Cara Mengajari Anak Bersabar

Cara Mengajari Anak Bersabar


Mengajari Anak Bersabar
Ilustrasi: Mengajari Anak Bersabar
Menjadi orangtua tidak semudah dugaan saya waktu saya masih lajang. Saya kira menjadi orangtua yang baik itu persis seperti saya membimbing anak-anak kecil yang halaqah dengan saya tempo dulu. Mengajari mereka bernyanyi, hafalan, sudah selesai.

Saya baru tahu bahwa menjadi orang tua, ibu terutama, bukan hanya 2 jam/hari seperti halaqah mingguan. Bukan pula 4 jam/hari seperti ngajar TK atau PAUD. Menjadi ibu, meniscayakan membersamai anak 24 jam/hari. 7 hari dalam seminggu. 30 hari dalam sebulan. 365 hari dalam setahun. Bahkan sepanjang hayat dikandung badan. Tak ada hari libur. Tak ada cuti apalagi bolos seperti sekolah.

Menjadi ibu tak hanya mengajari menyanyi, hafalan, bermain. Menjadi ibu adalah tentang proses. Proses mentransfer kepribadian. Sebab anak-anak itu foto copy ibu bapaknya. Atau gabungan kepribadian keduanya. Atau malah pribadi orang lain. neneknya, kakeknya, pengasuhnya, pembantunya dll. Tergantung siapa yang intens berinterksi diantara mereka.

Sarapan pagi itu terlambat. Biasanya jam 7 pagi mereka sudah makan pagi. Namun hari ini lain. semalaman begadang menyelesaikan tulisan walhasil habis shalat shubuh langsung terkapar. Baru terjaga jam 7.30 itupun karena pertengkaran Naufa dan Naura.

Jam 9 pagi makanan matang. Sup ekor sapi campur brokoli panas kutuang di piring merah yang sudah ada nasinya. Uap aroma sup mengepul. Naufa karena sudah terlanjur lapar menangis tidak sabar segera mau disuapi. Begitu juga Naura. Rengekan keduanya benar-benar memusingkan hati.

“Sabar! Ini masih panas!” hey… hey… kalimat ini sama sekali tidak diucapkan dengan intonasi penuh kesabaran. Kalimat ini justeru saya ucapkan penuh ketidak-sabaran dengan rengekan keduanya. juga raut muka yang sedikit murka. tentu saja mimik wajah yang membuat Naufa dan Naura mengkeret jadinya. Mereka terdiam sejenak sambil memanyunkan mulut dan membuang muka.

Suamiku segera menegurku. “Bund… Bund… kita sedang mendidik anak-anak, Bund, istighfar…” Astaghfirullah… saya tersadar apa yang telah saya lakukan. Segera meraih keduanya duduk di pangkuan, dan minta maaf atas sikap fatal saya barusan.

Sering kali kita ingin mengajarkan kepada anak-anak kita tentang kesabaran, padahal kitalah yang sesungguhnya harus lebih bersabar dengan jeritan dan rengakan mereka. Disinilah kontrol emosi berperan. Bagaimana mengatur tingkat stress sehingga tak berimbas pada si kecil.

Dari Abu Hurairah r.a. dia berkata: Rasulullah SAW bersabda,"Orang kuat bukanlah yang kuat dalam bergulat, namun orang yang mampu menguasai dirinya tatkala Marah.(HR. Muttafaq 'Alaih)

Kontrol emosi sangat dipengaruhi oleh kesadaran diri bahwa kita tengah menjadi pengajar, pendidik dan teladan bagi anak-anak kita. Tugas ini seperti yang telah saya singgung di awal tulisan, tidak mengenal waktu. Siang malam pagi petang tanpa batasan jam pelajaran.

Juga tidak terbatas pada ucapan ataupun penjelasan gamblang. Seringkali si kecil justru lebih banyak belajar dan menyerapnya secara mendalam dari tindakan kita, ekspresi wajah kita, intonasi suara kita juga mimik muka saat kita memandangnya.

