Mudik ke Kincai

Mudik ke Kincai

Balek Khincai
Berdesakan di Bandara
Hari raya kali ini benar-benar berbeda. Setelah cita-cita untuk mudik pada hari raya terkubur dalam khayalan, kali ini mimpi itu terealisasi juga. Hehe… mudik hari raya. Mudiknya nggak nanggung-nanggung, Depok—Kerinci (Jambi)—Lampung. Masya Allah… this is long journey.

Perjalanan normal dengan bus menghabiskan waktu 2 hari 2 malam. Tapi kalau lagi musim mudik seperti ini bisa mencapai 3 hari bahkan 5 harian. Bagaimana tidak, antrian kendaraan terjadi dimana-mana. Kecepatan berkendara hanya sekitar 5km/jam. Hadeeh… seperti siput berjalan. Inilah sebabnya, rencana mudik dengan bus masih maju mundur.

Setelah dipertimbangkan dengan seksama, mau menempuh jalur darat atau udara, akhirnya kami memutuskan untuk menempuh jalur udara. Pertimbangan waktu dan biaya adalah yang melatar belakangi keputusan ini.

Tarif bus Jakarta – Kerinci dibanrol Rp.600.000/kursi. Tarif ini naik hampir 80% dari tarif normal yaitu Rp. 360.000/kursi. Woow… kenaikan yang fantastis. Untuk kami berempat, paling tidak kami memesan 3 kursi. Sebab Naufa sudah cukup berat jika dipangku. Sebenarnya Naura juga begitu, tapi biasanya Naura belum mau duduk sendiri. Jadi Rp. 600.000 x 3 = Rp. 1.800.000

Biaya akomodasi selama perjalanan 5 hari x Rp. 100.000 = Rp. 500.000 jadi total biaya sampai ke kerinci adalah Rp. 2.300.000 dengan maksimal perjalanan 5 hari 4 malam.

Sementara jika menempuh jalur udara adalah: tarif promo lebaran tiket pesawat Jakarta – Jambi : Rp. 490.000 x 4 = Rp. 1.960.000 ditambah pajak bandara Rp. 40.000 x 4 = Rp. 160.000 ditambah biaya trevel Jambi – kerinci Rp. 250.000 x 3 = Rp. 750.000. Biaya akomodasi untuk perjalanan sehari semalam adalah Rp. 100.000. Total Rp.2.970.000 selisih  Rp. 670.000 untuk membayar jeda waktu perjalanan darat. Selisih nominal ini tentu saja sangat lebih murah jika dibandingkan dengan pengorbanan waktu dan penat menempuh jalur darat.

Perjalanan ke Bandara Soetta

Sebenarnya ini bukan kali pertama kami menempuh jalur udara. Waktu hijrah dari Lampung ke Surabaya kami juga naik pesawat. Tapi perjalanan kali ini benar-benar membuat saya tak bisa tidur nyeyak selama seminggu sebelum keberangkatan.

Kalau dulu, bandara Raden Intan termasuk bandara yang sangat saya kenal. Karena lokasinya dekat dengan rumah keluarga saya di Branti—Natar, Lampung selatan. Berangkatnya pun ada teman yang berkenan mengantar kami hingga tiba di bandara.

Namun, perjalanan kali ini benar-benar membuat dag dig duer. Secara kami adalah orang baru di kota Depok. Belum tahu jalur transportasi. Hanya mengandalkan google map saja. Belum lagi perjalanan kami bertepatan dengan hari raya idul fitri.

Berbagai kemungkinan-kemungkinan kami masukkan. Bagaimana jika berbagai sarana transportasi tidak beroperasi pada hari raya ‘idul fitri. Bagaimana jika jalurnya mbuletisasi. Bagaimana jika terjadi penutupan badan jalan yang sedang dipakai untuk keperluan shalat ‘id, sebagaimana yang kerap kami jumpai saat mukim di Surabaya. Bagaimana jika antrean reservasi di bandara membludak. Bagaimana… bagaimana… bagaimana?

