Masak Sendiri atau Beli Makanan Siap Saji?
Saya punya alasan untuk setiap kebiasaan. Alasan itulah yang menguatkan saya untuk terus menjalaninya. Walau terkadang inkonsisten juga. Namun setidaknya, alasan akan membuat saya istiqamah kembali pada peta semula.
Masak Sendiri atau Beli Makan Siap Saji?
Untuk ibu rumah tangga tanpa pembantu, tanpa sanak saudara yang mengasuh balita, tanpa nenek / Mbah Uti yang bisa dititipi si kecil kapan saja, terbayanglah bagaimana repotnya. Apalagi jarak antara Naufa dan Naura hanya selang 19 bulan saja. Rempong mak.Sebagian dari rekan saya, karena kerepotan mengurus pekerjaan rumah tangga dan balita mereka, ditambah lagi mungkin karena menjadi wanita karir (bekerja atau berbisnis) dan bahkan karena alasan sibuk berdakwah memutuskan untuk tidak memasak sendiri tapi membeli makanan siap saji.
Ada plus minusnya memang. Namun harus ada standar yang kita pakai untuk mengukur apakah kita memilih masak sendiri atau beli makanan siap saji. Tentu saja, setiap pilihan ada konsekuensinya. Ada resikonya. Nah, kalau kita sudah punya alasan, kita jadi lebih siap menanggung apapun resiko yang akan datang. Insya Allah…
Masak sendiri itu repot. Luar biasa. Mulai dari belanja, mengolah dan membereskan perkakasnya. Kalau beli di warung, simple alias gampang. Tinggal pesan langsung bisa makan. Perabotan juga nggak berantakan.
Masak sendiri juga boros lho, coba lihat anggaran belanja keluarga yang saya rancang. Hampir 40% nya adalah belanja kebutuhan dapur. Kalau beli matang lebih murah karena tidak perlu beli bahan-bahan mentah yang saat ini harganya melangit.
Terlepas dari pertimbangan murah dan mudah yang ditawarkan jika kita beli makanan siap saji, saya punya pertimbangan sendiri. Ini dia ulasannya. Kelarin ya…
Allah swt berfirman: “Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari sebagian apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu. ( Albaqarah:168 )
Diriwayatkan Jabir bin Abdullah ketika Nabi menasehati Ka’ab bin ‘Ajrah: ”Wahai Ka’ab bin ‘Ajrah, tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram.” (HR. Darimi dalam Sunan dengan sanad kuat).
Standar pertama adalah halal. Makanan yang kita makan, harus kita pastikan kehalalannya. Ini supaya kita tidak terkategori orang yang tidak diterima doanya.
Kemudian beliau menyebutkan seseorang yang letih dalam perjalanannya, rambutnya berantakan, dan kakinya berpasir, seraya dia menengadahkan kedua tanganya ke langit dan berkata, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dia diberi makan dari yang haram, maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan.” (HR.Muslim)
Mengerikan bukan makan yang haram? hingga doapun tak terkabulkan. Jadi standar pertama untuk makanan adalah halal.
Nah, bagaimana cara mengetahui suatu makanan terkategori halal atau haram? Mudah saja. Allah swt membatasi makanan yang haram. Sebagaimana dalam firman-Nya:
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al-Baqarah: 173)
Harusnya mudah ya? Wong makanan yang haram itu sedikit kok jumlahnya. Ya, semestinya begitu. Yang halal sudah dijelaskan yang haram juga sudah dijelaskan. Namun tidak kondisinya hari ini. Saat kehidupan sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan) benar-benar menjadikan manusia pikirannya materi materi dan materi. Sedikit yang masih memegang prinsip halal haram. Syubhat ada dimana-mana. Apa itu syubhat? Syubhat adalah sesuatu yang belum jelas statusnya.
Diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda -Nu’man menunjukkan kedua jarinya ke kedua telingannya-: ‘Sesungguhnya sesuatu yang halal itu sudah jelas, dan sesuatu yang haram itu sudah jelas, di antara keduanya terdapat sesuatu yang samar tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Siapa yang mencegah dirinya dari yang samar maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam hal yang samar itu berarti ia telah jatuh dalam haram. Seperti seorang penggembala yang menggembala hewan ternaknya di sekitar daerah terlarang, dikhawatirkan lambat laun akan masuk ke dalamnya. Ketauhilah, setiap raja memiliki area larangan, dan area larangan Allah adalah apa-apa yang telah diharamkannya. Ketahuilah, bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging, bila ia baik maka akan baik seluruh tubuh. Namun bila ia rusak maka akan rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah ia adalah hati” (HR. Bukhari dan Muslim)
Babi itu jelas keharamannya. Namun hari ini, betapa banyak produk turunan babi telah masuk ke berbagai lini kehidupan kita. Dagingnya dioploskan untuk memaksimalkan laba pedagang bakso, sosis, abon, dendeng, sate, soto daging, rendang dan produk daging olahan lainnya.
Kulitnya dibuat kerupuk rambak, cingur (untuk rujak cingur), kikil yang juga bertaburan di tengah-tengah pedagang yang miskin iman.
Lemaknya dipakai sebagai bumbu penyedap makanan yang beredar di pasaran. Dicairkan menjadi minyak babi sebagai penyedap mie ayam, mie pangsit, bakso, nasi goreng, cap cay, ayam bakar dll. Juga bisa berubah menjadi mentega untuk bahan pembuat kue.
Bulunya dijadikan sebagai kuas untuk membuat kue. Gelatinnya juga dipakai untuk bahan pembuat ice cream. Lesitinnya, bahkan tulangnya dipakai sebagai bahan pembuat permen. Masya Allah…
“Halah mbak… repotnya sampean ini, sekarangkan sudah ada sertifikasi label Halal MUI tho...” mungkin ada yang berkomentar seperti itu, namun dalam sistem kehidupan super bebas saat ini siapa yang bisa menjamin bahwa labelisasi tersebut tidak dimanipulasi?
Di Lampung, ada supermarket yang menjual abon sapi label halal MUI bahkan ada nomornya. Ternyata itu dusta belaka. Label dan nomor dipalsukan dan masyarakat tertipu. Tak ada yang menjamin. Wong Negara ini lepas tangan kok. Mana pikir mereka makanan yang dikonsumsi rakyatnya. MUI sendiri tidak punya kewenangan menindak pelanggaran macam ini.
Ayam itu halal. Namun tahukah kita bagaimana proses pemotongan ayam di peternakan? kalau kita mau jeli, ternyata ayam-ayam yang dijual di pasar sepertinya tidak disembelih. Lehernya tidak di potong, hanya ditusuk. mungkin maksudnya agar darahnya tidak banyak keluar sehingga timbanganyya tidak berkurang.
Bagaimana kita bisa memastikan pemotongan ayam tersebut menyebut asma Allah. Atau bahkan ayam tersebut belum mati ketika masuk dalam mesin pencabut bulu. Innalillahi, sama artinya kita makan bangkai bukan?
Ini dari standar bahan yang digunakan lho ya… saat ini pedagang yang punya idealisme untuk tidak pakai bahan-bahan haram bisa dihitung dengan jari. Rata-rata pedagang tidak shalat. Bagaimanalah mereka mau meneliti satu persatu bahan makanan yang mereka olah untuk dijual. Wong kewajiban shalat saja gampang benar mereka tinggalkan?
Okelah ada pedagang makanan yang idealismnya terhadap standar halal-haram tinggi. Apakah kita bisa menjamin, dia tidak tertipu dengan manipulasi pasar yang miskin dari iman? Bagaimana jika daging yang ia beli di pasar daging oplosan (sapi campur babi), bagaimana jika kikil yang ia beli di pasar juga kikil campuran (kikil sapi + kikil babi), bagaimana dia tahu bahwa bahan pembuat kue yang ia pakai terkontaminasi dengan unsur babi (lemak, lesitin gelatin,bulu)?
Berarti kan butuh pedagang makanan yang tidak hanya idealis tapi juga cerdas. Yang bisa membedakan daging oplosan, kikil campuran dan lain-lain. Sudah idealis, cerdas pula. Alamak… jarang nian saya temukan pedagang macam ini. kalau anda tahu ada pedagang macam ini, kasih tahulah saya…
Andai dunia ini diatur oleh aturan dari Allah berupa syari'at Islam, tentu masalah seperti ini tidaklah mendominasi kehidupan sehari-hari. Negara semestinya mengayomi rakyatnya dengan sebaik-baiknya. Suasanan keimanan juga akan tercipta. Melingkupi masyarakat dimanapun juga berada. peredaran barang-barang haram dan berbahaya akan diminimalisir. Sisi yang lain, negara melakukan pencerdasan masyarakat agar melek kesehatan. Negara oh negara...
