Tabungan
Gerbang besi setinggi satu meter itu terbuka. Warna pekat hitamnya telah memudar. Terlapisi debu yang kian lengket berselimut embun pagi. Semen kasar pelapis lantai garasi di penuhi daun pohon seri yang berguguran setiap detik. Begitupun taman bunga yang baru ditanami pohon pandan.
Tak layak mestinya disebut taman bunga. Baru ada sebatang pohon seri dan dua buah pokok pandan di ujung pagar. Namun area itu memang enak dipakai untuk bersantai. Apalagi jika hari beranjak siang. Sengatan panas mentari terhalangi oleh rimbunnya daun seri yang dari hari ke hari terus menjulang tinggi. Yah, setidaknya sebutan itu menggambarkan sebuah harapan, suatu saat nanti halaman itu kan dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran.
Udara pagi berhembus sepoi. Menggelitik pepohonan. Mengajaknya bergoyang. Mendendangkan tasbih kepada rabb pencipta alam. Dinding pagar pembatas rumah Tiara dan rumah lain agak kotor dan lengket. Terciprat sesuatu. Biji seri layaknya butiran pasir muncrat tak beraturan. Santapan sisa kelelawar semalam.
Kerudung putih Tiara berkibar perlahan. Jilbab (gamis) hitam bermotif bunga tulip membalut rapat tubuhnya. Jemari kakinya pun terbungkus kaus kaki cokelat. Yang tampak darinya hanya wajah dan telapak tangannya. Penampilah yang sempat diprotes orang tuanya. Bahkan membuatnya harus resign dari pekerjaan saat masih lajang.
Dua tangannya menenteng kantung kresek sedang. Tak perlu ada bunyi besi beradu karena gerbang rumah memang telah terbuka. Senyumnya mengembang. Lega. Karena bagian dalam rumah telah rapi tertata. Ibu mertuanya datang pada saat yang tepat. Saat rumah tak berantakan. Meski bagian luar belum disapu. Hal itu tak merisaukan hatinya. Karena yang paling penting adalah bagian dalam. Ibu mertua Tiara memang tidak bisa melihat rumah berantakan. Apalagi kamar mandi yang licin dan kumuh. Waah.. bisa mencak-mencak beliau.
“Kamar mandi itu harus bersih, Tiara…” omelnya suatu ketika. Saat didapati rumah dalam kondisi seperti kapal pecah. Tiara hanya diam mendengar nasihat ibu mertuanya yang ia definisikan sebagai omelan.
“Kalau rumah berantakan, pikiran juga berantakan. Stress. Tidak nyaman tinggal di rumah yang berantakan, kotor kayak gini”
“Lihat tuh kamar mandi, mestinya setiap hari disikat biar ndak licin dan lumutan. Nyuci pakayan itu setiap hari, biar ndak berat. Baju kalo sudah kering mbok yo langsung dilipat. Masio (walaupun) belum sempet nyetrika, tapikan jadi rapi kelihatannya, ndak awut-awutan kayak gini. Nyuci piring jangan nunggu numpuk. Kalo ada yang kotor yo mbok langsung dicuci. Gini, mau minum ae gak onok gelas! (mau minum saja tak ada gelas bersih). Anak baru satu saja seperti ini, kalo kamu hamil lagi gimana jadinya?”
“Stress suamimu, lak-an… Jadi istri tu yo mbok jangan malesan” kalimat terakhir ibu mertuanya menghujam tajam di lubuk hati Tiara. Seperti hantu yang gentayangan menakut-nakutinya setiap kali mendengar kabar ibu mertua mau soan ke rumah. Padahal, mana ada hantu. Gentayangan pula. Itukan hanya ilusi.
Namun berbeda kali ini, matanya berbinar melihat motor elektrik itu terparkir di garasi. Ia begitu gembira, sebab rumah sudah rapih tertata. Padahal ibu mertuanya datang tiba-tiba, tak ada konfirmasi sebelumnya.
“Selamat… selamat… hari ini selamat” gumamnya lirih.
