Stop Free Sex!
Renyah sekali suara tawa itu. Keras sangat. Ramai. Beberapa anak usia remaja (pelajar SMA) sedang bergurau dalam suatu ruangan. Rumah pak Suwardi. Juragan kos di gang sempit ini. Laki-laki perempuan campur baur. Sepatu mereka berjajar di depan pintu rumah juga helm-helm.
Selama ini kamar luas itu memang tidak dihuni. Kata pak Suwardi sengaja untuk tempat istirahat keluarga beliau jika mampir ke Surabaya. Pak Suwardi sekeluarga memang tidak tinggal di Surabaya. Meski mayoritas kos-kosan di gang sempit ini milik beliau, Pak Suwardi sekeluarga tinggal di Mojokerto. Beliau sendiri pulang pergi Surabaya-Mojokerto setiap hari karena beliau mengajar di sebuah SD di kota pahlawan ini.
Aku mulai menyampaikan gelisahku ke suami. Kenapa mereka ribut sekali. Cekakak-cekikik. Kadang tertawa terbahak-bahak. Jejeritan. Awalnya suamiku menyangka mereka adalah keluarga pak Suwardi. Tapi dugaan itu tidak benar. Anak pak Suwardi adalah dua orang laki-laki, tidak ada perempuan. Lagi pula jumlahnya tidak sebanyak itu.
Aku kembali menyengaja melintas di hadapan rumah berisik itu. Pintu terbuka lebar. Tampaklah dengan jelas sekarang anak-anak remaja itu berbaur. Dari sekian banyak sepatu sandal berjajar, aku lihat ada sepasang sepatu olahraga yang kuduga kuat itu adalah sepatunya pak Suwardi. Meski aku tak nampak batang hidung lelaki paruh baya itu.
Lagi-lagi ku sampaikan gelisah hati ke suami. Dugaanku sementara, mereka adalah anak murid pak Suwardi yang diajak ke rumah itu. Buat apa? Entahlah… tapi suamiku membantah pendapatku. Itu tidak mungkin. Pak Suwardi adalah guru olahraga sekolah dasar. Mana mungkin muridnya sudah sebesar itu. Iya juga pikirku.
Aku mendesak suamiku agar segera mendatangi kerumunan muda-mudi itu. Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Menasehati mereka jika ternyata mereka berbuat yang tidak-tidak. Namun beliau belum mau, dengan alasan, jika ada pak Suwardi bagaimana? Bukankah dia layaknya bapak kita.
Bukankan beliau guru pula. Bukankah beliau sudah tahu yang seperti itu (campur baur laki-laki perempuan) haram hukumnya. Itu sama artinya kita cari masalah dengan juragan kos disini.
Ayolah Nda… kita tidak boleh berdiam dengan apa yang terjadi. Walaupun ada pak Suwardi. Beliaukan juga manusia yang harus dinasehati jika menyimpang. Ayolah… agar kita tidak berkubang dalam gelisah dugaan. Memastikan duduk perkaranya. Agar tidak terjerumus dosa. Sebagian prasangka itukan dosa. Tapi suamiku tetap mematung. Apalagi setelah telfon bordering tanda orderan Grosir koyo hari itu dimulai.
Alamak… lagi-lagi aku galau. Pergaulan muda-mudi zaman sekarang membuat orangtua seperti aku benar-benar gelisah. Kerusakan ada dimana-mana. Arisan seks remaja di Sumatra Barat yang menyebabkan 200 siswi SMA hamil diluar nikah, sungguh memalukan.
Provinsi yang dulu terkenal dengan slogan adat bersendi syara’, Syara’ bersendi kitabullah (Adat berlandaskan hukum agama, hukum agama berlandaskan al-Qur’an) kini tinggal kenangan. Kota Minang yang religious berubah menjadi kota penuh kemaksiyatan.
