Mendingan Tinggal di Perumahan atau di Perkampungan, Ya?
Saya benar-benar kaget. Spontan berteriak. Untung bukan teriak “Maliing-maliing!” bagaimana tidak. Saya sedang ada di kamar Naufa. Mengusap punggung Naufa. Membuatnya tidur siang meski terpaksa. Berpakaian mihnah (pakaian rumah) tanpa jilbab dan kerudung.
Sekonyong-konyong sesosok wanita berambut sebahu dengan kaos ketat dan celana jeans selutut sudah berdiri di depan pintu kamar. Meletakkan sepiring makanan diatas bupet di ruang makan yang berhadapan langsung dengan kamar Naufa. Astaghfirullah…
Padahal pintu ruang tamu saya kunci dari dalam. Bagaimana bisa dia masuk. Rupanya mba Tien membukanya dari jendela sebelah pintu yang terbuka. Tetangga sebelah rumah. Persis.
Rumah kontrakan kami berpagar. Meski masih terhubung sedikit dengan rumah sebelah. Rumahnya mba Tien. Kali yang lain juga ada tetangga sebelah rumah samping kiri, ujug-ujug nongol di jendela belakang rumah. Mengantarkan sesisir pisang yang baru dipetik dari kebun beliau.
Sebenarnya tinggal di perkampungan penduduk banyak kelebihannya. Rasa kesetiakawanan masih begitu kental. Budaya saling memberi juga kerap dijumpai. Saling membantu antar tetangga. Saling mengunjungi satu sama lain. masih ada suasana ‘desa’ yang bersahaja.
Kontras sekali dengan suasana rumah di perumahan. Tahun pertama di Surabaya, kami mengontrak sebuah rumah besar dan luas di kawasan perumahan IKIP-Gunung Anyar. Yang dekat dengan kompleks Ma’had Umar Bin Khottob tempat suami saya menimba ilmu bahasa Arab.
Suasana komplek yang pada umumnya. Sepi, lengang, tenang. Kesan individualis sangat kentara. Saya bahkan tak sempat berkenalan dengan para tetangga. Mereka sibuk sekali. Pagi-pagi buta sudah berangkat kerja, baru embali ketika sudah senja. Itupun tak pernah bertatap muka karena mereka pakai mobil dengan penutup kaca.
Ada sih, kalau pagi menjelang siang, para pembantu yang belanja sayuran di tukang sayur keliling, atau juga para baby sitter yang tengah mengasuh anak-anak majikannya. Lain itu tak ada. Jangankan mau berbagi makanan, wong kenal aja nggak. Sepi. Senyap. Nyaman sekali untuk kontemplasi dan belajar.
Kalau tinggal di perkampungan penduduk, ramai. Bahkan hingga larut malam masih ada yang ketawa-ketiwi ronda. Saking ramainya, terkadang sampai pekak telinga. Hiruk pikuk suara sound menggema setiap hari. Menyuarakan lagu-lagu dangdut yang sedang tenar.
Lagu-lagu dangdut yang syairnya sering kali berbau porno berulang-ulang diperdengarkan. Anak-anak kecil berjoget-joget ala artis televise dengan goyang Caesar, goyang oplosan, goyang ngecor, goyang ngebor. Wes mbuh…
Ibu-ibu yang kerap berkumpul di perempatan jalan dari pagi sampe mau maghrib ngerumpiin gossip teranyar di kampung. Saya sampai geleng-geleng kepala. Ini ibu-ibu apa nggak masak yah di rumah. Kerjaannya ngumpuuul melulu. Saya sering disindir kuper alias kurang pergauan karena nggak pernah gabung dalam perbincangan.
Lah… gimana saya mau gabung. Ngurusi kerjaan rumah juga gak selesai-selesai. Punya dua bayi tanpa pembantu rumah tangga. Mungkin nggak sih masih bisa konkow…
Walau sesekali saya pernah juga ngumpul. Tapi yang saya bicarakan justru sesuatu yang tak mengasyikkan (menyampaikan dakwah). Akhirnya satu persatu undur diri. Karena tak terfasilitasi.
Kalau boleh memilih saya mending tinggal di kompleks perumahan ketimbang di perkampungan. Kenapa? Soalnya, privasi kita terjaga. Orang mau bertamu pakai adat dan tata cara yang baik. Tidak sembarangan slonong boy masuk rumah orang.