Standar kedua adalah thayyib. Apa itu thayyib. Thayyib adalah semua unsur yang terkait dengan kebaikan makanan. Kesehatan dan kehigienitasan. Baik bahan maupun proses pengolahan. Masuk dalam standar thayyib adalah tidak menggunakan bahan yang membahayakan kesehatan semacam pengawet, pemutih, pewarna, pengenyal, perasa yang berbahaya.
Juga soal bagaimana memilih jenis sayuran yang baik dan segar. Berapa lama sayuran dimasak agar zat gizinya tidak hilang. Berapa lama sayuran hijau bisa bertahan untuk dikonsumsi. Bagaimana proses mengolahnya. Higienis atau tidak. Banyak lalat atau tidak. Bagaimana proses mencuci sayuran yang baik. Dipotong sebelum dicuci atau sebaliknya, dicuci dulu baru dipotong. Apakah tukang masaknya mencuci tangan setelah BAB dan BAK atau tidak.
Lihatlah kebanyakan pedagang makanan hari ini. Sembarang memilih sayuran (yang penting murah). Mengolahnya juga sembarangan. Pakai air sembarangan untuk mencuci dan memasak. Bahkan tidak sedikit yang memasak dengan air PDAM. Tidak peduli zat gizi akan hilang, dengan memasak kelamaan, yang penting sayuran empuk. Sampai sayur hijau berubah jadi coklat.
Tidak peduli sayur bayam sudah berapa jam, yang penting belum basi masih tetap dijual. Padahal sayuran hijau hanya akan menjadi sampah setelah 6 jam berlalu. Itulah kenapa saya masak 3 x sehari untuk 3 x jadual makan. Bukan untuk enak nggak enak. Atau karena selera. Namun ini untuk optimalisasi penyerapan zat gizi.
Tentu saja, pasti masih ada pedagang dengan kriteria yang saya sebutkan tadi. Pedagang makanan yang idealis, cerdas dan higienis. Tetap harus optimis. Namun apakah tidak sebaiknya kita masak sendiri saja ketimbang mencari yang sesuai kriteria susahnya luar biasa.
Kenapa ini harus dipertimbangkan? Sebab ini terkait dengan masa depan kesehatan kita di masa yang akan datang. Jika kita tidak peduli dengan hal-hal kecil seperti ini, yakinlah di usia yang relatif muda kita akan menderita berbagai penyakit akut. Teman saya, usianya baru 30 tahun namun sudah kena diabetes. Yang lain bahkan di usia 28 tahun sudah struk. Ya Allah…
Bukankah tubuh kita juga amanah dari Allah yang harus dijaga. Agar bisa beribadah dengan optimal. Berkarya dengan optimal. Berdakwah dengan optimal. Saya telah menulis artikel dengan judul agar tetap sehat, sebagai upaya yang bisa diikhtiarkan manusia. Masalah qadho Allah, itu bukan ranah kita memikirkannya.
Dr. Hendrawan Nadesul pernah bilang bahwa “kesehatan itu ada di rumah anda bukan di restoran mewah sekalipun”
Dari pertimbangan di atas, saya memilih memasak sendiri. Dengan kedua tangan ini. 3 x sehari. Tersebab sulitnya mencari pedagang makanan yang sesuai kriteria. Biarlah repot di dunia. Tidak mengapa. Ketimbang bertaruh nasib yang entah apa jadinya. Kelak.
Semoga Allah swt selamatkan kami dari apa yang luput karena kebodohan kami, karena ketidak hati-hatian kami, karena nafsu kami. Astaghfirullahal-‘adhim…
Walaupun begitu, sesekali kami juga makan di luar. Saat ingin suasana baru. Monggo dilirik artikel saya berjudul tips aman makan di luar.
Lagi-lagi saya tidak bisa memaksa anda setipe dengan saya, namun inilah penjelasan saya kenapa saya masak sendiri. Mendingan masak sendiri atau beli yang siap saji ya? Silahkan dipertimbangkan dengan matang. Terimakasih telah mampir ke blog saya.