Depositokan Pahala dengan Pena

Depositokan Pahala dengan Pena


Depositokan Pahala Dengan Pena
Depositokan Pahala Dengan Pena  Setiap yang bernyawa pasti mati. Setiap jiwa pasti kembali tiada. Harta tak kan kita bawa sebanyak apapun kita punya, kecuali yang kita sedekahkan di jalan-Nya sebagai amal jariah. Begitu juga dengan anak-anak. Sekedar tangisan yang mengiringi kepergian kita ke alam barzah. Kecuali anak-anak shalih/ah yang mendoakan kita. Pun juga ilmu, tak kan pernah menyertai. Setinggi apapun kepandaiannya, kecuali ilmu yang bermanfaat.

Siapa yang tak kenal Imam Syafi’i, Taqiyyuddin An-Nabhani, Sayyid Qutb, Buya Hamka dll. Bolehlah raga dan jiwa mereka meninggalkan dunia yang fana ini. Namun, kita masih terus bisa mengenali jejak mereka, semangat juang mereka, ilmu yang sungguh sangat luar biasa manfaatnya hingga saat ini bahkan mungkin hingga akhir dunia ini. Ya... itulah dahsyatnya tulisan.

Saat aku menimang-nimang bintang terang. Kebingungan mulai merasuk. Mau didedikasikan kemanakah hidupku yang sesaat ini? Dengan segala keterbatasan yang kumiliki, akhirnya ku tetapkan untuk menekuni dunia ini, menulis. Meski tak sekaliber para senior, aku tetap ingin bisa menulis.  Aku tetap yakin bahwa aku bisa menulis. Bukan sekedar menulis, tapi menulis yang berbuah pahala.

Bayangkan... sebuah artikel yang bermanfaat, akan tercatat sebagai pahala untuk kita meski kita telah tiada. Dan pahala itu akan terus mengalir sepanjang tulisan itu dibaca, diamalkan dan tentu saja bermanfaat untuk orang lain. Wooow, sekali kerja tapi hasilnya luar biasa. Ini namanya kerja cerdas. Apalagi dengan dukungan teknologi zaman sekarang. Dimana akses kepada dunia luar nyaris  tanpa sekatan. Tulisan bisa dibaca oleh seluruh orang di seantero dunia. Bisa dialih-bahasakan dengan secepat kilat (jika mengikuti kaidah bahasa baku, bukan bahasa gaul ya...) tentu saja ini akan semakin membuat kita mudah depositokan pahala dengan pena (hehe dengan tuts keyboard ding)

Selain itu, dengan tulisan juga kita bisa ngirit energi. Aku pernah punya mimpi jadi trainer kelas nasional. Nyatanya baru ngisi yang lokal saja aku sudah kelabakan.  Apalagi setelah punya suami dan dianugrahi dua baby yang imut-imut. Hm... tak tegalah aku meninggalkan ke-tiganya mejelajah dunia. Berbeda dengan para bapak-bapak, yang tak terkendala dengan itu semua. Karenanya, kuputuskan tuk merubah bintang terang itu.

Menulis adalah jalanku. Disela-sela mengasuh buah hatiku, ku ajak mereka untuk menjelajah dunia dengan membaca. Meski masih dua tahun sembilan bulan, Naufa sudah minta di bacakan cerpen yang nggak ada gambarnya lho... weleh anakku satu ini kalau sudah minta dibacakan buku, bisa tak tidur siang demi mendengarkannya. Ya, menulis memang butuh amunisi. Dan itu adalah dengan membaca. Membaca membuka cakrawala pikiran kita. Membaca adalah sekolah terbaik. Tentu syaratnya jika buku yang kita baca adalah buku berkualitas.

Setelah membaca, ikatlah apa yang telah kita baca dengan menuliskannya.  Membaca dan menulis adalah saudara kembar yang tak terpisahkan. Karenanya, omong kosong mau menulis tapi tak demen membaca.

Dan dua aktivitas itu adalah dua hal yang sangat bisa dikerjakan sembari menjalankan peran kita sebagai seorang ibu. Waaah... sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Kereeen. Yuk... Depositokan pahala dengan pena (Bunda Naufa)  

Related

Menulis 8510559024379084955

Post a Comment

  1. betul, menulis dengan hati menjadi amal ibadah yang besar.

    ReplyDelete
    Replies
    1. sedang belajar agar bisa menulis dengan hati, agar sampai ke hati, dan bisa di aplikasi... thanks dah berkunjung ke blog ku yang miskin ilmu :)

      Delete
    2. iya, saya 'ngiri' sama karya bunda Naufa...:)

      Delete
  2. Salam kenal. Keren ko bun blognya.

    ReplyDelete

emo-but-icon

Tulisan Unggulan

Sebulan Bisa Hafal Satu Juz?

Hafalan Al-Qur'an Yuuuk Saya memulai jadwal tahfidz harian ba'da shubuh. Saat suasana masih sangat tenang, Goma masih lelap ...

Catatan Terbaru

item