Berkompromi dengan Dingin Kerinci

Berkompromi dengan Dingin Kerinci

Berkompromi dengan Dingin Kerinci
Kota Sungai Penuh
Catatan ini adalah kelanjutan dari catatan yang lalu berjudul Selamat Datang di Jambi.

Brrrrrr... dingiiiin. Sejak masuk ke daerah Muara Imat, dingin sudah menusuk tulang. AC mobil sengaja tidak dinyalakan sejak berangkat dari Jambi. Sebab, sopir dan penumpang sama-sama ahlul-hisab (perokok berat).

Setalah matahari tenggelam, kami sama sekali tak melihat apa yang ada di sepanjang jalan. Sebab kami tiba di Bangko sudah masuk waktu Isya. Namun karena pakaian telah terkena najis muntahan Naufa dan Naura, kami menunda shalat Maghrib dan Isya hingga tiba di rumah emak. Insya Allah masih masuk waktu shalat Isya. Masih bisa jamak takhir.

Benar saja, tiba di depan rumah pukul 02.00 dini hari. Setelah mengobrol secukupnya kamipun bergegas shalat. Namun apa daya, aku bahkan tak berani menyentuh air. Seperti es. Bersyukur emak sudah menyiapkan air panas untuk membersihkan diri. eh... lupa, bukannya wudhu nggak boleh pake air hangat. Jadi deh memaksakan diri untuk tetap menyentuh air es itu.

Kerinci ini seperti wajan. Pemukiman penduduk ada di cekungan terdalam nan datar. Dikelilingi oleh bukit berbaris. Udaranya sangat dingin menurutku. Airnya masih sangat jernih. Mengalir alami dari pegunungan. Hingga pukul 12 siangpun air masih sedingin es dan selepas ashar udara kembali diliputi dingin. Jadilah super males mandi.

Disini kipas angin dan AC tak laku. Suasana kontras 180 derajat dengan Surabaya. Di tengah suasana dingin, aku mencoba mengingat-ingat hangatnya kota Surabaya. Tapi tetap tak bisa. Meski pakaian lengkap bahkan jaket membalut utuh tubuh, keukeuh tulang seperti ditusuk-tusuk.

Jika di Surabaya mandi bisa 6 x sehari, sebab mengatasi kegerahan. Kalau disini, mandi sekali sudah bersyukur. Itupun kalau terpaksa. Pakai air hangat pula. Naufa dan Naura bahkan harus menangis kencang-kencang jika harus ke kamar mandi sekedar mau pipis. “Dingin Bunda...” jangankan berendam sebagaimana yang lazim mereka lakukan di Surabaya, wong cuci kaki jelang tidur saja ogah.

Waktu tinggal di Surabaya, berandai-andai tinggal di daerah dingin macam kerinci namun begitu di Kerinci aku benar-benar kangen Surabaya. Manusia ini kerjanya emang berkeluh kesah ya... astaghfirullah...

Allah berfirman:

“.... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (TQS. Al Baqarah : 216)

Jadi memang manusia ini nggak bisa jadi patokan. Soalnya lebih sering mencla-mencle. Suka salah menafsirkan dan nggak kokoh pijakan. Itulah kenapa, manusia itu nggak boleh bikin aturan untuk mengatur dirinya dan interaksinya dengan manusia lain. Butuh bukti? Lah kondisi sekarang ini adalah buktinya. Manusia diberi kewenangan untuk bikin aturan lewat Demokrasi. Nyatanya? Kerusakan ada dimana-mana. 

Anyway, untuk bisa berkompromi dengan dingin Kerinci, emak telah menyediakan 2 selimut super tebal. Selain itu juga harus menjaga diri agar tak terpaksa mandi pagi-pagi. Hehe...

Ayah Naufa yang lahir dan besar di Kerinci saja sangat kedinginan. Mungkin karena beliau sudah 14 tahun merantau. Jadi sudah lupa tanah kelahirannya. Apalagi aku yang bukan orang sini. Padahal, Sungai penuh mah masih belum apa-apa. Daerah Kayu Aro lebih parah lagi. Sebab daerah itu ada di dataran tinggi di kaki gunung Kerinci.

Rumah emak tepat di tepi jalan Depati Parbo. Pagi hari di Sungai Penuh sungguh indah. Meski udara dingin, namun keelokan kerinci memang luar biasa. Kami menempati kamar di lantai atas rumah panggung itu. Dari sinilah aku bisa menyaksikan lalu lalang penduduk Sungai Penuh.

Jika pagi hari, aku duduk bersantai di teras atas. Sambil membuka laptop, mendengar kan lagu daerah kerinci, menyeruput teh hangat, dan menuliskan catatan demi catatan. Menikmati udara pagi. Deretan bukit di depanku sungguh indah.

Oya, selama disini sebenarnya aku lebih banyak diam dan mendengar. Beda Daerah Beda Lahjah. Meski sudah 7 tahun menjadi menantu orang Kumun, tapi aku sama sekali tak bisa memahami apalagi mengucapkan bahasa Kumun. Mbuletisasi. Meliuk-liuk dan banyak yang disingkat-singkat. Ini kali kedua aku sowan ke Kerinci. Dulu sekali, tahun 2008 aku pernah diajak pulang. Tapi kesempatan itu tak bisa menambah kosakata bahasa Kumun.

Aku termasuk menantu spesial. Sebab, biasanya orang Kincai tak mau dapat menantu orang luar daerah. Tapi suamiku termasuk yang membelot. Menikahi gadis Japung. Jawa kelahiran Lampung. Lihat saja teman-teman ayah Naufa. Meski sudah pernah merantau karna kuliah di luar kota, tapi soal menikah "nehi-nehi" mengambil gadis luar daerah. Kok bisa ketemu ayah Naufa, ah... lagi-lagi ini rahasia jodoh.

Kuliner di Kerinci ini dominan pedas dan santan. Tidak bisa makan tanpa sambal dan ikan. Sambalnya super pedas. Nggak kuat. Dua hari nggak doyan makan, karna aku nggak bisa makan pedas yang keterlaluan. Akhirnya di hari ketiga masaknya 2 menu. Khusus untuk aku dan untuk keluarga besar. Kasihan juga. Semua orang jadi rempong dengan kehadiran kami.

4 hari pertama di Sungai Penuh, kami habiskan untuk silaturahmi ke sanak saudara. Mengenalkan Naufa dengan keluarga besarnya. Sementara Naufa dan Naura sibuk mengejar binatang peliharaan. Kambing, ayam, bebek, kucing adalah target kejaran mereka berdua. Aku sendiri tak habis fikir kenapa sampai di Kincai yang mereka uber-uber itu semua.

Sempat berkunjung ke Tanjung Pauh. Rumah seorang teman kuliah Ayah Naufa. Abu Zaid dan Ayah Zayra. Eh sampai disana disuguhi empek-empek palembang yang sedap nian asli buatan emak Zaid. Jazakumullah khairan untuk sambutan hangat kalian. Emak Zaid memang jago masak. Top dah...

bersambung Rihlah ke Kayu Aro

Related

Traveling 8390147378133327496

Post a Comment

emo-but-icon

Tulisan Unggulan

Sebulan Bisa Hafal Satu Juz?

Hafalan Al-Qur'an Yuuuk Saya memulai jadwal tahfidz harian ba'da shubuh. Saat suasana masih sangat tenang, Goma masih lelap ...

Catatan Terbaru

item