Lagi-lagi aku nekat. Nekat mendatangi rumah itu dengan segala resiko. Biarlah nanti harus berhadapan dengan juragan kos gang sempit tidak mengapa. Ketimbang aku harus jadi setan bisu, yang diam dengan kemaksiyatan yang terjadi di depan mataku. Ya, aku bergegas kesana, sendiri. Yang akan terjadi, terjadilah. Laa hawlaa wa laa quwwata illa billah…
Pintu kamar masih menganga. Empat orang muda-mudi tidur menelungkup di atas spring bed tertawa-tawa menatapi ponsel-ponselnya, sepasang-sepasang. Ya Allah… betapa rasa malu telah terenggut. Apa yang mereka lakukan? Geram bercampur marah hati dan pikiran.
Empat orang yang lain lesehan di sisi spring bed juga sibuk dengan gadget mereka sambil tertawa menggoda. Dua orang bersandar di dinding dekat pintu yang terbuka. Kalau tidak salah, jumlahnya ada 11an orang. 6 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Mereka masih belum menyadari kehadiranku yang mematung melihat pemandangan itu. Masih belum kudapati sosok Pak Suwardi.
Kuketuk pintu keras-keras dengan koin recehan. Salam yang kuucapkan tegas mengejutkan. Semua kepala terpaling ke arahku. Seorang anak laki-laki yang tidur telungkup di atas spring bed bangun dan menghampiriku. Disusul dengan anak laki-laki yang satu lagi. Yang lain masih tetap pada posisi masing-masing. Kini aku berhadapan dengan dua orang remaja laki-laki. Berdiri tidak sama tinggi.
“Apa-apaan ini? Apa yang sedang kalian lakukan” bentakku penuh emosi.
“Enggak… ini cuma numpang istirahat aja kok” anak laki-laku yang kurus tinggi menjawabku tanpa ragu.
“Yang kalian lakukan ini salah! Dosa! Apa kalian nggak malu, tidur satu spring bed laki-laki perempuan seperti tadi. Aku menunjuk ke arah spring bed”
“Iya bu, Maaf…” lagi-lagi yang kurus tinggi angkat bicara. Minta maaf tapi tanpa nada bersalah.
“Kamu siapa?” aku bertanya pada kurus tinggi itu.
“Saya temannya Fadhil” ia menunjuk remaja sebelahnya.
“Lah, kamu Siapa?” kini aku bertanya pada remaja yang di sebut Fadhil. Ia agak canggung. Antara malu dan takut.
“Saya anaknya Pak Suwardi. Ini semua teman-teman saya. Kami sedang refreshing. Mau survey ke universitas di Surabaya”
“Pak Suwardi mana?”
“Nggak ada, bentar lagi datang kok”
“Pak Suwardi tahu agenda kalian ini?”
“Iya, tahu… sudah kasih tahu bapak mau liburan, tapi nanti tidurnya nggak bareng-bareng kok. Yang perempuan tidur di rumah pak Yanto” ia menunujuk rumah besar tempat adiknya pak Suwardi tinggal.
“Apaa? Pake acara minep?” dengusku dalam hati. Sungguh… para orangtua telah celaka. Membiarkan anak-anaknya pergi tamasya dengan bencana.
“Siapa namamu tadi?” suaraku sudah mulai melunak. Emosiku mulai stabil. Kupandangi satu persatu remaja-remaja itu. Teringatlah aku pada adik ku di desa, yang usianya juga sepantar mereka.
“Fadhil” jawabnya pendek dengan tatapan menunduk.
“Kamu tahu, apa artinya Fadhil?” mereka saling berisis tatap, menggeleng.
“Fadhil itu artinya keutamaan. Keutamaan dalam apa? Keutamaan dalam kebaikan. Bukan justru utama dalam keburukan. Apa yang kalian lakukan ini nggak pantas. Nggak boleh. Dosa. Haram. Allah dan rasul-Nya melarang laki-laki dan perempuan bercampur baur tanpa tujuan yang jelas seperti liburan. Coba lihat kalian ini, tidur bersama di satu spring bed. Ketawa-ketiwi. Apa itu maksudnya? Malu, Nak…. Malu!”