Tadinya kami memutuskan untuk menginap di Bandara saja, menghindari kemungkinan terlambat datang yang jelas akan membuat batal terbang. Namun setelah googling berbagai pengalaman orang lain yang pernah bermalam di Bandara, kami urung menjalaninya. Memutuskan untuk berangkat sepagi buta supaya tidak terlambat sampai bandara.

Setelah berburu berita yang diperlukan, kami mendapati bahwa ternyata, sarana transportasi se-jabodetabek masih beroperasi sedia kala saat hari pertama lebaran. Kami memutuskan untuk naik KRL dari stasiun Depok Baru menuju stasiun Pasar Minggu. Berangkat jam 4 pagi dari Mampang, Sawangan menuju stasiun Depok Baru. Bersyukur pada jam tersebut ternyata jalan raya Sawangan tidak lagi lengang. Kendaraan hilir mudik baik roda dua maupun roda empat. Menunggu sekitar lima menit di jalan, merapatlah sebuah angkot D 03 jurusan Sawangan—terminal Depok. Alhamdulillah…

Di dalam angkotpun sudah ramai. Tidak hanya kami yang bertujuan ke stasiun Depok Baru, ada beberapa orang lain yang bertujuan sama. Sampai di stasiun langsung beli tiket kereta. Alhamdulillah nya lagi petugas KRL memang telah siap melayani sejak pukul 4 pagi. Subhanallah… selama tinggal di Depok, KRL ini memang sangat membantu. Dua jempol deh buat layanan publik satu ini.

Dari stasiun Depok Baru menuju stasiun Pasar Minggu melewati 6 stasiun. Kami tiba di Stasiun Pasar Minggu pukul 5 pagi, selang beberapa saat setelah adzan shubuh berkumandang. Kamipun shalat shubuh di stasiun Pasar Minggu.

Perjalanan dilanjutkan dengan naik bus DAMRI jurusan Pasar Minggu–Bandara Soekarno Hatta. Rutenya cukup gampang. Keluar stasiun kami menyeberang jembatan layang dan langsung ketemu dengan pool DAMRI. Cukup gampang bukan. Karena jalanan sangat-sangat lengang, nyaris tak ada satupun hambatan. Sama sekali tak terjebak macet juga tak ada penutupan badan jalan. Alhamdulillah… satu persatu ketakutan demi ketakutan terurai.

Adakalanya kita terbelenggu dengan ketakutan-ketakutan yang kita ciptakan sendiri. Kita sering membayangkan gambaran masa depan yang mengerikan. Padahal mah, kalau sudah dijalani nggak gitu-gitu amat.

Nah, karena kami naik bus DAMRI yang langsung mengantar ke depan pintu gerbang tujuan keberangkatan maskapai penerbangan, lagi-lagi kami harus bersyukur. Alhamdulillah… bayangan ribetnya mencari pintu maskapai lagi-lagi hilang dalam kenangan. Kami turun di pintu terminal 1B untuk semua maskapai tujuan Sumatra. Alhamdulillah…

Kami tiba di bandara pukul 07 pagi. Satu jam setengah dari terminal Pasar Minggu ke bandara tanpa kendala macet sedikitpun. Jalanan Jakarta hari itu benar-benar sepi dan lancar. Benar saja, ketika hendak melakukan reservasi tiket, antrian penumpang yang melakukan reservasi di loket maskapai mengular. Padahal ada 23 loket yang di sediakan oleh pihak maskapai. Dugaan kami, karna murahnya harga tiket pesawat pada hari tersebutlah yang menjadikan banyak calon penumpang memilih hari keberangkatan dan maskapai penerbangan yang sama.  

Alhamdulillah
nya lagi jadwal keberangkatan kami masih cukup lama. Masih ada waktu sekitar 2 jam untuk antrian panjang ini. Lama antrian dan berbagai pemeriksaan selesai jam 8 pagi. Setelah semuanya beres, kami duduk di ruang tunggu sambil menikmati ketupat dan rendang buatan sendiri.

Kemarin sore, sempat membuat rendang daging dan ketupat. Belanja di pasar lama Depok dan di masak sore harinya. Ah… benar-benar hari raya yang spesial. Makan rendang dan ketupat di Bandara.