Ardy memenuhi janji. Pagi-pagi sekali ba’da shubuh, mereka berbagi tugas rumah tangga. Tiara menyapu lantai, mencuci piring dan mengucek pakayan. Sementara Ardy membantu Tiara mengepel lantai, membilas pakaian, menjemurnya, menguras bak kamar mandi, sekaligus menyikat lantai kamar mandi dan wc. Pekerjaan-pekerjaan itu sungguh termasuk pekerjaan berat. Cukup menguras energi. Karenanya Ardy memilihnya. Agar energi Tiara bisa dipakai untuk hal ringan lainnya. Selain juga untuk latihan fisik Ardy. maksudnya biar bisa ngirit dana, nggak perlu ke fitness center.
Ya, tepatnya sejak pertengkaran itu. Ardy berubah. Ia berjanji. Sebelum ia berhasil memberi hadiah mesin cuci dan menghadirkan pembantu, ia akan mengembil-alih tugas mencuci pakayan seluruhnya. Tapi Tiara keberatan. Sebab cara Ardy mencuci pakayan menurutnya kurang bersih. Tak disikat. Sementara Tiara baru merasa tenang jika pakayan disikat semua. Meski Ardy beralasan jika pakayan sering disikat maka akan mengurangi masa pakainya. Serat kain jadi semakin rapuh. Alibinya.
Tak bisa. Kalau tak disikat bisa gatal-gatal badan dibuatnya. Belum lagi kotoran membandel yang tak hilang sekedar dikucek. Ardy mengalah. Ada hal-hal yang memang tak penting dimenangkan. Semata untuk menjaga keharmonisan.
Urusan membilas pakayan dan mengepel, memang Ardy Jagonya. Ardy melakukannya sempurna hanya dalam waktu dua jam. Lantai keramik telah bersih dan kesat. Pakayan telah tersusun rapi di belakang rumah. Ardy langsung menjemurnya. Piring, sendok, gelas telah tersusun rapi di rak piring. Tatakan kompor bersih cling. Kamar mandi juga harum.
“Assalamu’alaykum…” Tiara masuk ruang tamu. Ia segera meletakkan barang bawaannya di dekat dinding. Merapat ke ibu mertuanya. Mengamit tangan ibu paruh baya itu dan menempelkannya di pipi kanannya. Tiara melakukan hal yang sama kepada bapak mertuanya.
“Sudah lama Bu…” Tiara memulai percakapan. Ia duduk lesehan di atas karpet hijau sebelah Ardy. Ruang tamu mereka memang tak ada kursinya. Sengaja. Agar tak memenuhi ruangan.
“Barusan… Ibu seneng nduk… omahmu wes rapi (rumahmu sudah rapi)" Bu Prapti, ibu mertua Tiara tersenyum lebar. Wanita paruh baya itu duduk sebelah suaminya, Pak Bahar.
Garis-garis wajahnya tampak nyata saat tersenyum. Rambutnya yang panjang tergelung di belakan kepala yang mulai beruban. Meski sudah paruh baya, namun ada gurat kecantikan tersembul apalagi dengan senyum bahagia itu. Jika sedang senang, bu Prapti kerap memanggil Tiara dengan sebutan Nduk.
“Lha… kalau rumahnya begini kan enak, nyaman, bikin betah…” Tiara tersipu malu-malu mendengar komentar Bu Prapti. Wajahnya menunduk. Tangannya mengusap-usap karpet hijau.
“Nggeh, bu… dibantuin Mas Ardy beresannya…” Tiara melirik Ardy.
“Lha, gitu lak-an bagus… suami istri itu memang harus bantu membantu. Bapakmu dulu yo gitu Ardy, sebelum berangkat sudah bantu ibu beresan. Ternyata nurun kamu, Le…”
“Iya bu, Bapak memang teladan yang baik, nurun ke anaknya, baik juga kan...” Tawa meledak bersama.
“Kalian ini ada-ada saja. Itukan sudah kewajiban suami. Bukan perkara yang patut diturunkan. Kalo belum bisa nyarikan pembantu ya suami lah yang harus membantu” Pak Bahar menimpali.
