Jangan Gengsi Minta Maaf

Jangan Gengsi Minta Maaf

Jangan Gengsi Minta Maaf
I'm So Sorry...!
Sebagai seorang ibu, sering saya merasa ingin “tampak” sempurna di hadapan anak-anak. Ingin “tampak” baik dan tak pernah berbuat salah. Dalam benak saya, itu adalah sebuah pendidikan untuk mereka. Bahwa mereka juga harus seperti itu.

Namun, setelah saya renungkan. Bukankah hal itu mustahil?. Manusia tanpa salah. Tanpa dosa. Tanpa cacat dan cela. Nyaris tidak mungkin. Simaklah sebuah hadis qudsi berikut.

Allah berfirman: “Hai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian selalu berbuat dosa pada malam dan siang hari, sedang Aku mengampuni dosa-dosa semuanya. Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepadaKu, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” (HR. Muslim, Al Baihaqi dan Al Hakim)

Begitulah manusia. Memang sudah menjadi tabiatnya siang dan malam berbuat salah, khilaf dan dosa. Cara terbaik menjadi manusia terbaik adalah bukan tak pernah berbuat salah. Namun, sesaat setelah perbuatan salah itu disadari, ia akan segera bertaubat, mohon ampun dan berazzam tak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama. Itu jika terkait dengan kesalahan terhadap Allah.

Bagaimana pula jika terkait dengan orang lain. Anak misalnya. Sebaiknya kitapun segera bertaubat dan minta maaf atas kesalahan kita. Sebagaimana sabda rasulallah saw berikut.

“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang pernah mempunyai kezhaliman terhadap seseorang, baik terhadap kehormatannya atau apapun, maka minta halallah darinya hari ini!, sebelum tidak ada emas dan perak, (yang ada adalah) jika dia mempunyai amal shalih, maka akan diambil darinya sesuai dengan kezhalimannya, jika dia tidak mempunyai kebaikan, maka akan diambilkan dosa lawannya dan ditanggungkan kepadanya”. (HR Bukhari).

Artikel ini saya beri judul Jangan Gengsi minta maaf, bukan jangan malu minta maaf. Kenapa? Silahkan baca artikel saya yang lain dengan judul antara gengsi dan malu.

Menjadi ibu yang sempurna tanpa salah adalah hal yang mustahil. Pasti. Lalu bagaimana jika anak-anak kita sering mendapati ibunya berbuat kesalahan padanya? Selagi kesalahan itu masih bisa di tolelir akal sehat manusia, tidak mengapa.

Namun jika kesalahan itu sudah menyangkut tindak kekerasan fisik (sebagaimana sekarang yang sedang marak terjadi) atau marah yang berlebihan menurut saya itu tidak bisa dimaklumi. Apalagi jika tidak ada tanda-tanpa berubah. Si ibu harus mendapat terapi mental barangkali. Agar tak membahayakan jiwa dan fisik buah hatinya.

Kesalahan yang masih bisa ditolelir misalnya, si ibu kurang sabar, atau sesekali tidak konsisten atau marah yang tak berlebihan dan kesalahan lain yang tidak kategori tindak kekerasan. Itu tidak mengapa. Disinilah anak akan belajar memahami bahwa manusia tidak sempurna. Ada luput dan cela.

Yang perlu dilakukan adalah segeralah minta maaf kepada anak-anak kita dan berjanji untuk tidak mengulangi salah serupa. Katakana padanya bahwa kita sedang khilaf. Dan tunjukkan komitmen kuat untuk berubah.

Jika kita sering melakukan kesalahan serupa di kemudian hari, itu akan menjadikan anak-anak memaklumi. Berarti yang seperti itu boleh. Meski disertai permintaan maaf, menurut saya permintaan maaf tanpa disertai komitmen untuk tidak mengulangi adalah basa-basi.

Kelak, jangan heran, jika anak-anak kita juga bersikap demikian. Minta maaf tapi basa-basi, karena tidak diiringi komitmen untuk berubah, untuk berbenah, untuk tidak mengulagi kesalahan yang sama di waktu yang lain.

Suatu hari Naufa sedang bermain dengan Naura dan Karin (tetangga sebelah rumah) bermain masak-masakan di depan teras rumah yang sempit. Mereka sibuk membuat es krim gadungan, dengan dapur darurat yang di susun di depan pintu masuk.