“Iya, Bu… maaf…”
“Bukan sekedar maaf, saya tidak butuh maaf! Sekarang juga, bubar kalian semua. Atau saya lapor ke pak RT sini untuk membubarkan kalian”
“Iya, iya… maaf…”
“Belajarlah yang bener. Masa depan kalian masih panjang. Jangan di habiskan untuk bergaul bebas. Menyesal nanti kalian. Oke ya! Bubar! Saya nggak mau lagi kalian seperti ini” Setelah mengucap salam, akupun pulang. Kulihat dari jauh satu persatu mereka pergi dari rumah itu.
Sore harinya, Pak Suwardi datang ke rumah kami. Dugaanku, mungkin ia akan marah padaku. Suamiku mulai mengawali pembicaraan dengan pak Suwardi. Soal keributan tadi pagi. Soal kemarahanku pada anaknya juga teman-temannya. Soal pengusiranku. Padahal aku bukan siapa-siapa.
Panjang lebar suamiku menjelaskan. Agar tak terjadi salah paham. Tak disangka-sangka, pak Suawardi justru menunduk mendengar penuturan suamiku. Beliau bahkan berterimakasih kepadaku, karena sudah menegur dan menasehati anaknya.
Kamipun malah berdiskusi panjang lebar soal masalah pergaulan bebas remaja masa kini. Beliau mengeluhkan minimnya pemahaman agama yang diberikan di bangku sekolah. Soal tayangan televisi yang rusak sehingga menyebabkan degradasi moral. Soal sulitnya menasehati anak remaja. Soal perilaku seksual yang menyimpang.
Kami bersepakat, bahwa memang harus ada yang peduli mengingatkan, menasehati jika ada kemaksiyatan di lingkungan sekitar kita. Jika kita terus diam dengan segala bentuk kerusakan ini, kira-kira apa yang akan terjadi dengan Negara ini 20 tahun yang akan datang? Loss generation.
Semestinya memang ada pembinaan untuk para generasi muda terkait pemahaman agama. Sayangnya kurikulum pendidikan tidak didesain untuk itu. Jam pelajaran agama hanya 2 jam. Itupun hanya membahas soal fikih yang kebanyakan belum dibutuhkan remaja. Misalnya pelajaran fikih haji. Bukankan ilmu itu untuk diamalkan, namun jika iilmu di pelajari tanpa ada pengamalan ya… wajar saja jika ilmu hanya akan menguap sesaat setelah pelajaran usai.
Selain itu, orang tua seharusnya peduli dengan pergaulan anak-anaknya. Mengawasi dan mengontrol gerak-gerik anak remaja. Kabar buruknya, orang tua sekarang justru sibuk memfasilitasi anak dengan limpahan materi. Mereka seolah lupa yang paling esensi. Yaitu membersamai anak dalam tumbuh kembang. Menjadi konsultan terbaik untuk anak. Tidak membiarkan anak terjerumus dalam kehidupan dan perilaku bebas. Memberikan teladan pergaulan yang baik.
Semestinya juga, Negara menerapkan sistem pergaulan dalam Islam. Yang menjadikan kehidupan laki-laki terpisah dengan kehidupan perempuan. Melarang pacaran, khalwat (berdua-duaan laki perempuan bukan mahram) dan ikhtilat (campur baur), seks diluar nikah. Bahkan menjatuhkan sangsi yang tegas untuk pelakunya.
Ah, banyak sekali yang harus dibenahi. Kita sekarang hidup di zaman yang malu tak lagi jadi perisai. Padahal malu adalah sebagian dari iman. Sebagai anggota masyarakat, kita tidak boleh diam dengan kerusakan yang terjadi. Sebisa munggkin cegahlah. Nasehatilah dan arus utamakanlah dakwah kepada Islam. Agar lambat laun, masyarakat tertunjuki dengan cahaya Islam. Agar kebangkitan Islam segera tertegakkan. Agar generasi terselamatkan.
Mungkin tulisan ini terlalu umum untuk membahas penanganan gaul bebas remaja. Insya Allah pembahasan lebih rinci akan saya tuliskan pada artikel selanjutnya berjudul Tips menangani pergaulan bebas remaja. insya Allah...
