Kecil-Kecil Pacaran
Aku punya tetangga. Namanya Jordi. Laki-laki. Kurus. Kelas 5 SD. Pernah aku cerita tentangnya di artikel tips menghadapi anak yang susah makan.
Hari itu ia duduk di depan teras rumahnya. Bersama dua orang temannya. Sepertinya teman satu kelas. Karna tampaknya mereka sebaya.
Mereka berhaha-hihi, cerita ngalor ngidul. Sesekali menikmati jamuan yang di sajikan ibunya Jordi. Mendengar gelak tawa di rumah tetangga. Naufa dan Naura beranjak menyaksikan ada gerangan apakah yang membuat tawa renyah merdu terdengar.
Kakak beradik itupun ikut berdiri mematung di depan teras kami yang letaknya tepat bersebelahan. Menonton obrolan ketiga anak sd yang tengah tertawa gelak-gelak.
Aku yang sedang meracik sayuran merasa janggal dengan obrolan mereka. Akupun beranjak ke depan rumah. Mendapati Naufa dan Naura sesekali tersenyum mendengar dan melihat ulah tetangga kami itu.
Dua orang anak perempuan seusia Jordi duduk lesehan bersama Jordi. Mereka duduk saling berhadapan. Pakaiannya ketat layaknya biduan. Yang satu pakai rok sepaha dengan atasan berumbai. Sangsatunya lagi pakai celana pensil.
Ini tho yang namanya celana pensil. Model celana ketat yang membentuk paha dan agak runcing di ujungnya. Kalau orang pakai celana ini, mirip sekali dengan pensil. Itulah mungkin kenapa di sebut celana pensil. Mereka masih tertawa bercanda bahkan saat aku ikut mematung melihatnya.
Hm… melihat obrolan beginian. Aku merasa perlu campur tangan.
“Aih… Mas Jordi ada tamu ya…” aku menatap ketiganya yang serempak menghentikan tawa demi mendengar aku bertanya.
“Siapa namanya?” aku menjulurkan tangan kanan berkenalan. Mereka menyebut nama masing-masing. Jordi tertawa geli melihat ulahku. Sementara dua anak perempuan temannya sedikit keki.
“Kenalin… ini Naufa dan yang ini Naura…” keduanya tersenyum mengangguk. Sementara Naufa dan Naura nyengir kuda malu-malu kegeeran. Sambil menampilkan senyum paling manis abad ini.
“Wah… ada tugas dari sekolah ya yang harus dikerjakan…” tanyaku memulai percakapan.
“Nggak… main aja kok…” Keduanya menggeleng.
“Ini nih mau main tempat Jordi” eh yang pakai celana pensil angat bicara sambil menyikut teman satunya. Yang disikut misuh-misuh.
“Iya tuh… nggak tau… ngapel kali” kali ini Jordi yang menimpali. Dua anak perempuan itu salah tingkah dengan kalimat Jordi.
“Haaa… ngapel?” aku agak terkejut dengan kalimat Jordi. Pertama, karena mereka bertiga terkatogeri masih imut untuk mengenal kalimat ngapel yang berhubungan dengan pacaran. Kedua, karena mereka berdua perempuan. Mosok perempuan yang ngapel ke tempat laki-laki.
“Iya mba…?” aku memandang anak perempuan yang pakai rok mini. Ia tersipu malu-malu. Dari gelagatnya aku rasa dia memang suka dengan Jordi. Meski ia tak mengiyakannya.
Tak kupungkiri, walau Jordi kurus kering tapi ia memang anak yang tampan dengan kulit yang cerah. Namun… sedini inikah mereka jatuh cinta bahkan mengungkapkan rasa sukanya dengan kunjungan.
“Mba… kalau nggak ada keperluan… sebaiknya jangan main tempat anak bujang. Malu tauk…” Jordi ketawa-ketiwi mendengar nasehat pertamaku. Dua anak perempuan itu saling bertatapan. Merasa bersalah.
“Malulah… masak cewek mendatangi cowok. Eh... PACARAN itu nggak boleh lho dalam islam"
"Kan nggak berdua-dua an, ini ada temannya" elaknya.
"Kumpul-kumpul laki-laki perempuan kayak gini tanpa tujuan yang jelas (misalnya belajar, berobat) itu juga tidak boleh dalam aturan ISLAM. Itu namanya ikhtilat alias campur baur. Ikhtilat Haram hukumnya. Dosa pelakunya.” mereka menunduk. Bude Mira (ibunya Jordi) lama memandangi obrolan kami. Diam.
“Yuk gih… sekarang pulang yah, anak perempuan mainnya sama anak perempuan. Anak laki-laki mainnya sama anak laki-laki” mereka berisi tatap. Antara binggung mau tetap disitu atau pulang mengikuti anjuranku.
“Iya tuh, dengerin…” Jordi lagi-lagi cuek menimpali.
