Alternatif Bermain untuk Anak Perempuan
Ilustrasi: Anak Perempuan Bermain |
Bagaimana jika di lingkungan sekitar komunitasnya cuma anak laki-laki saja. Sementara anak beliau keduanya perempuan. Adakah alternative solusi agar anak laki-laki tetap berinteraksi dengan sesama laki-laki, anak perempuan berinteraksi dengan sesama anak perempuan.
Sebenarnya, anak-anak belum dibebani hukum syari’at, sebagaimana sabda nabi saw “Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia dewasa dan orang gila sampai ia sadar.” (HR. Tirmidzi no. 1423)
Inilah yang menyebabkan sebagian orangtua belum membiasakan hukum syari’at ketika anak masih kecil. “mumpung masih kecil”, “Kan masih kecil”, “halaaah masih kecil aja” sering menjadi alibi anak-anak bergaul dan berinteraksi semau mereka.
Namun, menurut hemat saya, meski belum di wajjibkan, pembiasaan terhadap pelaksanaan hukum syari’at kepada si kecil merupakan pilihan yang tepat. Sebab, ini adalah upaya menyiapkannya menuju masa baligh.
Berdasarkan pengamatan saya, anak-anak yang sudah dibiasakan dengan pelaksananaan hukum syari’at ketika masih dini, ketika baligh anak tersebut lebih mudah untuk konsisten menjalankan berbagai perintah agama, dan juga konsisten meninggalkan larangan agama.
Dulu, waktu masih lajang saya mendapati dua tipe ibu. Kebetulan anaknya sama-sama perempuan dan ketika masih kecil (mungkin usia 7 tahunan) pembinaan anak-anak saya yang pegang. Dua tipe ibu ini agak berbeda dalam tipe pengasuhan.
Tipe pertama, selalu membiasakan anak-anak nya dengan berbagai hukum islam. Seperti pakaian, tontonan, pergaulan, bacaan, musik dan lain-lain selalu diarahkan dengan aturan Islam. Hasilnya, kini anak perempuan itu menjadi teladan kebaikan di kampus ternama di Bandung, putrinya yang kedua juga menjadi panutan di sekolah nya (SMA).
Luar biasa. Saya salut dengan beliau. Perjuangan panjang yang telah beliau lalui hampIr 12 tahun ini berbuah manis. Beliau tak lagi sulit mengarahkan kedua putrinya. Bahkan kedua putrinya menjadi corong dakwah di kalangan remaja dan mahasiswa.
Tipe kedua, selalu membiarkan kemauan anak. Cenderung membebaskan sesuai kehendak hati anak. Mengikuti arus apa yang anak inginkan yang sering kali terpengaruh lingkungan. Ibu tipe ini tak membiasakan anaknya yang masih kecil memakai jilbab dan kerudung, gaya berpakayan yang di pamerkan artis televisi selalu menjadi style pakayannya. Begitu juga soal tontonan, musik, pergaulan, anak tersebut dibebaskan sekendak hatinya. Alasannya ya… karna ia masih kecil, belum baligh, belum dihisab.
Begitu anak perempuan ini masuk masa baligh (sudah haid) sulit sekali mengarahkannya untuk menutup aurat, shalat lima waktu, dan kewajiban lain. di lain sisi ia mudah sekali berganti pacar. Jika ditegur oleh sang ibu, anak ini marah bahkan mengancam. Ibu anak ini kerap kali bertengkar mulut soal prinsip masing-masing. Sedih saya melihatnya. Anak yang durhaka. Mungkin tepat untuk nya. Namun sikapnya hari ini, adalah buah yang ditanam oleh oragtuanya belasan tahun silam.
Belajar dari fakta itu, saya mengambil keputusan untuk memperlakukan Naufa dan Naura seperti tipe ibu pertama mendidik anaknya. Karenanya, sejak sekarang saya biasakan keduanya dengan aturan pergaulan dalam Islam. Mengenalkan batasan aurat, pakaian apa saja yang layak dikenakan, apa saja yang boleh dimakan atau tidak, etika dan adab bertamu, bahkan dengan siapa mereka hendaknya bergaul. Anak laki-laki mainnya dengan anak laki-laki, anak perempuan main dengan anak perempuan ya…
Tentu saja, dalam masa pembiasaan ini, kita selaku orang tua tidak boleh memaksa apalagi mengancam mereka untuk disiplin dengan aturan kita. Bagaimanapun anak-anak belum baligh tidak dicatat amalnya. Wajar jika ada pelanggaran. Wajar pula jika tidak disiplin.
Kita hanya perlu menjelaskan kepadanya dengan baik suatu pembiasaan dan tentu saja memberi teladan dengan amal perbuatan. Karena anak-anak belajar banyak dari perbuatan orang tua, bukan semata dari kata-katanya.
Justru orang tua lah yang semestinya disiplin pada diri sendiri. Kita harus konsisten dengan aturan yang kita tetapkan sendiri. Misalnya kita melarang anak untuk menonton televisi, namun suatu hari justru kita yang tidak konsisten dengan menyalakan TV.
Jangan heran jika anak akan memprotes perbuatan kita. Tidak konsistennya kita pada suatu aturan akan menjadikan anak-anak belajar tidak disiplin. Jangan salahkan ia jika suatu saat dia melakukan hal yang sama dengan apa yang kita lakukan hari ini.
Kembali lagi pada pokok pembahasan kita. Anak perempuan mainnya sama anak perempuan ya, anak laki-laki main sama anak laki-laki. Ini termasuk aturan pergaulan dalam Islam. Larangan untuk berikhtilat atau campur baur antara laki-laki dan perempuan.
Penjelasan tentang bahaya ikhtilat bisa di baca di artikel bahaya ikhtilat menurut hukum Islam.