“Saya kebelakang dulu bu…” Tiara undur diri. Beranjak ke dapur membawa dua kresek belanjaan dan menaruhnya di atas meja makan. Bu Prapti mengikuti Tiara dari belakang. Tiara mengambil panci untuk memanaskan air. Menunggu air mendidih Tiara menyiapkan dua gelas kosong di atas nampan. Sebuah teko. Sebuah sendok, saringan dan dan sebungkus daun teh.
Bu Prapti membuka belanjaan. Dikeluarkannya sayur mayur yang dibeli Tiara.
“Banyak sekali sayuran yang dibeli Nduk, ini untuk berapa hari?”
“Iya bu, itu untuk hari ini saja, untuk sarapan dan makan malam” jawab Tiara sambil menuangkan air ke teko menambahkan daun teh dan mengaduknya dengan sendok.
“Apa nggak kebanyakan tah nduk, ibu dulu waktu masih punya anak satu malah nggak masak. Cuma masak nasi saja. Sayur dan lauk beli di warung”
“Sebenarnya memang lebih simpel begitu bu… nggak repot selain juga lebih hemat. Tapi Tiara kuatir bu... Kalo beli di warungkan ndak terjamin halal dan higienitasnya” Tiara menyaring teh ke masing-masing gelas kosong setinggi setengah gelas. Pekat warna teh teraduk dengan gula di masing-masing gelas.
“Iya… ibu yo tau… tapikan kamu jadi ndak bisa tandang gae (beraktivitas)… masak aja ndak mari-mari (selesai-selesai)... kalau ndak di bantu Ardy, kerjaan rumah yang lain jadi terbengkalai…” bu Prapti meletakkan sesisir pisang susu di atas keranjang buah.
“Nggeh (Iya) bu, tapi kesehatan kan lebih utama…” Setelah dirasa gula larut semua, Tiara menambahkan air biasa ke dalam gelas teh tadi. Agar suhunya tidak terlalu panas, hangat.
“Lha kalo kamu sibuk masak, terus ndak sempat beresan yang lain, rumahnya kotor, kamar mandi bau, cucian rendaman kelamaan, apa ndak bikin penyakitan juga”
“Nggeh bu, saya sedang nyiasati biar semua kerjaan ketandangan (terkerjakan)” Tiara membawa nampan ke ruang tamu.
“Monggo bu, tehnya sudah siap…” namun bu Prapti masih duduk menatapi belanjaan Tiara. Tiara menghampiri Bu Prapti bermaksud membawa keranjang buah ke ruang depan.
“Coba lihat, sudah ada brokoli, pok coy, terung, kentang, daging, wortel sebanyak ini, apa ini bukan pemborosan tah, Tiara…” Bu Prapti menunjuk satu persatu belanjaan itu.
“Brokoli, kentang dan daging untuk makanan Haidar bu, dagingnya direbus buat kaldu untuk kuah. Dagingnya di blender, brokoli dan kentangnya direbus sebentar diblender campur daging, jadi nugget” Tiara memisahkan brokoli, kentang dan daging.
“Tapikan Haidar bisa di belikan bubur instan, wong yo bubur instan sekarang lho mengandung sayuran sama protein juga kayak ikan salmon, ikan Tuna, daging, ayam, brokoli, bayem merah. Simple Tiara, praktis, irit…”
“Nggeh bu, tapi yang saya baca komposisinya ada yang pake pengemulsi, pengawet, monosodium glutamat. Setahu saya bahan-bahan itu ndak bagus buat kesehatan apalagi bayi” sanggah Tiara memberi pengertian Bu Prapti.
“Nah, kalau terong ini untuk dibuat penyetan sama dadar telur, Bu… untuk sarapan pagi ini” Tiara memisahkan Terung bulat-bulat.
“Kalau Pok Coy, ditumis nanti malam, Mas Ardy makan siang di kantor. Kalau saya makan siang, biasanya sekalian nyuap Haidar” Bu Prapti geleng-geleng kepala.
“Lha wortel sebanyak ini buat apa Tiara?”
“Ini buaaat….”
