Tegas Bukan Keras

Tegas Bukan Keras

Tegas Bukan Keras
Ilustrasi: Bersikap Tegas, Bukan Keras
Naura menangis bergulung-gulung di teras warung pak Wayan. Nangis minta dibelikan jajan. Meski sudah dijelaskan bahwa jajanan tersebut mengandung pewarna dan perasa (monosodium glutamate) namun ia tidak peduli.

Air matanya mengalir jatuh di keramik lantai. Nggak mau di gendong. Menjerit sekencang-kencangnya. Menghebohkan seantero gang sempit.

Pak Wayan, lelaki tua pemilik warung segera mengambil jajan yang diinginkan Naura. Berharap tangisnya padam seketika. Namun aku mencegahnya

“Maaf ya Dek… Bunda nggak kasih adek jajan itu, soalnya itu nggak bagus untuk kesehatan adek Naura. Bukan karena bunda nggak punya uang, tapi karena itu nggak baik”

Tangisnya semakin menjadi. Bahkan ia kini menarik-narik ujung kerudungku. Menendang-nendang sembarangan. Ya, itulah senjata pamungkasnya agar keinginannya tercapai.

Hampir  10 menit Naura meraung tatrum. Akhirnya tangisnya reda saat aku membiarkannya sendiri di teras warung itu. Melangkah pulang.

10 menit bukan waktu yang sebentar saat ia merengek bahkan mengamuk. Para tetangga saja sampai berkerumun menyaksikan apa gerangan yang terjadi.

Dilain waktu, ia juga mengamuk sebab ingin dibelikan es lilin. Namun ayahnya melarangnya, sebab kita nggak tahu yang bikin es lilin itu pakai air apa? Air keran atau air PDAM atau air isi ulang?

Kapan hari juga ia meraung sebab ingin makan pentol (bakso) yang lewat depan rumah. Tak diizinkan beli, karena nggak bisa meyakinkan diri bahwa pentolnya berasal dari daging sapi.

Naura memang berbeda dengan Naufa. Naufa, jika sudah diberi tahu sesuatu tak baik untuknya, untuk tubuhnya, untuk pikirannya, untuk perilakunya, ia cenderung menurut. Naufa lebih argumentatif. Ia selalu bertanya kenapa dilarang?

Setelah mendapat penjelasan panjang lebar, Naufa lebih bisa mengerti dan mematuhi. Tapi Naura, sungguh berbeda. Dia akan segera mengamuk (tatrum) sesaat setelah keinginannya tak direstui bunda atau ayahnya. Selalu begitu.

Aku membiarkannya menangis dan teguh dengan apa yang kularang. Konsisten menjauhkan apa yang tak baik. Meski ia mengamuk.

Kata pakar parenting. Tegaslah kepada anak-anak. Namun jangan berlaku keras. Biarkan ia merengek atas permintaannya. Mungkin ia akan melakukan hal yang lebih ekstrem lagi agar keinginannya terpenuhi. Menarik-narik baju, menendang-nendang, bergulung-gulung, namun tetaplah katakan tidak untuk sesuatu yang buruk.

Jika ia tetap keras kepala. Tatap matanya dan tetap katakan "Tidak". Jika kita terpancing emosi karena ulahnya, sebaiknya kita segera meninggalkannya.

Sikap lembek dan menuruti apapun keinginan anak akan menjadikanya justru mendominasi orang tua. Ialah yang punya kendali. Jelas ini tidak baik untuk masa depannya. Apalagi jika setelah ia meraung/mengamuk, kita segera memberikan apa yang ia inginkan. Maka ia akan merekam bahwa menangis/merengek/mengamuk bisa menjadi senjata untuk mencapai keinginannya.

Konsisten dengan apa yang kita larang akan membuatnya tahu bahwa ayah bundanya serius dengan larangan itu. Sekali saja ketidak konsistenan kita jalankan, akan menjadikannya sebagai pemakluman. Inilah yang sulit. Berat godaannya. Susah istiqamahnya.

Berdasar pengalaman, tangis dan amukan anak hanya bertahan di 10 menit awal. Setelahnya anak akan melupakan hal tersebut dan kembali tenang. Karenanya jika anak kita mengamuk, bersabarlah di 10 menit awal. Apapun yang terjadi.

Jangan biarkan emosi merayapi diri sehingga membakar logika serta nurani. Menjadikan orangtua membabi buta menghukum anaknya.  Hukuman yang mungkin dianggap efektif untuk menghentikan ulahnya.

Tak jarang saya dapati orang tua yang gampangnya berlaku  kasar pada si kecil dengan memukul, mencubit, menjewer, membentak dan memarahinya.

Lucunya, tindakan keras dilakukan orang tua justeru sesaat setelah ia memberikan apa yang anaknya tangiskan. Sudahlah tidak konsisten, berlaku kasar pula. Dua pelajaran keburukan sekaligus diberikan dalam satu kesempatan. Astaghfirullah…

Kita memang harus tegas tapi tidak dengan cara keras.  Ketegasan mengajarinya disiplin terhadap aturan. Namun kekerasan mengajarinya kebencian dan dendam. 

Suara lonceng mamang es lilin lewat lagi. Naufa dan Naura sama berdiri dan memandang tukang es lilin melintas. Keduanya tersenyum kepada mamang es lilin. Sambil melambaikan tangan

“Daa.. daa… mamang es lilin, aku nggak mau beli koook…” keduanya kompak bersuara.

“Es lilin itu nggak sehat ya dek ya?” Tanya Naufa pada Naura tak lama setelah sepeda tukang es lilin lenyap di ujung gang sempit.

“Iya ya, nggak cehak ya?” jawab Naura yang masih cedal sambil mengangguk anggukkan kepala.

Aku tersenyum geli mendengar dialog duo en ku tersayang.

Begitulah, kini Naura tak lagi mengamuk kalau diajak ke warung, dia sudah hafal mana jajan yang dibolehkan dan yang tak dibolehkan beserta alasanya.

“Adek janji, nggak mau beli jajan yang nggak cehak”

“Kita beli pentol yang halal ya bun, ya…” celotehnya jika tukang bakso melintas di depan rumah.

Naura… kini usiamu 2 tahun 7 bulan. Sungguh menggemaskannya engkau hari ini, Nak… Uti, Nakung dan Nenek pasti rindu sangat dengan kerianganmu. Jadilah qurrata a’yun untuk kami semua.


Belajar konsisten
Siwalankerto, 10 mei 2014, 06:36


Related

Parenting 3794053923255406702

Post a Comment

emo-but-icon

Tulisan Unggulan

Sebulan Bisa Hafal Satu Juz?

Hafalan Al-Qur'an Yuuuk Saya memulai jadwal tahfidz harian ba'da shubuh. Saat suasana masih sangat tenang, Goma masih lelap ...

Catatan Terbaru

item