“Maaf ya… Bunda memang bukan tuan rumah. Tapi bunda punya kewajiban mengingatkan. Kalau bunda diam dengan kemaksiatan yang bunda lihat, bunda ikutan dosa. Idih… nggak mau ah, kecipratan dosa…” aku mengangkat bahu sambil berekspresi ngeri. Naufa dan Naura menyimak.
Dua anak perempuan itupun berdiri hendak pulang.
“Naaah… satu lagi-satu lagi...” aku menghampiri keduanya yang tengah berdiri. Menunjuk pada rok mini dan celana pensil yang mereka kenakan. Keduanya tambah salah tingkah saja aku perhatikan.
“Rok ini dan celana ini... Nggak pantas dipakai keluar rumah. Bahaya nduk… nanti kamu bisa diperkosa orang di jalan” keduanya masih mematut diri masing-masing. Yang satunya menarik-narik roknya yang mini ke bawah agar menutup lebih banyak. Yang satunya lagi tersenyum malu-malu.
“ Anak perempuan kalo keluar rumah harus menutup aurat. Pakai jilbab. pakai kerudung. Seperti bunda ini lho…” Aku berdiri memeragakan pakaianku.
“Ya sudah… langsung pulang yah… diganti bajunya…” keduanya mengangguk dan berlari meninggalkanku.
Aku menghela nafas panjang. Ya Allah… di tengah maraknya pelecehan seksual terhadap anak, orang tua seolah tidak mengambil pelajaran untuk melindungi anak-anaknya. Anak-anak dibiarkan bergaul tanpa arahan. Membiarkan televisi mengajarkan budaya hedonis, pacaran, gaul bebas, berpakaian minim.
Berbagai kasus kejahatan terhadap anak seharusnya membuat para orang tua gelisah dan mengambil peranan dalam mengarahkan anak-anaknya. Membentengi mereka dari segala budaya yang merusak. Ya Allah…
Aku semakin galau dengan kondisi masyarakat yang sakit ini. Masyarakat yang cuek dengan lingkungan sekitarnya. Andai saja aturan pergaulan dalam Islam diterapkan dalam tatanan Negara, mungkin akan lain ceritanya.
Saat ini, yang bisa aku lakukan hanya mengingatkan. Mencegah kemungkaran sekemampuanku. Mendakwahkan kebenaran juga sekemampuanku. Aku bahkan tidak dapat memaksa seseorang menutup auratnya.
Ya Allah… semoga hati-hati yang keras terketuk dengan hidayah. Agar kesadaran akan hukum-hukum Islam semakin menyebar luas. Ampuni aku ya Allah… yang masih belum bisa optimal dalam menyuarakan kebenaran.
Rindu penerapan Syari’ah dalam bingkai Khilafah
Surabaya, 24 April 2014, 06:39
Hari itu ia duduk di depan teras rumahnya. Bersama dua orang temannya. Sepertinya teman satu kelas. Karna tampaknya mereka sebaya.
Mereka berhaha-hihi, cerita ngalor ngidul. Sesekali menikmati jamuan yang di sajikan ibunya Jordi. Mendengar gelak tawa di rumah tetangga. Naufa dan Naura beranjak menyaksikan ada gerangan apakah yang membuat tawa renyah merdu terdengar.
Kakak beradik itupun ikut berdiri mematung di depan teras kami yang letaknya tepat bersebelahan. Menonton obrolan ketiga anak sd yang tengah tertawa gelak-gelak.
Aku yang sedang meracik sayuran merasa janggal dengan obrolan mereka. Akupun beranjak ke depan rumah. Mendapati Naufa dan Naura sesekali tersenyum mendengar dan melihat ulah tetangga kami itu.
Dua orang anak perempuan seusia Jordi duduk lesehan bersama Jordi. Mereka duduk saling berhadapan. Pakaiannya ketat layaknya biduan. Yang satu pakai rok sepaha dengan atasan berumbai. Sangsatunya lagi pakai celana pensil.
Ini tho yang namanya celana pensil. Model celana ketat yang membentuk paha dan agak runcing di ujungnya. Kalau orang pakai celana ini, mirip sekali dengan pensil. Itulah mungkin kenapa di sebut celana pensil. Mereka masih tertawa bercanda bahkan saat aku ikut mematung melihatnya.
Hm… melihat obrolan beginian. Aku merasa perlu campur tangan.
“Aih… Mas Jordi ada tamu ya…” aku menatap ketiganya yang serempak menghentikan tawa demi mendengar aku bertanya.
“Siapa namanya?” aku menjulurkan tangan kanan berkenalan. Mereka menyebut nama masing-masing. Jordi tertawa geli melihat ulahku. Sementara dua anak perempuan temannya sedikit keki.
“Kenalin… ini Naufa dan yang ini Naura…” keduanya tersenyum mengangguk. Sementara Naufa dan Naura nyengir kuda malu-malu kegeeran. Sambil menampilkan senyum paling manis abad ini.
“Wah… ada tugas dari sekolah ya yang harus dikerjakan…” tanyaku memulai percakapan.
“Nggak… main aja kok…” Keduanya menggeleng.