Satu Jam Jakarta – Jambi

Setelah menunggu lebih kurang satu jam setengah, kami memasuki lambung pesawat Jakarta—Jambi. Penumpang ramai. Penuh, berdesak-desak mengantri. Sempat kagum juga dengan para pramugari yang berpakaian sopan. Meski tak pakai standar Islam yaitu jilbab (gamis) dan kerudung, namun cukup pantaslah untuk budaya ketimuran.

But, kekaguman kami berakhir memuakkan. Rok panjang yang mereka kenakan ternyata tersingkap alias sobek sampai atas lutut. Sehingga kalau mereka melangkahkan kaki tampaklah apa yang semestinya repat tertutupi.

Ya Allah… sama saja rupanya. Suami saya sampai mengeluh, adakah maskapai yang mewajibkan pramugarinya menutup aurat secara sempurna? Jika ada… semoga keberkahan dan kelimpahan atas usaha mereka.

Ah… betapa kecilnya manusia. Terbang hanya dengan ketinggian yang tak seberapa saja sudah tak tampak wujudnya. Kenapalah manusia ini senang sekali durhaka pada tuhannya? Tidakkah mereka berfikir bahwa mudah bagi Allah untuk mengadzab manusia.

Bukankah mudah bagi Allah untuk menjatuhkan pesawat ini, menghilangkan radarnya, memutuskan sayapnya atau membuatnya hilang tanpa jejak. Kenapa tak terfikirkan oleh manusia bahwa kematian begitu dekat di depan mata. Apakah akan mengakhiri kehidupan dengan keburukan atau kebaikan adalah pilihan kita.

Ya Allah… di badan pesawat ini aku merenung. Betapa naifnya diriku, betapa lemahnya diriku, betapa kecilnya aku, betapa faqirnya aku di hadapan kekuasaan-Mu. Ya Allah…  maafkanlah aku, ampunilah dosaku. Sekiranya aku harus mati atas perjalanan ini, matikanlah aku dalam keadaan beriman kepada-Mu serta ketaatan atas segala perintah-Mu. Ya Allah… Bismillah… Laa hawla walaa quwwata illa billah…

Badan pesawat terus melaju. Naik setingkat demi setingkat.  Hingga bumi yang tadi aku pijak tak lagi terlihat. Hingga bumi yang selama ini aku hidup di atasnya berganti petak-petak, dan aku hanya melihat atlas di bawah sana.

Sesaat kemudian negeri awanlah yang kelihatan. Awan-awan itu seperti nyata. Seperti ada kehidupan disana. Seperti ada kerajaan, pasukan, dan berbagai penampakan lainnya… Astaghfirullah… mungkin aku terlalu berimajinasi.

Perjalanan udara menghabiskan waktu 65 menit atau satu jam 5 menit. Ada sedikit insiden. Alarm tanda bahaya berbunyi. Pesawat bergetar. Peringatan untuk mengencangkan sabuk pengaman berkumandang. Di luar jendela, awan gelap terlihat. Hujan deras mengguyur. Cuaca sedang tak menentu. Sekitar 10 menit berlalu dengan debar-debar mengerikan itu. Debar-debar kematian. Astaghfirullah… Laa hawla walaa quwwata illa billahil-‘aliyyil ‘adhim…

Setelah badai berlalu, keadaan menjadi lebih tenang. Kini bumi telah tampak lagi. Petak petak itu semakin nyata. Sungai butek yang mengularpun kian tampak terang. Rumah-rumah penduduk telah terlihat atapnya. Dan… pengumuman saatnya pesawat mendarat di bandara Sultan Thaha pun berkumandang.

Tulisan ini akan bersambung ke Selamat datang di Jambi sebagai pengingat atas apa yang telah lewat.

Related

Traveling 9214622106791381990

Post a Comment

emo-but-icon

Tulisan Unggulan

Sebulan Bisa Hafal Satu Juz?

Hafalan Al-Qur'an Yuuuk Saya memulai jadwal tahfidz harian ba'da shubuh. Saat suasana masih sangat tenang, Goma masih lelap ...

Catatan Terbaru

item