Prasangka
ini adalah kelanjutan cerita berjudul Tabungan. mohon masukannya ya...
*****
Motor gede Ardy menderum. Ardy dengan atribut bersepeda motor telah siap melaju. Haidar yang ada di gendongan Tiara melambaikan tangan. Tiara tersenyum melepas kepergian Ardy.
“Hati-hati di jalan, abi… tar pulangnya belikan onde-onde ya…” Tiara memberi pesan singkat. Ardy mengangguk. Setelah berbalas salam Ardy pun memutar stang gas lebih erat. Motor itu melaju, lambat. Karena sepanjang jalan perumahan ada banyak polisi tidur. Baru setelah melewati pos satpam dan keluar gerbang perumahan ia dapat menaikkan kecepatan laju motornya, 60km/jam.
Kendaraan sudah mulai memadati jalan utama Rungkut Industri. Berpuluh sepeda motor ngetem di pinggir jalan. Sudah menjadi rutinitas pagi, bapak-bapak menjemput para istri mereka yang baru pulang kerja dari komplek industri terbesar di Surabaya itu. Ya, Rungkut Industri adalah sebuah area industri untuk banyak perusahaan besar. Ada perusahaan rokok, perusahaan minyak goreng, perusahaan lampu, perusahaan sabun, pasta gigi, kosmetik bahkan perusahaan alat berat terpetakan di sana.
Ribuan buruh perempuan dengan seragam khas masing-masing perusahaan tumpah ruah di sepanjang jalan Rungkut Industri. Pedagang kaki lima memanfaatkan momen ini untuk mengais rezeki. Jadilah setiap pagi ada pasar kaget.
“Kenapa harus perempuan yang bekerja, kenapa harus lelaki yang menjemput?” pertanyaan retoris Ardy melintas begitu saja di benaknya. Ketika motornya harus merayap lambat sebab jalanan menjadi macet ditingkahi para buruh yang pulang kerja.
"Eh... aku lupa... di era yang aneh macam sekarang, semuanya memang serba berbalikan. Yang mestinya di atas jadi di bawah. Yang mestinya kerja malah selonjor kaki di rumah. Yang mestinya sibuk di rumah malah jadi buruh di pabrik. Dunia memang sudah kebalik, edan" mata Ardy manatap tajam puluhan bapak-bapak yang berderet.
"Pengusaha kapitalistik memang tak punya hati. Cari amannya saja. Buruh perempuan murah upah kerjanya dan pekerjaan lebih rapih serta teliti. Lebih dari itu buruh perempuan juga mudah diarahkan. Apa yang ada di pikiran pengusaha kapitalistik memang cuma duit, untung. Menekan biaya produksi serendah-rendahnya untuk beroleh profit sebesar-besarnya. Mana pikir mereka soal tatanan sosial yang bakal timpang. Soal peran perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Soal pendidikan anak, sebodo teing". Ardy menyeringai sebal.
"Andai saja pemerintah tegas dengan para pengusaha. Menetapkan aturan kerja yang pro wanita. Membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk kaum pria. Mensubsidi setiap yang butuh modal. Mengkondusifkan suasana wirausaha. Menasionalisasi perusahaan yang semestinya dikelola Negara. Mustahil. Ini Negara demokrasi bung. Bukan negara Sosialis!" Tangan Ardy menepuk-nepuk helm yang membalut kepalanya, pura-pura bego.
"Sama saja, semuanya kebalik. Perempuan yang alaminya bertugas di rumah dan mendidik anak, malah menyerbu ranah publik. Berbondong-bondong jadi wanita karir. Lebih enjoy dengan dunia kerja. Bête dengan kerjaan rumah tangga. Nggak mau pusing sama rengekan anak-anak yang manja. Yo wes… klop deh" Ardy menelan ludah, getir.
Bayangan Tiara melintas. Ardy sungguh merasa beruntung menikahi Tiara. Tiara rela resign untuk sebuah keputusan besar. Antara jilbab dan karirnya. Dan memutuskan sama sekali tak bekerja semata mengabdi padanya. Mengurus rumah dan anaknya. Ah… pertengkaran senja itu sungguh membekas di hatinya. Ternyata memang tidak mudah menjadi ibu dan pengatur rumah tangga. Mungkin pekerjaannya di kantor tak seberat apa yang di tanggung Tiara, istrinya.
Ealah pemandangan yang ia saksikan pagi ini jadi mengingatkannya pada burung penguin. Penguin jantan selama 4 bulan bertugas mengerami telur hingga menetas. Sementara penguin betina bertugas mencari makanan di laut selama masa pengeraman. Dan pulang dengan harta karun makanan. Hehe sama ya.
“Tet teeeeeeet… tet teeeeeeet…” suara klakson bersahutan disertai omelan. Rupanya kendaraan tertahan disebabkan lyn (angkot) JTK jurusan Joyoboyo-UPN berhenti sembarangan, memasukkan penumpang. Bunyi klakson mulai mereda setelah Lyn itu merayap. Lambat.
Motor Ardy melaju lagi, melewati pos polisi, rumah sakit Royal dan berhenti lagi di traffic lamp Kendang Sari, lampu merah. Kaca penutup helm dinaikkan ke atas. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Seorang lelaki di sebelahnya sedang sibuk memencet keypad ponselnya. Lima belas detik-dua puluh detik. Lampu hijau menyala. Ardy menutup kembali kaca helm bening itu.