Ketika saya melewati mereka yang tengah asyik, ujung jilbab (gamis) saya tanpa sengaja menyapu mainan es krim yang berjajar-jajar. Spontan Naufa berteriak. Marah karena es krim yang susah payah mereka buat sekarang berantakan.

“Bondaaaa…” serunya mengkal.

“Maaf ya mba… maaf… Bunda minta maaf...”

“Mainanku berantakan nih. Semua ini bunda yang salah!” Naufa masih berteriak kesal. Sambil ngomel-ngomel ia mulai menyusun ulang es krim-eskrim yang berantak acak itu. 

“Iya… iya… Bunda yang salah. Bunda nggak sengaja… maaf ya...”  Saya ikut membereskan mainan itu, mencoba meletakkannya sesuai semula.

Ya, saya juga sering berbuat kesalahan terhadap Naufa dan Naura. Setelah perbuatan salah, saya biasanya minta maaf. Tentu bukan basa-basi semata. Pernah suatu saat, saya tiba-tiba minta maaf kepada Naufa sambil memeluknya di pangkuan.

“Mbak… maafin bunda ya… tadi waktu kita di toko buku bunda marah sama mba Naufa dan Adek”

“Iya, bunda ini marah-marah terus…” Naufa berpaling cemberut mengingat kejadian tadi siang di toko buku.

“Maksud bunda tadi bukan marah, maksud bunda... Mba Naufa kalau di Toko buku jangan main keranjang belanja. Udah gitu masukkin buku jangan banyak-banyak ke keranjang. Kitakan gak beli buku sebanyak itu, Nak... Nanti bunda ditegur sama petugas toko loh…”

“Ooo gitu ya, Bun…”

“Iya, trus kalau main sama adek jangan tarik-tarik kerudung, nanti adek bisa jatuh terbentur lantai, kan bahaya…”

“Iya deh, Naufa minta maaf ya Bun… Naufa juga salah…”

“Kita saling memaafkan ya…” Naufa mengangguk dan memeluk saya erat sambil berbisik.

“Sayaaaaaang Bunda…” senangnya diperlakukan seperti itu, rela minta maaf dan memaafkan kesalahan.

Suatu saat saya juga dibuat terkesiap dengan ulah Naufa dan Naura. Waktu itu saya baru pulang dari  pasar. Belanja untuk kebutuhan hari itu. Belum sempurna saya masuk ke dalam rumah dengan sekeranjang belanjaan. Naufa dan Naura menghampiri dan kompak minta maaf.

“Bun, maafin Nola ya, tadi Nola mainin balang-balang bunda… jadi belantakan… maaf ya, Bun…”

“Tadi Adek sama Naufa maen bola-bola sabun, Bun… pake sabun. Maaf ya, Buuuuun…” Naufa menimpali.

Kulihat bak mandi sudah penuh dengan bola sabun. Sabun krem pencuci piring mecer-mecer di lantai. Aku mengehela nafas panjang. Astaghfirullahal-‘adhim…  ini juga soal pelajaran memaafkan.

“Iya, bunda maafkan… Yuk kita bereskan bareng-bareng ya…”

“Bunda nggak malah?” Naura mengernyitkan keningnya. Soalnya kalau kondisi nya kayak gini saya biasanya marah besar. Tapi saya insaf bahwa mereka memang masih anak-anak.

“Nggak… bunda nggak marah, tapi lain kali jangan main sabun lagi ya… nanti lantainya licin Adek sama Mba Naufa bisa jatuh” kamipun bergegas mebereskan kamar mandi bersama-sama.

Jangan gengsi minta maaf kepada anak kita. Hal tersebut akan mengajarkan pada mereka tentang meminta maaf setelah berbuat salah. Juga jangan sungkan memafkan kesalahan mereka, sebab kelak, mereka juga akan tumbuh menjadi pribadi pemaaf.

''...Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.'' (TQS.  an-Nuur ayat 22)Belajar Minta Maaf dan Memaafkan
Siwalankerto, 13 Mei 14, 07:26

Related

Parenting 7271713102483485241

Post a Comment

emo-but-icon

Tulisan Unggulan

Sebulan Bisa Hafal Satu Juz?

Hafalan Al-Qur'an Yuuuk Saya memulai jadwal tahfidz harian ba'da shubuh. Saat suasana masih sangat tenang, Goma masih lelap ...

Catatan Terbaru

item