“Bu... rene-o (kemarilah)…” Suara pak Bahar cukup keras memanggil bu Prapti sebelum ia mendengar jawaban Tiara. Bu Prapti bergegas ke ruang tamu, duduk lagi menyebelahi pak Bahar. Tiara menyusul membawa keranjang dengan pisang susu di atasnya.
“Ngobrol kok keras-keras, nanti Haidar bangun, lagi pula Ardy mau berangkat kerja…” Pak Bahar mulai menyeruput teh hangatnya.
“Kok cuma dua, Nduk… buat Mas mu mana? Pak bahar menoleh ke Tiara.
“Mas Ardy pagi-pagi minum jus wortel, Pak… sedang terapi…”
“Oooo…” Pak Bahar melanjutkan seruputannya hingga habis setengah gelas.
“Itu lho pak, Tiara belanja sayuran kok banyak sekali. Kayak mau hajatan saja” keluh bu Prapti. Tiara hanya diam. Sulit menjelaskan dalam kondisi sekarang.
“Gini lho, Ardy… ibu sama bapak kesini mau nawari kamu. Lek Woto mau jual tanahnya yang di Perak. Dia lagi butuh duit. Harganya murah. Kamu kan yo harus sudah mikirin punya rumah sendiri. Ndak mau to… jadi kontraktor selamanya?” Bu Prapti promosi berapi-api.
Sejenak Ardy dan Tiara saling bertatap. Galau.
“Memang murahnya berapa, Bu…” Tanya Ardy.
“Cuma 70 juta. Gajimu kan lumayan besar. Kalo sebulan bisa nabung sejuta, inikan sudah tiga tahun sejak kamu menikah, berarti paling ndak sudah ngumpul 36 juta. Nanti sisanya ibu sama bapak yang nambahi… yo pak yo…” Pak Bahar mengangguk-angguk.
“Hm… nanti saya hitung dulu tabungan kami, Bu…”
“Keputusannya harus segera… nanti keburu diambil orang, pak lek mu jek (lagi) kepepet…”
“Hwaaaaa…” Tangis Haidar pecah. Tiara terburu-buru melaju ke kamar Haidar. Menenangkannya juga menenangkan pikirannya.
bersambung...
Tak layak mestinya disebut taman bunga. Baru ada sebatang pohon seri dan dua buah pokok pandan di ujung pagar. Namun area itu memang enak dipakai untuk bersantai. Apalagi jika hari beranjak siang. Sengatan panas mentari terhalangi oleh rimbunnya daun seri yang dari hari ke hari terus menjulang tinggi. Yah, setidaknya sebutan itu menggambarkan sebuah harapan, suatu saat nanti halaman itu kan dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran.
Udara pagi berhembus sepoi. Menggelitik pepohonan. Mengajaknya bergoyang. Mendendangkan tasbih kepada rabb pencipta alam. Dinding pagar pembatas rumah Tiara dan rumah lain agak kotor dan lengket. Terciprat sesuatu. Biji seri layaknya butiran pasir muncrat tak beraturan. Santapan sisa kelelawar semalam.
Kerudung putih Tiara berkibar perlahan. Jilbab (gamis) hitam bermotif bunga tulip membalut rapat tubuhnya. Jemari kakinya pun terbungkus kaus kaki cokelat. Yang tampak darinya hanya wajah dan telapak tangannya. Penampilah yang sempat diprotes orang tuanya. Bahkan membuatnya harus resign dari pekerjaan saat masih lajang.
Dua tangannya menenteng kantung kresek sedang. Tak perlu ada bunyi besi beradu karena gerbang rumah memang telah terbuka. Senyumnya mengembang. Lega. Karena bagian dalam rumah telah rapi tertata. Ibu mertuanya datang pada saat yang tepat. Saat rumah tak berantakan. Meski bagian luar belum disapu. Hal itu tak merisaukan hatinya. Karena yang paling penting adalah bagian dalam. Ibu mertua Tiara memang tidak bisa melihat rumah berantakan. Apalagi kamar mandi yang licin dan kumuh. Waah.. bisa mencak-mencak beliau.