Sabar tak semudah dan sesingkat kalimatnya. Ia sungguh tak berbatas. Sebagaimana balasannya juga tak ada batasnya. Kesadaran dan kekuatan kontrol emosi kitalah yang akan membatasi luasnya, panjangnya, lebarnya.

Sebenarnya siapa yang harus bersabar. Orang tuakah atau anak-anak? Tentu saja tidak bijak menuntut anak kita yang usianya baru dua, empat atau lima untuk bersabar. Sementara orang tuanya yang sudah 30an tahun ini malah tidak bisa bersabar.

Cara mengajari anak-anak bersabar adalah dengan bersabar atas ulahnya. Bersabar atas rengekannya. Bersabar atas amukannya. Bersabar atas ketidaksabarannya.

Ketika anak-anak melihat ekspresi kita yang penuh kesabaran merawat mereka, maka insya Allah anak-anak itu akan tumbuh dalam jiwa yang kuat.

Mereka akan tumbuh menjadi pribadi penyabar sebagaimana teladan utama mereka, ibunya. Mereka akan menghargai setiap proses yang terjadi. Cepat atau lambat. Mereka akan merespon setiap kejadian dengan kematangan emosi. Sebab mereka tahu betapa sabar ibunya memperlakukannya, melayaninya, merawat dan mengasuhnya.

Sebaliknya, anak-anak yang dibesarkan dengan ketidaksabaran akan tumbuh menjadi anak yang labil, emosional dan mudah sekali tersinggung. Mudah ngambek jika keinginannya tak sesuai kenyataan.

Saya dapati Naufa dan Naura tumbuh copy paste sebagaimana saya membesarkan keduanya. Persis. Gaya marahnya, kalimat-kalimatnya, ekspresi wajahnya bahkan intonasi suaranya mirip sekali dengan diri saya. saya sungguh malu.

Sup ekor sapi telah dingin, begitu juga perasaan saya. saya suapi mereka berdua dengan linangan air mata. Menginsafi ketidaksabaran ini. Maafkan Bunda, Nak… bunda memang sedang berlatih untuk terus bisa lebih baik. Meski tertatih. Terimakasih telah mengajari bunda makna kesabaran yang sesungguhnya.

Semoga Allah jadikan kalian berdua (Naufa dan Naura) sebagai perantara agar bunda bisa masuk surga dan bebas dari neraka. Sebagaimana sabda rasulallah saw dari penuturan ibunda A’isyah:

“Seorang wanita miskin datang kepadaku dengan membawa dua anak perempuannya, lalu  aku memberinya tiga buah kurma. Kemudian dia memberi untuk anaknya masing-masing satu buah kurma, dan satu kurma hendak dia masukkan ke mulutnya untuk dimakan sendiri. Namun kedua anaknya meminta kurma tersebut. Maka si ibu pun membagi dua kurma yang semula hendak dia makan untuk diberikan kepada kedua anaknya. Peristiwa itu membuatku takjub sehingga aku ceritakan perbuatan wanita tadi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, : Sesungguhnya Allah telah menetapkan baginya surga dan membebaskannya dari neraka” (H.R Muslim)

“Kenapa Bunda menangis?” Naufa mengusap air mata yang menetes. Saya hanya menggeleng. Binggung menjelaskan. Gengsi bilang bahwa bunda menangis karena kebodohan ini, karena ketidak-sabaran ini. Maafkan bundamu ini, Nduk

Belajar Sabar
Siwalankerto, 12 Mei 14, 00:42

Related

Parenting 5023236901529253306

Post a Comment

emo-but-icon

Tulisan Unggulan

Sebulan Bisa Hafal Satu Juz?

Hafalan Al-Qur'an Yuuuk Saya memulai jadwal tahfidz harian ba'da shubuh. Saat suasana masih sangat tenang, Goma masih lelap ...

Catatan Terbaru

item