“Ini nih mau main tempat Jordi” eh yang pakai celana pensil angat bicara sambil menyikut teman satunya. Yang disikut misuh-misuh.
“Iya tuh… nggak tau… ngapel kali” kali ini Jordi yang menimpali. Dua anak perempuan itu salah tingkah dengan kalimat Jordi.
“Haaa… ngapel?” aku agak terkejut dengan kalimat Jordi. Pertama, karena mereka bertiga terkatogeri masih imut untuk mengenal kalimat ngapel yang berhubungan dengan pacaran. Kedua, karena mereka berdua perempuan. Mosok perempuan yang ngapel ke tempat laki-laki.
“Iya mba…?” aku memandang anak perempuan yang pakai rok mini. Ia tersipu malu-malu. Dari gelagatnya aku rasa dia memang suka dengan Jordi. Meski ia tak mengiyakannya.
Tak kupungkiri, walau Jordi kurus kering tapi ia memang anak yang tampan dengan kulit yang cerah. Namun… sedini inikah mereka jatuh cinta bahkan mengungkapkan rasa sukanya dengan kunjungan.
“Mba… kalau nggak ada keperluan… sebaiknya jangan main tempat anak bujang. Malu tauk…” Jordi ketawa-ketiwi mendengar nasehat pertamaku. Dua anak perempuan itu saling bertatapan. Merasa bersalah.
“Malulah… masak cewek mendatangi cowok. Eh... PACARAN itu nggak boleh lho dalam islam"
"Kan nggak berdua-dua an, ini ada temannya" elaknya.
"Kumpul-kumpul laki-laki perempuan kayak gini tanpa tujuan yang jelas (misalnya belajar, berobat) itu juga tidak boleh dalam aturan ISLAM. Itu namanya ikhtilat alias campur baur. Ikhtilat Haram hukumnya. Dosa pelakunya.” mereka menunduk. Bude Mira (ibunya Jordi) lama memandangi obrolan kami. Diam.
“Yuk gih… sekarang pulang yah, anak perempuan mainnya sama anak perempuan. Anak laki-laki mainnya sama anak laki-laki” mereka berisi tatap. Antara binggung mau tetap disitu atau pulang mengikuti anjuranku.
“Iya tuh, dengerin…” Jordi lagi-lagi cuek menimpali.
“Maaf ya… Bunda memang bukan tuan rumah. Tapi bunda punya kewajiban mengingatkan. Kalau bunda diam dengan kemaksiatan yang bunda lihat, bunda ikutan dosa. Idih… nggak mau ah, kecipratan dosa…” aku mengangkat bahu sambil berekspresi ngeri. Naufa dan Naura menyimak.
Dua anak perempuan itupun berdiri hendak pulang.
“Naaah… satu lagi-satu lagi...” aku menghampiri keduanya yang tengah berdiri. Menunjuk pada rok mini dan celana pensil yang mereka kenakan. Keduanya tambah salah tingkah saja aku perhatikan.
“Rok ini dan celana ini... Nggak pantas dipakai keluar rumah. Bahaya nduk… nanti kamu bisa diperkosa orang di jalan” keduanya masih mematut diri masing-masing. Yang satunya menarik-narik roknya yang mini ke bawah agar menutup lebih banyak. Yang satunya lagi tersenyum malu-malu.
“ Anak perempuan kalo keluar rumah harus menutup aurat. Pakai jilbab. pakai kerudung. Seperti bunda ini lho…” Aku berdiri memeragakan pakaianku.
“Ya sudah… langsung pulang yah… diganti bajunya…” keduanya mengangguk dan berlari meninggalkanku.
Aku menghela nafas panjang. Ya Allah… di tengah maraknya pelecehan seksual terhadap anak, orang tua seolah tidak mengambil pelajaran untuk melindungi anak-anaknya. Anak-anak dibiarkan bergaul tanpa arahan. Membiarkan televisi mengajarkan budaya hedonis, pacaran, gaul bebas, berpakaian minim.
Berbagai kasus kejahatan terhadap anak seharusnya membuat para orang tua gelisah dan mengambil peranan dalam mengarahkan anak-anaknya. Membentengi mereka dari segala budaya yang merusak. Ya Allah…
Aku semakin galau dengan kondisi masyarakat yang sakit ini. Masyarakat yang cuek dengan lingkungan sekitarnya. Andai saja aturan pergaulan dalam Islam diterapkan dalam tatanan Negara, mungkin akan lain ceritanya.
Saat ini, yang bisa aku lakukan hanya mengingatkan. Mencegah kemungkaran sekemampuanku. Mendakwahkan kebenaran juga sekemampuanku. Aku bahkan tidak dapat memaksa seseorang menutup auratnya.
Ya Allah… semoga hati-hati yang keras terketuk dengan hidayah. Agar kesadaran akan hukum-hukum Islam semakin menyebar luas. Ampuni aku ya Allah… yang masih belum bisa optimal dalam menyuarakan kebenaran.
Rindu penerapan Syari’ah dalam bingkai Khilafah
Surabaya, 24 April 2014, 06:39