“Kamar mandi itu harus bersih, Tiara…” omelnya suatu ketika. Saat didapati rumah dalam kondisi seperti kapal pecah. Tiara hanya diam mendengar nasihat ibu mertuanya yang ia definisikan sebagai omelan.
“Kalau rumah berantakan, pikiran juga berantakan. Stress. Tidak nyaman tinggal di rumah yang berantakan, kotor kayak gini”
“Lihat tuh kamar mandi, mestinya setiap hari disikat biar ndak licin dan lumutan. Nyuci pakayan itu setiap hari, biar ndak berat. Baju kalo sudah kering mbok yo langsung dilipat. Masio (walaupun) belum sempet nyetrika, tapikan jadi rapi kelihatannya, ndak awut-awutan kayak gini. Nyuci piring jangan nunggu numpuk. Kalo ada yang kotor yo mbok langsung dicuci. Gini, mau minum ae gak onok gelas! (mau minum saja tak ada gelas bersih). Anak baru satu saja seperti ini, kalo kamu hamil lagi gimana jadinya?”
“Stress suamimu, lak-an… Jadi istri tu yo mbok jangan malesan” kalimat terakhir ibu mertuanya menghujam tajam di lubuk hati Tiara. Seperti hantu yang gentayangan menakut-nakutinya setiap kali mendengar kabar ibu mertua mau soan ke rumah. Padahal, mana ada hantu. Gentayangan pula. Itukan hanya ilusi.
Namun berbeda kali ini, matanya berbinar melihat motor elektrik itu terparkir di garasi. Ia begitu gembira, sebab rumah sudah rapih tertata. Padahal ibu mertuanya datang tiba-tiba, tak ada konfirmasi sebelumnya.
“Selamat… selamat… hari ini selamat” gumamnya lirih.
Ardy memenuhi janji. Pagi-pagi sekali ba’da shubuh, mereka berbagi tugas rumah tangga. Tiara menyapu lantai, mencuci piring dan mengucek pakayan. Sementara Ardy membantu Tiara mengepel lantai, membilas pakaian, menjemurnya, menguras bak kamar mandi, sekaligus menyikat lantai kamar mandi dan wc. Pekerjaan-pekerjaan itu sungguh termasuk pekerjaan berat. Cukup menguras energi. Karenanya Ardy memilihnya. Agar energi Tiara bisa dipakai untuk hal ringan lainnya. Selain juga untuk latihan fisik Ardy. maksudnya biar bisa ngirit dana, nggak perlu ke fitness center.
Ya, tepatnya sejak pertengkaran itu. Ardy berubah. Ia berjanji. Sebelum ia berhasil memberi hadiah mesin cuci dan menghadirkan pembantu, ia akan mengembil-alih tugas mencuci pakayan seluruhnya. Tapi Tiara keberatan. Sebab cara Ardy mencuci pakayan menurutnya kurang bersih. Tak disikat. Sementara Tiara baru merasa tenang jika pakayan disikat semua. Meski Ardy beralasan jika pakayan sering disikat maka akan mengurangi masa pakainya. Serat kain jadi semakin rapuh. Alibinya.
Tak bisa. Kalau tak disikat bisa gatal-gatal badan dibuatnya. Belum lagi kotoran membandel yang tak hilang sekedar dikucek. Ardy mengalah. Ada hal-hal yang memang tak penting dimenangkan. Semata untuk menjaga keharmonisan.
Urusan membilas pakayan dan mengepel, memang Ardy Jagonya. Ardy melakukannya sempurna hanya dalam waktu dua jam. Lantai keramik telah bersih dan kesat. Pakayan telah tersusun rapi di belakang rumah. Ardy langsung menjemurnya. Piring, sendok, gelas telah tersusun rapi di rak piring. Tatakan kompor bersih cling. Kamar mandi juga harum.
“Assalamu’alaykum…” Tiara masuk ruang tamu. Ia segera meletakkan barang bawaannya di dekat dinding. Merapat ke ibu mertuanya. Mengamit tangan ibu paruh baya itu dan menempelkannya di pipi kanannya. Tiara melakukan hal yang sama kepada bapak mertuanya.