Walau dalam aspek tertentu ada ikhtilat yang dibolehkan, misalnya muamalah (jual beli di pasar) kesehatan dan pendidikan. Namun hukum asalnya, laki-laki dan peremppuan itu infishol (terpisah)
Aturan ini, menurut saya akan menjadikan anak-anak tumbuh sesuai dengan kodratnya. Anak perempuan dengan sifat feminimnya. Anak lelaki dengan sifat maskulinnya. Ketika sekulerisme membolehkan apa yang dilarang agama, jadilah kondisi seperti sekarang. Anak lelaki kemayu anak perempuan macho. Na’udzubillah…
Di daerah tempat saya tinggal, anak-anak perempuan jumlahnya bejibun. Banyak sekali. Namun saya tetap tak membiarkan Naufa dan Naura bermain sendiri dengan mereka. Jika keduanya ingin bermain bersama anak-anak tetangga, saya selalu membersamai mereka. Sebab apa? Banyak sekali paparan bahaya yang akan mereka terima. Mulai dari kata-kata jorok, lagu-lagu cabul, goyang-goyang edan dll. Tak jarang para ibu yang mengeluh anaknya berkata kkotor setelah berjibaku bermain tanpa arahan.
Saya sendiri sering mendapati permainan anak-anak yang merusak. Simak penggalannya:
--Potong bebek angsa, angsa di kuali, nona minta dansa, dansa empat kali, sorong ke kanan, sorang kekiri, tralalalalalalalalala----------
Saya bilang ke anak-anak itu: syairnya diganti ya... coba dengarkan bunda
-------------Potong bebek angsa, angsa empat kali, nona minta dansa, ceburin ke kali, masuk ke hutan, nyasar di lading, dikejar-kejar sama orang utan-------------
Anak-anak itu terkekeh-kekeh mendengar syair itu, lalu protes. Kenapa lagunya jadi kayak gitu, bunda. Iya, dansa itu bukan budayanya orang Islam. Dansa itu budayanya orang barat. Kita nggak boleh ikut-ikutan, ntar jadi kaya bebek.
Itu yang ringan, adalagi permainan pocong, kuntilanak, gendruwo, pacar-pacaran dll. Jadi belum tentu anak perempua main sama anak perempuan itu aman. Tetep harus ada yang mengarahkan.
Sayang sekali, para ibu sibuk dengan kesibukan masing-masing. Sibuk ngurus dapur sama sumur, juga sibuk dengan rumpian. Kalo toh mereka mendengar isi permainan anak yang menyimpang, mereka malah tertawa karena lucu katanya. Hadeeeh
Saya lebih senang mengajak anak-anak bermain di rumah kami. Biasanya saya buatkan camilan (pop corn, donat, wingko, martabak dll) dan mereka bersedia bermain bersama Naufa dan Naura di rumah kami.
Saya mengajari mereka menyanyi lagu-lagu yang Islami atau hafalan surat-surat pendek atau hafalan asmaul husna, sembari bermain masak-masakan, puzzle, kokoru, dll.
Oya, saya juga selalu meminta mereka untuk memakai celana panjang, supaya paha dan celana dalam tidak kelihatan. Kalau ada yang pakai hot pant anak-anak yang lain pasti akan laporan, “Bunda… Vilda tuh pahanya kelihatan!” Biasanya karena risih dikomentari teman-temannya, anak yang bersangkutan segera pulang berganti pakaian.
Lalu bagaimana jika di lingkungan terdekat kita, realitasnya berbeda dengan idealisme kita. Anak perempuan yang tumbuh dalam komunitas anak laki-laki, karena tak ada anak perempuan walau sebiji. Atau anak laki-laki tumbuh dalam komunitas anak perempuan, karena tak ada anak laki-laki meski sebiji.
Mungkin nggak ini terjadi? Mungkin! Teman saya ini mengalaminya. Dua putrinya tumbuh dalam lingkungan anak laki-laki, jadilah mereka berdua macho. Tak jarang berkelahi juga. Wow… ngeri ya. Walaupun katanya sudah dibekali dengan ilmu bela diri, namun menurut saya itu tetap tidak baik untuk tumbuh kembangnya. Bagaimana solusinya? Inilah yang melatar-belakangi saya menulis artikel berjudul alternative bermain untuk anak perempuan.
Kalau memang komunitas anak perempuan tidak ada, saya menyarankan untuk si ibulah yang menjadi teman bermain anaknya. Aneka permainan begitu banyak. Mulai dari menggambar, mewarnai, membaca buku.
Sementara untuk sosialisasi dan agar anak tidak bosan di rumah, sesekali ajaklah anak berkeliling kampung dengan berjalan kaki.
Paling tidak seminggu tiga kali, saya mengajak Naufa dan Naura berkeliling kampung. Setiap habis shalat ashar, kami bertiga berjalan menyusuri gang-gang sempit, sambil menyebarkan buletine Al-Islam (buletine resmi yang dikeluarkan oleh hizbut tahrir Indonesia) sembari melihat anak-anak bermain di lapangan sepak bola.
Membuat kue bersama juga alternatif lain yang tidak kalah menyenangkan. Anak-anak senang sekali jika dilibatkan dalam membuat kue. Tidak mengapa mereka ikut belepotan dengan tepung. Aktivitas ini juga akan membuat kebiasaan memasak tertamyiz sejak dini.
Seringkali karena kesibukan kita sebagai ibu rumah tangga, kita membiarkan anak-anak kita bermain bebas dengan lingkungan sekitar tanpa pendampingan. Semoga anak-anak kita menjadi anak yang shalih dan shalihah ya. Minimnya ilmu menjadikan saya terkadang gagu menjadi ibu.
Siwalankerto, 04 April 2014, 08:40