Lingkungan juga tidak bising. Kalau toh mereka menghidupkan musik. Suaranya tidak sampai seperti ada hajatan. Cukup di dalam rumah mereka sendiri-sendiri. Sehingga tidak menggangu kenyamanan tetangga sekitarnya.
Tak ada kumpul-kumpul ibu-ibu rumpian karena tiap orang sibuk dengan kerjaan masing-masing. Mengurus rumah, anak-anak atau bekerja di kantor. Sehingga tidak memungkinkan untuk membentuk sekelompok rumpian.
Kebersihan juga terjaga tinggal di perumahan. Kalau di perkampungan. Kadang saya miris sekali. Anak-anak kecil di biarkan kencing di jalan tanpa diceboki. Mungkin karena tingkat pendidikan kesehatan yang minim ya.
Menurut Anda mending tinggal di perkampungan atau perumahan ya?
Sekonyong-konyong sesosok wanita berambut sebahu dengan kaos ketat dan celana jeans selutut sudah berdiri di depan pintu kamar. Meletakkan sepiring makanan diatas bupet di ruang makan yang berhadapan langsung dengan kamar Naufa. Astaghfirullah…
Padahal pintu ruang tamu saya kunci dari dalam. Bagaimana bisa dia masuk. Rupanya mba Tien membukanya dari jendela sebelah pintu yang terbuka. Tetangga sebelah rumah. Persis.
Rumah kontrakan kami berpagar. Meski masih terhubung sedikit dengan rumah sebelah. Rumahnya mba Tien. Kali yang lain juga ada tetangga sebelah rumah samping kiri, ujug-ujug nongol di jendela belakang rumah. Mengantarkan sesisir pisang yang baru dipetik dari kebun beliau.
Sebenarnya tinggal di perkampungan penduduk banyak kelebihannya. Rasa kesetiakawanan masih begitu kental. Budaya saling memberi juga kerap dijumpai. Saling membantu antar tetangga. Saling mengunjungi satu sama lain. masih ada suasana ‘desa’ yang bersahaja.
Kontras sekali dengan suasana rumah di perumahan. Tahun pertama di Surabaya, kami mengontrak sebuah rumah besar dan luas di kawasan perumahan IKIP-Gunung Anyar. Yang dekat dengan kompleks Ma’had Umar Bin Khottob tempat suami saya menimba ilmu bahasa Arab.
Suasana komplek yang pada umumnya. Sepi, lengang, tenang. Kesan individualis sangat kentara. Saya bahkan tak sempat berkenalan dengan para tetangga. Mereka sibuk sekali. Pagi-pagi buta sudah berangkat kerja, baru embali ketika sudah senja. Itupun tak pernah bertatap muka karena mereka pakai mobil dengan penutup kaca.
Ada sih, kalau pagi menjelang siang, para pembantu yang belanja sayuran di tukang sayur keliling, atau juga para baby sitter yang tengah mengasuh anak-anak majikannya. Lain itu tak ada. Jangankan mau berbagi makanan, wong kenal aja nggak. Sepi. Senyap. Nyaman sekali untuk kontemplasi dan belajar.
Kalau tinggal di perkampungan penduduk, ramai. Bahkan hingga larut malam masih ada yang ketawa-ketiwi ronda. Saking ramainya, terkadang sampai pekak telinga. Hiruk pikuk suara sound menggema setiap hari. Menyuarakan lagu-lagu dangdut yang sedang tenar.
Lagu-lagu dangdut yang syairnya sering kali berbau porno berulang-ulang diperdengarkan. Anak-anak kecil berjoget-joget ala artis televise dengan goyang Caesar, goyang oplosan, goyang ngecor, goyang ngebor. Wes mbuh…
Ibu-ibu yang kerap berkumpul di perempatan jalan dari pagi sampe mau maghrib ngerumpiin gossip teranyar di kampung. Saya sampai geleng-geleng kepala. Ini ibu-ibu apa nggak masak yah di rumah. Kerjaannya ngumpuuul melulu. Saya sering disindir kuper alias kurang pergauan karena nggak pernah gabung dalam perbincangan.