“Sudah lama Bu…” Tiara memulai percakapan. Ia duduk lesehan di atas karpet hijau sebelah Ardy. Ruang tamu mereka memang tak ada kursinya. Sengaja. Agar tak memenuhi ruangan.
“Barusan… Ibu seneng nduk… omahmu wes rapi (rumahmu sudah rapi)" Bu Prapti, ibu mertua Tiara tersenyum lebar. Wanita paruh baya itu duduk sebelah suaminya, Pak Bahar.
Garis-garis wajahnya tampak nyata saat tersenyum. Rambutnya yang panjang tergelung di belakan kepala yang mulai beruban. Meski sudah paruh baya, namun ada gurat kecantikan tersembul apalagi dengan senyum bahagia itu. Jika sedang senang, bu Prapti kerap memanggil Tiara dengan sebutan Nduk.
“Lha… kalau rumahnya begini kan enak, nyaman, bikin betah…” Tiara tersipu malu-malu mendengar komentar Bu Prapti. Wajahnya menunduk. Tangannya mengusap-usap karpet hijau.
“Nggeh, bu… dibantuin Mas Ardy beresannya…” Tiara melirik Ardy.
“Lha, gitu lak-an bagus… suami istri itu memang harus bantu membantu. Bapakmu dulu yo gitu Ardy, sebelum berangkat sudah bantu ibu beresan. Ternyata nurun kamu, Le…”
“Iya bu, Bapak memang teladan yang baik, nurun ke anaknya, baik juga kan...” Tawa meledak bersama.
“Kalian ini ada-ada saja. Itukan sudah kewajiban suami. Bukan perkara yang patut diturunkan. Kalo belum bisa nyarikan pembantu ya suami lah yang harus membantu” Pak Bahar menimpali.
“Saya kebelakang dulu bu…” Tiara undur diri. Beranjak ke dapur membawa dua kresek belanjaan dan menaruhnya di atas meja makan. Bu Prapti mengikuti Tiara dari belakang. Tiara mengambil panci untuk memanaskan air. Menunggu air mendidih Tiara menyiapkan dua gelas kosong di atas nampan. Sebuah teko. Sebuah sendok, saringan dan dan sebungkus daun teh.
Bu Prapti membuka belanjaan. Dikeluarkannya sayur mayur yang dibeli Tiara.
“Banyak sekali sayuran yang dibeli Nduk, ini untuk berapa hari?”
“Iya bu, itu untuk hari ini saja, untuk sarapan dan makan malam” jawab Tiara sambil menuangkan air ke teko menambahkan daun teh dan mengaduknya dengan sendok.
“Apa nggak kebanyakan tah nduk, ibu dulu waktu masih punya anak satu malah nggak masak. Cuma masak nasi saja. Sayur dan lauk beli di warung”
“Sebenarnya memang lebih simpel begitu bu… nggak repot selain juga lebih hemat. Tapi Tiara kuatir bu... Kalo beli di warungkan ndak terjamin halal dan higienitasnya” Tiara menyaring teh ke masing-masing gelas kosong setinggi setengah gelas. Pekat warna teh teraduk dengan gula di masing-masing gelas.
“Iya… ibu yo tau… tapikan kamu jadi ndak bisa tandang gae (beraktivitas)… masak aja ndak mari-mari (selesai-selesai)... kalau ndak di bantu Ardy, kerjaan rumah yang lain jadi terbengkalai…” bu Prapti meletakkan sesisir pisang susu di atas keranjang buah.
“Nggeh (Iya) bu, tapi kesehatan kan lebih utama…” Setelah dirasa gula larut semua, Tiara menambahkan air biasa ke dalam gelas teh tadi. Agar suhunya tidak terlalu panas, hangat.
“Lha kalo kamu sibuk masak, terus ndak sempat beresan yang lain, rumahnya kotor, kamar mandi bau, cucian rendaman kelamaan, apa ndak bikin penyakitan juga”
“Nggeh bu, saya sedang nyiasati biar semua kerjaan ketandangan (terkerjakan)” Tiara membawa nampan ke ruang tamu.