Salam kebangkitan Islam, Allahu Akbar!
Siwalankerto, 09 Mei 2014, 07:08
Selama ini kamar luas itu memang tidak dihuni. Kata pak Suwardi sengaja untuk tempat istirahat keluarga beliau jika mampir ke Surabaya. Pak Suwardi sekeluarga memang tidak tinggal di Surabaya. Meski mayoritas kos-kosan di gang sempit ini milik beliau, Pak Suwardi sekeluarga tinggal di Mojokerto. Beliau sendiri pulang pergi Surabaya-Mojokerto setiap hari karena beliau mengajar di sebuah SD di kota pahlawan ini.
Aku mulai menyampaikan gelisahku ke suami. Kenapa mereka ribut sekali. Cekakak-cekikik. Kadang tertawa terbahak-bahak. Jejeritan. Awalnya suamiku menyangka mereka adalah keluarga pak Suwardi. Tapi dugaan itu tidak benar. Anak pak Suwardi adalah dua orang laki-laki, tidak ada perempuan. Lagi pula jumlahnya tidak sebanyak itu.
Aku kembali menyengaja melintas di hadapan rumah berisik itu. Pintu terbuka lebar. Tampaklah dengan jelas sekarang anak-anak remaja itu berbaur. Dari sekian banyak sepatu sandal berjajar, aku lihat ada sepasang sepatu olahraga yang kuduga kuat itu adalah sepatunya pak Suwardi. Meski aku tak nampak batang hidung lelaki paruh baya itu.
Lagi-lagi ku sampaikan gelisah hati ke suami. Dugaanku sementara, mereka adalah anak murid pak Suwardi yang diajak ke rumah itu. Buat apa? Entahlah… tapi suamiku membantah pendapatku. Itu tidak mungkin. Pak Suwardi adalah guru olahraga sekolah dasar. Mana mungkin muridnya sudah sebesar itu. Iya juga pikirku.
Aku mendesak suamiku agar segera mendatangi kerumunan muda-mudi itu. Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Menasehati mereka jika ternyata mereka berbuat yang tidak-tidak. Namun beliau belum mau, dengan alasan, jika ada pak Suwardi bagaimana? Bukankah dia layaknya bapak kita.
Bukankan beliau guru pula. Bukankah beliau sudah tahu yang seperti itu (campur baur laki-laki perempuan) haram hukumnya. Itu sama artinya kita cari masalah dengan juragan kos disini.
Ayolah Nda… kita tidak boleh berdiam dengan apa yang terjadi. Walaupun ada pak Suwardi. Beliaukan juga manusia yang harus dinasehati jika menyimpang. Ayolah… agar kita tidak berkubang dalam gelisah dugaan. Memastikan duduk perkaranya. Agar tidak terjerumus dosa. Sebagian prasangka itukan dosa. Tapi suamiku tetap mematung. Apalagi setelah telfon bordering tanda orderan Grosir koyo hari itu dimulai.
Alamak… lagi-lagi aku galau. Pergaulan muda-mudi zaman sekarang membuat orangtua seperti aku benar-benar gelisah. Kerusakan ada dimana-mana. Arisan seks remaja di Sumatra Barat yang menyebabkan 200 siswi SMA hamil diluar nikah, sungguh memalukan.
Provinsi yang dulu terkenal dengan slogan adat bersendi syara’, Syara’ bersendi kitabullah (Adat berlandaskan hukum agama, hukum agama berlandaskan al-Qur’an) kini tinggal kenangan. Kota Minang yang religious berubah menjadi kota penuh kemaksiyatan.
Lagi-lagi aku nekat. Nekat mendatangi rumah itu dengan segala resiko. Biarlah nanti harus berhadapan dengan juragan kos gang sempit tidak mengapa. Ketimbang aku harus jadi setan bisu, yang diam dengan kemaksiyatan yang terjadi di depan mataku. Ya, aku bergegas kesana, sendiri. Yang akan terjadi, terjadilah. Laa hawlaa wa laa quwwata illa billah…
Pintu kamar masih menganga. Empat orang muda-mudi tidur menelungkup di atas spring bed tertawa-tawa menatapi ponsel-ponselnya, sepasang-sepasang. Ya Allah… betapa rasa malu telah terenggut. Apa yang mereka lakukan? Geram bercampur marah hati dan pikiran.
