Sayangi Anakmu, Bunda!

Sayangi Anakmu, Bunda!

'Idul Fitri 2013, Taman Apsari Surabaya
“Ssttt…  diam dulu ya, nanti mainnya kita sambung lagi. Kita dengar adzan dulu…” aku menempelkan telunjuk kanan pada bibir yang terkatup. Naufa dan Naura mengikuti ulahku. Jadilah kami bertiga saling ber-sstt kalau ada yang berisik di antara kami.

Setelah adzan selesai, kami bersama-sama membaca doa sesudah adzan, berturut-turut doa untuk kedua orang tua, doa untuk tegaknya KHILAFAH dan doa sapu jagat.

“Kenapa kita harus berdoa, bunda?” Tanya Naufa. Ia selalu saja antusias dengan kebiasaan-kebiasaan kami. Mencari tahu alasan di balik perbuatan.

“Karena waktu antara adzan dan iqomat itu waktu yang mustajab, semua doa terkabul…” jelasku pada Naufa.

“Kenapa…” dia masih ingin tahu.

“Ya… kata rasulallah begitu… “Sesungguhnya do’a yang tidak tertolak adalah do’a antara adzan dan iqomah, maka berdo’alah (kala itu).”

“Kenapa?” cecarnya

“Hm… kenapa ya… bunda juga belum tahu alasannya. Bunda cuma ikut aja kata rasulallah” Naufa terdiam. Tak lagi bertanya kenapa.

Berbeda dengan Naufa yang selalu bertanya kenapa, Naura menimpali diskusi kami dengan kalimat pendek

“Ooo… bejitu” senyumnya mengembang dan segera berhambur ke pelukanku karena malu. Naura bicaranya memang belum selancar Naufa. Maklumlah Naura masih 2tahun 6 bulan. Sementara Naufa sudah 4 tahun 1 bulan. 

Aku dan Naufa tertawa melihat tingkah Naura. “Adek ini ada-ada saja!” timpal Naufa sambil menggelitiki ketiak Naura, tersenyum geli.

Naufa dan Naura kembali hanyut dengan mainan mereka. Bermain peran. Naufa jadi ibunya Naura jadi anaknya. Pensil warna itupun berubah menjadi orang-orangan. Sebagian menjadi batas rumah, jadi pagar. Macam-macamlah imajinasi anak dua itu.

Kadang aku geli bukan kepalang mendengar mereka main berdua. Lucu. Hm… anak-anak memang penyejuk mata untuk kedua orang tua. Meski tak jarang justru menjadi mala petaka.

Setelah keduanya gayeng (enjoy) bermain, aku justru terdiam. Ya, sebuah pertanyaan menari-nari dalam benakku.

Aku memang membiasakan diri dan anak-anak di saat-saat mustajab (setelah adzan dan setelah shalat wajib, saat hujan turun) berdoa. Doa khusus untuk kedua orangtua.

Menurutku, doa untuk kedua orang tua adalah doa yang wajib aku baca. Untukku tentu saja wujud dari berbaktiku pada ayah dan mamakku. Kubiasakan juga untuk anak-anakku, agar doa itu menjadi habbit bagi mereka. Diwaktu-waktu mustajab mereka selalu mendoakan kita, orang tuanya.

Kalau sudah biasa, sudah jadi habbit, kelak ketika mereka dewasa hal itu akan mereka lakukan secara otomatis tanpa pikir panjang. Seperti halnya ketika kita reflek makan dengan tangan kanan. Bisa karena biasa. Habbit itu latihan dan pengulangan, begitu bukan.

Eh, yang aku fikirkan adalah isi dari doa itu.

“Alloohummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa”.

Artinya : “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan Ibu Bapakku, sayangilah mereka  SEPERTI mereka menyayangiku di waktu kecil”.

Coba kita tengok kalimat Kama yang artinya sebagaimana atau seperti. Kita bermohon pada Allah agar menyayangi kedua ibu bapak kita SEBAGAIMANA mereka dulu menyayangi kita.

Kelak, anak-anak kita juga bermohon pada Allah agar Dia menyayangi kita sebagaimana kita menyayangi anak-anak kita hari ini, saat mereka kecil.

Di sinilah aku merenung. Dari satu sisi aku berharap sekali agar anak-anakku menjadi asset terbaikku. Bahkan setelah aku mati. Karena doa anak yang sholih/sholihah akan sampai pada kedua orangtuanya.

“Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang berdoa kepadanya.'' (HR Muslim).

Aku berharap anak-anakku kelak, akan mengingatku dan mendoakan ku disaat-saat mustajab dengan doa untuk kedua orang tua.

Namun disisi lain, aku juga jadi tercengang. Karena ternyata apa yang anak-anak kita doakan berbanding lurus dengan apa yang telah kita lakukan pada mereka.

“Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan Ibu Bapakku, sayangilah mereka  SEPERTI mereka menyayangiku di waktu kecil”.

Allah akan menyayangi kita saat renta atau saat sudah meninggal dunia SEBAGAIMANA kita menyayangi anak-anak kita hari ini, saat mereka masih kecil.

Padahal, jika mau jujur bermuhasabah. Aku masih sering marah-marah ketika Naufa dan Naura bermasalah. Ketika keduanya bertengkar, berebut mainan, berebut makanan.

Aku masih sering emosi jika mereka rewel, membuat rumah berantakan karena bermain. Menumpahkan makanan, susu dan lain-lain.

Padahal, akupun masih tidak sabar dengan kebawelan mereka bertanya kenapa. Tak jarang membentak bahkan berlaku kasar.

Allahu rabbiy… Astaghfirullahal-‘adhim…
Hari ini kita juga mendapati betapa anak-anak  menjadi korban kekerasan. Bukan hanya oleh orang lain, bahkan oleh bapak dan ibunya sendiri.

Dibentak-bentak karena tak segera mandi. Dicubit dan dipukul saat memecahkan sesuatu. Dipaksa makan dengan kekerasan. Tak jarang cacian dan makian keluar seperti air bah. Ya Allah…

Na’udzubillahi min dzalika ya Allah… tak tega melihat dan mendengar fakta yang berseliweran di tengah-tengah kita.

Sayangi anakmu bunda, sebagaimana engkau ingin disayang Allah saat sudah renta dan tiada. Bukankah kelak anak-anak kita akan berdoa agar Dia menyayangi kita sebagaimana kita menyayangi anak-anak kita hari ini.

Maafkanlah bundamu ini sayang…  Maafkan bunda…

Bunda sayang Naufa dan Naura.

Melihat Naufa dan Naura terlelap
Siwalankerto, 22 April 2013. 04:15

Related

Parenting 8341820690047344206

Tulisan Unggulan

Sebulan Bisa Hafal Satu Juz?

Hafalan Al-Qur'an Yuuuk Saya memulai jadwal tahfidz harian ba'da shubuh. Saat suasana masih sangat tenang, Goma masih lelap ...

Catatan Terbaru

item