“Monggo bu, tehnya sudah siap…” namun bu Prapti masih duduk menatapi belanjaan Tiara. Tiara menghampiri Bu Prapti bermaksud membawa keranjang buah ke ruang depan.
“Coba lihat, sudah ada brokoli, pok coy, terung, kentang, daging, wortel sebanyak ini, apa ini bukan pemborosan tah, Tiara…” Bu Prapti menunjuk satu persatu belanjaan itu.
“Brokoli, kentang dan daging untuk makanan Haidar bu, dagingnya direbus buat kaldu untuk kuah. Dagingnya di blender, brokoli dan kentangnya direbus sebentar diblender campur daging, jadi nugget” Tiara memisahkan brokoli, kentang dan daging.
“Tapikan Haidar bisa di belikan bubur instan, wong yo bubur instan sekarang lho mengandung sayuran sama protein juga kayak ikan salmon, ikan Tuna, daging, ayam, brokoli, bayem merah. Simple Tiara, praktis, irit…”
“Nggeh bu, tapi yang saya baca komposisinya ada yang pake pengemulsi, pengawet, monosodium glutamat. Setahu saya bahan-bahan itu ndak bagus buat kesehatan apalagi bayi” sanggah Tiara memberi pengertian Bu Prapti.
“Nah, kalau terong ini untuk dibuat penyetan sama dadar telur, Bu… untuk sarapan pagi ini” Tiara memisahkan Terung bulat-bulat.
“Kalau Pok Coy, ditumis nanti malam, Mas Ardy makan siang di kantor. Kalau saya makan siang, biasanya sekalian nyuap Haidar” Bu Prapti geleng-geleng kepala.
“Lha wortel sebanyak ini buat apa Tiara?”
“Ini buaaat….”
“Bu... rene-o (kemarilah)…” Suara pak Bahar cukup keras memanggil bu Prapti sebelum ia mendengar jawaban Tiara. Bu Prapti bergegas ke ruang tamu, duduk lagi menyebelahi pak Bahar. Tiara menyusul membawa keranjang dengan pisang susu di atasnya.
“Ngobrol kok keras-keras, nanti Haidar bangun, lagi pula Ardy mau berangkat kerja…” Pak Bahar mulai menyeruput teh hangatnya.
“Kok cuma dua, Nduk… buat Mas mu mana? Pak bahar menoleh ke Tiara.
“Mas Ardy pagi-pagi minum jus wortel, Pak… sedang terapi…”
“Oooo…” Pak Bahar melanjutkan seruputannya hingga habis setengah gelas.
“Itu lho pak, Tiara belanja sayuran kok banyak sekali. Kayak mau hajatan saja” keluh bu Prapti. Tiara hanya diam. Sulit menjelaskan dalam kondisi sekarang.
“Gini lho, Ardy… ibu sama bapak kesini mau nawari kamu. Lek Woto mau jual tanahnya yang di Perak. Dia lagi butuh duit. Harganya murah. Kamu kan yo harus sudah mikirin punya rumah sendiri. Ndak mau to… jadi kontraktor selamanya?” Bu Prapti promosi berapi-api.
Sejenak Ardy dan Tiara saling bertatap. Galau.
“Memang murahnya berapa, Bu…” Tanya Ardy.
“Cuma 70 juta. Gajimu kan lumayan besar. Kalo sebulan bisa nabung sejuta, inikan sudah tiga tahun sejak kamu menikah, berarti paling ndak sudah ngumpul 36 juta. Nanti sisanya ibu sama bapak yang nambahi… yo pak yo…” Pak Bahar mengangguk-angguk.
“Hm… nanti saya hitung dulu tabungan kami, Bu…”
“Keputusannya harus segera… nanti keburu diambil orang, pak lek mu jek (lagi) kepepet…”
“Hwaaaaa…” Tangis Haidar pecah. Tiara terburu-buru melaju ke kamar Haidar. Menenangkannya juga menenangkan pikirannya.
bersambung...