Empat orang yang lain lesehan di sisi spring bed juga sibuk dengan gadget mereka sambil tertawa menggoda. Dua orang bersandar di dinding dekat pintu yang terbuka. Kalau tidak salah, jumlahnya ada 11an orang. 6 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Mereka masih belum menyadari kehadiranku yang mematung melihat pemandangan itu. Masih belum kudapati sosok Pak Suwardi.
Kuketuk pintu keras-keras dengan koin recehan. Salam yang kuucapkan tegas mengejutkan. Semua kepala terpaling ke arahku. Seorang anak laki-laki yang tidur telungkup di atas spring bed bangun dan menghampiriku. Disusul dengan anak laki-laki yang satu lagi. Yang lain masih tetap pada posisi masing-masing. Kini aku berhadapan dengan dua orang remaja laki-laki. Berdiri tidak sama tinggi.
“Apa-apaan ini? Apa yang sedang kalian lakukan” bentakku penuh emosi.
“Enggak… ini cuma numpang istirahat aja kok” anak laki-laku yang kurus tinggi menjawabku tanpa ragu.
“Yang kalian lakukan ini salah! Dosa! Apa kalian nggak malu, tidur satu spring bed laki-laki perempuan seperti tadi. Aku menunjuk ke arah spring bed”
“Iya bu, Maaf…” lagi-lagi yang kurus tinggi angkat bicara. Minta maaf tapi tanpa nada bersalah.
“Kamu siapa?” aku bertanya pada kurus tinggi itu.
“Saya temannya Fadhil” ia menunjuk remaja sebelahnya.
“Lah, kamu Siapa?” kini aku bertanya pada remaja yang di sebut Fadhil. Ia agak canggung. Antara malu dan takut.
“Saya anaknya Pak Suwardi. Ini semua teman-teman saya. Kami sedang refreshing. Mau survey ke universitas di Surabaya”
“Pak Suwardi mana?”
“Nggak ada, bentar lagi datang kok”
“Pak Suwardi tahu agenda kalian ini?”
“Iya, tahu… sudah kasih tahu bapak mau liburan, tapi nanti tidurnya nggak bareng-bareng kok. Yang perempuan tidur di rumah pak Yanto” ia menunujuk rumah besar tempat adiknya pak Suwardi tinggal.
“Apaa? Pake acara minep?” dengusku dalam hati. Sungguh… para orangtua telah celaka. Membiarkan anak-anaknya pergi tamasya dengan bencana.
“Siapa namamu tadi?” suaraku sudah mulai melunak. Emosiku mulai stabil. Kupandangi satu persatu remaja-remaja itu. Teringatlah aku pada adik ku di desa, yang usianya juga sepantar mereka.
“Fadhil” jawabnya pendek dengan tatapan menunduk.
“Kamu tahu, apa artinya Fadhil?” mereka saling berisis tatap, menggeleng.
“Fadhil itu artinya keutamaan. Keutamaan dalam apa? Keutamaan dalam kebaikan. Bukan justru utama dalam keburukan. Apa yang kalian lakukan ini nggak pantas. Nggak boleh. Dosa. Haram. Allah dan rasul-Nya melarang laki-laki dan perempuan bercampur baur tanpa tujuan yang jelas seperti liburan. Coba lihat kalian ini, tidur bersama di satu spring bed. Ketawa-ketiwi. Apa itu maksudnya? Malu, Nak…. Malu!”
