kosong setelah kran ditutup.
Omelan kita, nasihat kita tak akan pernah masuk hatinya jika hati anak-anak kita telah kita pecahkan di awal mula tumbuh kembangnya.
Kecuali jika kita melakukan penambalan. Menambal bagian yang pecah agar air dapat tertampung. Meski merembes. Tapi cuma sedikit.
Bunda, jangan pecahkan hati dan perasaanku dengan amarahmu. Dengan omelanmu. Mari kemari, lihatlah aku, yang sedang belajar mensikapi kehidupan darimu. Mari kemari dengarkan aku, yang sedang belajar bersabar dari kesabaranmu menghadapi aku.
Bunda, aku masih kecil… aku bahkan belum tahu mana yang baik dan mana yang buruk kecuali dengan arahanmu. Maka, jangan ajari aku tentang kemarahan. Ajari aku tentang kesabaran dan kasih sayang. Aku akan mengingat itu sepanjang hidupku berkat kasih sayangmu, berkat cintamu, berkat sabarmu.
Bunda, jangan marah padaku. Sebab aku sayang bunda…
Hari ini aku berazzam untuk tidak marah. Ya Allah mudahkanlah…
Siwalankerto, 23 April 2014, 06:26
Perabot telah rapi tertata setelah satu jam berjibaku di kamar mandi mencuci piring. Lantai juga sudah harum semerbak wangi khas aroma pohon pinus. Tinggal satu hal yang belum kelar. Membereskan teras depan rumah. Membuang sampah dan mengepelnya agar nyaman untuk bermain anak-anak.
Karena sebagian pekerjaan rumah telah selesai di kerjakan. Akupun beranjak menyambar sebuah buku yang belum kelar kubaca. Selembar hingga berbilang lembar, larut dalam bacaan. Tak disadari dua putriku sudah bangun. Mereka melakukan apa yang hendak mereka lakukan. dan aku tak hirau sibuk dengan bacaan.
Piring-piring yang sedianya sudah tertelungkup di tempatnya, kini menganga di lantai. Berjajar seperti mengantre ransum. Gelas, mangkok, baskom juga bertabur memenuhi ruangan.
Naufa mengisi semua gelas dengan air kran. Ia hilir mudik menganggkut air dengan gayung. Begitu juga cetakan agar-agar dituang satu persatu seolah sedang membuat agar-agar. Ia menaburkan deterjen di atas piring sebagai hiasan.
Sementara Naura memegang baskom dan pengocok telur. Memasukkan sabun colek menuanginya air dan mengocoknya sehingga mengembangkan busa. Keduanya telah basah kuyup. Lantai dan kulit mereka lengket detergen.
Aku melongo melihat upayaku membersihkan rumah menjadi sia-sia. Lihatlah rumah yang berantakan ini.
“Bunda, adek bikin kue bunda…” celoteh Naura semakin membuat aku mengkal. Naufa khusyuk dengan air yang ia tuangkan.
“Ya Allaaaaaah…!” aku berteriak demi mendapati dapur layaknya kapal pecah. Lunglai terduduk di lantai. Ingin marah. Ingin kesal. Ingin ngomel. Beruntung kali itu tidak seperti kali yang lain. aku diamkan mereka. Aku ingin membenahi hati yang terluka. Perasaan yang merana.
Ini bukan pertama kalinya Naufa dan Naura memberantaki perabot rumah tangga. Ini kali kesekian. Awal-awal berulah macam ini aku marah luar biasa. Emberlah yang jadi sasarannya. Ember kubanting keras-keras meluapkan emosi yang membuncah. Astaghfirullah…
Padahal sudah berulang kali kunasehati mereka agar tidak memberantaki perabot masak ibunya.
“Namanya juga anak-anak bund… sabar…” suamiku menenangkanku.
Belajar dari ember yang pecah.
Aku punya dua ember, dua-duanya kini sudah tak bisa lagi dipakai untuk menampung air. Yah… setelah kejadian marah tempo hari.
Ember itu masih utuh bentuknya tapi tidak esensinya. Meski penampakannya masih ada, namun ia tak lagi dapat berdaya guna. Semua air yang mengalir ke dalam ember kan sirna. Ember kan segera kosong setelah kran ditutup.
Ia akan kosong dan terus kosong. Selamanya. Kecuali jika si empunya ember berupaya memberbaikinya. Menambalnya dengan lak ban, plester atau alat lain. tapi tetap saja, ia tak akan semulus di awal mula. Tetep ada yang cacat.
Setelah kurenungkan… anak-anak juga bisa seperti ember. Jika ember akan pecah dan cedera tersebab dibanting. Anak-anak juga akan pecah dan cedera jika hati dan perasaannya dibanting.
Bagaimana membanting hati dan perasaan?
Coba perhatikan apa reaksi anak-anak ketika untuk pertama kalinya mereka dimarah atau dibentak. Mengkerut takut. Itulah tanda pertama hati dan perasaan mereka dibanting.
Jangan salahkan ia jika tak mau mendengar nasihat kita orang tuanya. Jangan salahkan ia jika nasihat yang kita berikan seperti masuk kuping kanan langsung keluar lagi kuping kiri. Tak berbekas. Sebab bisa saja, hati dan perasaannya memang telah pecah.
Seperti ember, meski terus diisi dengan air kran, namun ia tetap tak dapat menampungnya. Ia telah pecah dan segera akan kosong setelah kran ditutup.
Omelan kita, nasihat kita tak akan pernah masuk hatinya jika hati anak-anak kita telah kita pecahkan di awal mula tumbuh kembangnya.
Kecuali jika kita melakukan penambalan. Menambal bagian yang pecah agar air dapat tertampung. Meski merembes. Tapi cuma sedikit.
Bunda, jangan pecahkan hati dan perasaanku dengan amarahmu. Dengan omelanmu. Mari kemari, lihatlah aku, yang sedang belajar mensikapi kehidupan darimu. Mari kemari dengarkan aku, yang sedang belajar bersabar dari kesabaranmu menghadapi aku.
Bunda, aku masih kecil… aku bahkan belum tahu mana yang baik dan mana yang buruk kecuali dengan arahanmu. Maka, jangan ajari aku tentang kemarahan. Ajari aku tentang kesabaran dan kasih sayang. Aku akan mengingat itu sepanjang hidupku berkat kasih sayangmu, berkat cintamu, berkat sabarmu.
Bunda, jangan marah padaku. Sebab aku sayang bunda…
Hari ini aku berazzam untuk tidak marah. Ya Allah mudahkanlah…
Siwalankerto, 23 April 2014, 06:26