Merindukan Surabaya

Merindukan Surabaya

Kebun Bibit Surabaya
Suasana kolam di Kebun Bibit Surabaya
Seberapa indah Surabaya? Tergantung. Seberapa luas kota Pahlawan itu kita jelajah. Kalau kita hanya berkutat di gang sempit di salah satu sudut Siwalankerto tentu saja Surabaya adalah kota paling buruk di dunia. Sanitasinya payah, kos-kosan sempit padat tanpa sirkulasi yang baik. Goyang oplosan siang malam diputar sebagai penghilang stress penghuni pemukiman itu.

Namun, jika kita menyempatkan diri berjalan-jalan atau bahkan berkeliling kota Surabaya, kita akan mendapati tempat-tempat yang asri di pusat kota. Taman bungkul, taman apsari, taman pelangi, kebun bibit, kebun binatang Surabaya dan taman-taman yang lain begitu hijau dan menyejukkan mata siapa saja yang menatapnya.

Bahkan pengendara sepeda ontelpun asyik masyuk di antara rimbunnya pohon yang menjulang. Menjadikan Surabaya yang panas tak begitu terasa gerah.

Saya sendiri, 4 tahun di Surabaya, belum bisa menjelajah Surabaya. Bahkan jembatan suramadu yang terkenal itupun tak sempat bertemu. Rihlah kami paling sering ya ke toko buku, perpustakaan, masjid, kebun flora, kebun fauna, dan sedikit mencicipi khasanah kuliner kejawa-timuran di beberapa lokasi.

Sempat juga bertandang ke kawasan Sunan Ampel. Ups… bukan untuk ziarah. Tapi untuk kulakan kurma ketika kami mulai usaha kue lebaran coklat kurma. Kawasan sunan ampel memang terkenal dengan pusat kurma. Berbagai jenis kurma bisa kita dapati disana. Harganya murah-murah. Selain kurma, juga ada berbagai perlengkapan dan oleh-oleh haji.

Kalau ingin mencicipi khasanah kuliner, di Surabaya banyak sekali tempatnya. Salah satu yang kami rekomendasikan adalah kawasan Kutisari. Anda bisa mendapati berbagai jenis makanan. Mulai dari gado-gado, rawon, pecel madiun, aneka jus, krengsengan, pecel lele, ayam bakar, rujak cingur, bebek goreng dan lain-lain.

Kalau malam hari lebih ramai lagi, sepanjang jalan Rungkut, Gunung anyar, Ahmad Yani berjajar pedagang yang mengais rejeki dengan dagang makanan. Juga di sepanjang jalan Jemursari. Apalagi di sekitar belakang kampus IAIN Sunan Ampel (Jl.Jemur Wonosari Lebar).

Tapi warung-warung di sepanjang jalan Jemur Wonosari lebar yang tembus ke Margorejo ini agak kumuh. Meski harganya murah (mungkin karena area kampus) tapi saya enggan mampir. Begitu juga sepanjang jalan Kendang sari yang tembus Tenggilis Mejoyo, bertabur pedagang kuliner dengan aneka jenis masakan.

Kuliner jawa timur didominasi oleh warna hitam. Tersebab bumbu petis udang yang tak dapat terpisahkan dari racikan. Kalau dilihat sepintas lalu, agak merasa jijik menyantapnya, tapi kalau sudah dimakan, Hm… yummy… nikmat. Mamang butuh adaptasi.

Awal-awal di Surabaya saya benar-benar mual dibuatnya. Tak sanggup menelan makanan yang serba hitam itu. Sebut saja rawon, lontong mie, lontong tahu, tahu tek, rujak cingur semua makanan yang saya sebutkan dominan warna hitam. “Hiiy… kok seperti aer got ya Bun…” komentar seorang anak teman saya yang untuk pertama kalinya makan rawon di hotel. Kebetulan ia ikut ayahnya yang bertugas ke Surabaya.

Tahun pertama, saya belum bisa menelan yang namanya rujak cingur. Namun tahun ketiga hingga sekaraang, rujak cingur justru menjadi makanan favorit yang saya rindukan. Harga kuliner di Surabayapun terjangkau. Nasi pecel madiun lengkap dengan lauk hanya seharga Rp. 7.500 dengan tempat yang lumayan bergengsi. Nasi pecel lele juga hanya Rp. 7.500. Murah sekali bukan? Itulah kenapa saya bilang bahwa beli makanan jadi lebih murah ketimbang masak sendiri di artikel mendingan masak sendiri atau beli yang siap saji?.

Ketika kami boyongan ke Kota Depok, kaget bukan kepalang. Makanan disini harganya dua kali lipat. Nasi pecel lele Rp. 14.000 Nasi Bebek goreng Rp. 24.000. Wooow… padahal nasi bebek goreng di Surabaya hanya Rp. 11.000 – Rp.13.000 saja. Hm… tapi mungkin, karena ini kali pertama…  seberapa indah kota Depok? Tentu saya belum bisa merasakannya. Wong belum kemana-mana.

Anyway, saya memang merindukan Surabaya. Rindu dengan tata kotanya yang istimewa. Bersih dan hijau sebagaimana yang menjadi moto kota pahlawan itu. Merindukan suasana perpustakaan daerah Rungkut. Rindu dengan angkotnya yang super lemot. Rindu dengan hingar bingar pusat grosiran Kapasan dan PGS. Rindu dengan masjid Al-Akbar. Rindu dengan taman Apsari yang rutin menjadi tempat shalat ‘ied dan berbagai masirah yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia kota Surabaya. “Ah itumah syndrome baru pindahan aja, Entar juga lupa!”kata ayah Naufa saat mendengar celotehku.

Yo wes lah… mene-mene aku ndek suroboyo maneh, Rek. #mewek

Depok, 9 Juni 2014, 03:58

Related

Traveling 2209761926828301876

Post a Comment

emo-but-icon

Tulisan Unggulan

Sebulan Bisa Hafal Satu Juz?

Hafalan Al-Qur'an Yuuuk Saya memulai jadwal tahfidz harian ba'da shubuh. Saat suasana masih sangat tenang, Goma masih lelap ...

Catatan Terbaru

item