“Iya, Bu… maaf…”
“Bukan sekedar maaf, saya tidak butuh maaf! Sekarang juga, bubar kalian semua. Atau saya lapor ke pak RT sini untuk membubarkan kalian”
“Iya, iya… maaf…”
“Belajarlah yang bener. Masa depan kalian masih panjang. Jangan di habiskan untuk bergaul bebas. Menyesal nanti kalian. Oke ya! Bubar! Saya nggak mau lagi kalian seperti ini” Setelah mengucap salam, akupun pulang. Kulihat dari jauh satu persatu mereka pergi dari rumah itu.
Sore harinya, Pak Suwardi datang ke rumah kami. Dugaanku, mungkin ia akan marah padaku. Suamiku mulai mengawali pembicaraan dengan pak Suwardi. Soal keributan tadi pagi. Soal kemarahanku pada anaknya juga teman-temannya. Soal pengusiranku. Padahal aku bukan siapa-siapa.
Panjang lebar suamiku menjelaskan. Agar tak terjadi salah paham. Tak disangka-sangka, pak Suawardi justru menunduk mendengar penuturan suamiku. Beliau bahkan berterimakasih kepadaku, karena sudah menegur dan menasehati anaknya.
Kamipun malah berdiskusi panjang lebar soal masalah pergaulan bebas remaja masa kini. Beliau mengeluhkan minimnya pemahaman agama yang diberikan di bangku sekolah. Soal tayangan televisi yang rusak sehingga menyebabkan degradasi moral. Soal sulitnya menasehati anak remaja. Soal perilaku seksual yang menyimpang.
Kami bersepakat, bahwa memang harus ada yang peduli mengingatkan, menasehati jika ada kemaksiyatan di lingkungan sekitar kita. Jika kita terus diam dengan segala bentuk kerusakan ini, kira-kira apa yang akan terjadi dengan Negara ini 20 tahun yang akan datang? Loss generation.
Semestinya memang ada pembinaan untuk para generasi muda terkait pemahaman agama. Sayangnya kurikulum pendidikan tidak didesain untuk itu. Jam pelajaran agama hanya 2 jam. Itupun hanya membahas soal fikih yang kebanyakan belum dibutuhkan remaja. Misalnya pelajaran fikih haji. Bukankan ilmu itu untuk diamalkan, namun jika iilmu di pelajari tanpa ada pengamalan ya… wajar saja jika ilmu hanya akan menguap sesaat setelah pelajaran usai.
Selain itu, orang tua seharusnya peduli dengan pergaulan anak-anaknya. Mengawasi dan mengontrol gerak-gerik anak remaja. Kabar buruknya, orang tua sekarang justru sibuk memfasilitasi anak dengan limpahan materi. Mereka seolah lupa yang paling esensi. Yaitu membersamai anak dalam tumbuh kembang. Menjadi konsultan terbaik untuk anak. Tidak membiarkan anak terjerumus dalam kehidupan dan perilaku bebas. Memberikan teladan pergaulan yang baik.
Semestinya juga, Negara menerapkan sistem pergaulan dalam Islam. Yang menjadikan kehidupan laki-laki terpisah dengan kehidupan perempuan. Melarang pacaran, khalwat (berdua-duaan laki perempuan bukan mahram) dan ikhtilat (campur baur), seks diluar nikah. Bahkan menjatuhkan sangsi yang tegas untuk pelakunya.
Ah, banyak sekali yang harus dibenahi. Kita sekarang hidup di zaman yang malu tak lagi jadi perisai. Padahal malu adalah sebagian dari iman. Sebagai anggota masyarakat, kita tidak boleh diam dengan kerusakan yang terjadi. Sebisa munggkin cegahlah. Nasehatilah dan arus utamakanlah dakwah kepada Islam. Agar lambat laun, masyarakat tertunjuki dengan cahaya Islam. Agar kebangkitan Islam segera tertegakkan. Agar generasi terselamatkan.
Mungkin tulisan ini terlalu umum untuk membahas penanganan gaul bebas remaja. Insya Allah pembahasan lebih rinci akan saya tuliskan pada artikel selanjutnya berjudul Tips menangani pergaulan bebas remaja. insya Allah...
Salam kebangkitan Islam, Allahu Akbar!
Siwalankerto, 09 Mei 2014, 07:08