Lah… gimana saya mau gabung. Ngurusi kerjaan rumah juga gak selesai-selesai. Punya dua bayi tanpa pembantu rumah tangga. Mungkin nggak sih masih bisa konkow…
Walau sesekali saya pernah juga ngumpul. Tapi yang saya bicarakan justru sesuatu yang tak mengasyikkan (menyampaikan dakwah). Akhirnya satu persatu undur diri. Karena tak terfasilitasi.
Kalau boleh memilih saya mending tinggal di kompleks perumahan ketimbang di perkampungan. Kenapa? Soalnya, privasi kita terjaga. Orang mau bertamu pakai adat dan tata cara yang baik. Tidak sembarangan slonong boy masuk rumah orang.
Lingkungan juga tidak bising. Kalau toh mereka menghidupkan musik. Suaranya tidak sampai seperti ada hajatan. Cukup di dalam rumah mereka sendiri-sendiri. Sehingga tidak menggangu kenyamanan tetangga sekitarnya.
Tak ada kumpul-kumpul ibu-ibu rumpian karena tiap orang sibuk dengan kerjaan masing-masing. Mengurus rumah, anak-anak atau bekerja di kantor. Sehingga tidak memungkinkan untuk membentuk sekelompok rumpian.
Kebersihan juga terjaga tinggal di perumahan. Kalau di perkampungan. Kadang saya miris sekali. Anak-anak kecil di biarkan kencing di jalan tanpa diceboki. Mungkin karena tingkat pendidikan kesehatan yang minim ya.
Menurut Anda mending tinggal di perkampungan atau perumahan ya?
bukan mau menuduh atau sebaliknya.. biasanya penghuni perumahan memang berasal dr klangan terdidik. Soal individualis ato tidak kdg kmbali ke personal nya..
ReplyDeleteSaya pernah tinggal di perumahan yg sepi begitu datang,pintu langsung krekep ditutup.Antar tetangga juga jarang berkomunikasi,karena sibuk.
ReplyDeleteTidak masalah sepi, karena ada anak-anak yg saya urusi( anak-anak masih kecil),tidak masalah.
Lalu pernah tinggal di kampung juga,yg sibuk,anak -anak sudah besar.
Lingkungan yg ramai,kadang begitu berisik.
Setelah pensiun ,anak2 sudah bekerja di luar kota,kami kembali ke perumahan tadi,yg hampir tidak mengenal antar tetangga karena orang2nya sibuk.Saya rasa bukan karena individualis juga.
Dan ternyata kami merasa sangat kesepian.Tidak ada suara-suara dari luar anak-anak main bola di luar,atau tetangga memanggil kita saat ada tukang sayur datang.Dan sementara ini kami masih saja datang ke rumah di kampung tadi ( rumah keluarga besar suami)karena benar2 malah rindu keramaian itu.
Jadi sebenarnya enak yg mana,juga tergantung situasi.
tp gak enaknya perumahan, kita gak bisa desain bentuk rumah kita sendiri
ReplyDeletesaya setuju dengan penulis, jujur saya tinggal diperkampungan sejak kecil sampai remaja, entah karena memang kpribadian saya sedikit tertutup disangka aneh sama orang kampung sekitar saya, dikampung stempat saya tinggal gag setenang dan seaman diperumahan tengah malam ada lalu lalang orang gag dikenal ngintai dan juga kalau mutar musik kayak acara hajatan bikin peka telinga, menghargai privasi tetangga juga gag ada, pernah saya punya pengalaman yang sama seperti penulis tetangga nyelonong masuk kerumah begitu aja padahal pintu besi ditutup tapi gag dikunci dari dalam cuman dirapatin aja, dengan entengnya dibuka tetangga saya tersebut hehe masuk kedalam nyari ibu saya, ibu saya lagi gag ada dirumah saya makan didapur. ya begitu lah orang kampung sebagian, mungkin sudah merasa kenal jadi senaknya bgtu gag tau adat kerumah orang lain, mau dibilang kurang ajar iya juga sih, ya itulah orang kampung
ReplyDeleteBgg mu tgl dmn. Sepi tkt. Rame brisik gk sk
ReplyDeleteHehe... Sholat istikhoroh saja minta ketetapan hati :)
Delete