“Cuma 70 juta. Gajimu kan lumayan besar. Kalo sebulan bisa nabung sejuta, inikan sudah tiga tahun sejak kamu menikah, berarti paling ndak sudah ngumpul 36 juta. Nanti sisanya ibu sama bapak yang nambahi… yo pak yo…”
“Hm… nanti saya hitung dulu tabungan kami, Bu…”
“Keputusannya harus segera… nanti keburu diambil orang, pak lek mu jek (sedang) kepepet…”
Dialog tadi pagi terngiang kembali di telinga Ardy. Tabungan. Ya, Tabungan. Kenapa seolah terlupa selama ini dalam benaknya.
Padahal sewaktu lajang, Ardy memang punya tabungan. 1 juta sebulan. Dulu, ia mempercayakan uang tabungan itu kepada ibunya.
Hingga saat ia hendak melamar Tiara, uang tabungan itulah yang ia pakai. Terkumpul 20 juta. Untuk mahar dan seserahan 13 juta. Sisanya untuk modal hidup setelah menikah. Membayar kontrakan rumah dan biaya kehidupan sebelum gajian.
Setelah menikah, seluruh gaji ia serahkan ke Tiara untuk mengelolanya. Ia hanya memegang untuk kebutuhan transportasi, pulsa dan dana cadangan jika sewaktu-waktu membutuhkan. Itupun tak banyak. Setahunya, Tiara tak mengalokasikan untuk menabung. 3 tahun menikah, bukankah seharusnya sudah terkumpul 36 juta jika konsisten sebulan menabung satu juta.
“Ah, tidak mungkin… tidak mungkin Tiara mengorupsinya” Ardy menggelengkan kepala. Ia begitu percaya pada Tiara. Ia adalah istri shalehah yang tak mungkin mengambil sesuatu yang bukan haknya.
“Itu lho pak, Tiara belanja sayuran kok banyak sekali. Kayak mau hajatan saja” lagi-lagi kalimat ibunya melintas. Mungkin benar kata ibu, Tiara terlalu boros untuk belanja harian.
Mungkin pola belanja yang harus dievaluasi. Mungkin ada pos-pos belanja yang berlebih sehingga tak memungkinkan untuk menabung. Tapikan Tiara lihai sekali mengatur uang. Ia dulu bekerja sebagai akuntan sebuah perusahaan swasta.
Sebelum Haidar lahir ia sempat pusing dengan laporan keuangan Tiara setiap akhir bulan. Namun setelah Haidar lahir, kebiasaan itu tak lagi Tiara lakukan. Terlalu lelah dengan kesibukan mengurus Haidar nampaknya. Nanti malam Ardy berjanji untuk membicarakannya dengan Tiara.
Motor bersiap untuk menyebrang dari jalur utama Jemursari. Di pertigaan besar Jalan utama nasional Ahmad Yani. Lampu sign kanan telah dinyalakan. Jalanan agak padat memudahkan Ardy untuk merapat ke kanan. Semester tiga meter motornya telah bergerak mendekat ke bundaran Taman Pelangi. Tinggal satu meter lagi ia akan sampai di tikungan itu.
Namun tiba-tiba…
“BRAKKKKK!”
Sebuah motor bebek menghantam badan motor gede Ardy. Motornya terhuyung. Terseret dan menghantam pembatas jalan. Tubuhnya jatuh. Kepalanya terbentur aspal. Suara benturan helm dengan aspal berdebam keras. Kaca bening helm pecah. Kaca mata hitamnya terpelanting entah kemana. Ardy meringis menahan nyeri. Motor gedenya terbaring tiga meter darinya. Kedua rodanya berputar-putar. Juga kepalanya. Pikiranya. Dan semuanya menjadi gelap gulita.
Bersambung…
*****
Motor gede Ardy menderum. Ardy dengan atribut bersepeda motor telah siap melaju. Haidar yang ada di gendongan Tiara melambaikan tangan. Tiara tersenyum melepas kepergian Ardy.
“Hati-hati di jalan, abi… tar pulangnya belikan onde-onde ya…” Tiara memberi pesan singkat. Ardy mengangguk. Setelah berbalas salam Ardy pun memutar stang gas lebih erat. Motor itu melaju, lambat. Karena sepanjang jalan perumahan ada banyak polisi tidur. Baru setelah melewati pos satpam dan keluar gerbang perumahan ia dapat menaikkan kecepatan laju motornya, 60km/jam.
Kendaraan sudah mulai memadati jalan utama Rungkut Industri. Berpuluh sepeda motor ngetem di pinggir jalan. Sudah menjadi rutinitas pagi, bapak-bapak menjemput para istri mereka yang baru pulang kerja dari komplek industri terbesar di Surabaya itu. Ya, Rungkut Industri adalah sebuah area industri untuk banyak perusahaan besar. Ada perusahaan rokok, perusahaan minyak goreng, perusahaan lampu, perusahaan sabun, pasta gigi, kosmetik bahkan perusahaan alat berat terpetakan di sana.
Ribuan buruh perempuan dengan seragam khas masing-masing perusahaan tumpah ruah di sepanjang jalan Rungkut Industri. Pedagang kaki lima memanfaatkan momen ini untuk mengais rezeki. Jadilah setiap pagi ada pasar kaget.
“Kenapa harus perempuan yang bekerja, kenapa harus lelaki yang menjemput?” pertanyaan retoris Ardy melintas begitu saja di benaknya. Ketika motornya harus merayap lambat sebab jalanan menjadi macet ditingkahi para buruh yang pulang kerja.
"Eh... aku lupa... di era yang aneh macam sekarang, semuanya memang serba berbalikan. Yang mestinya di atas jadi di bawah. Yang mestinya kerja malah selonjor kaki di rumah. Yang mestinya sibuk di rumah malah jadi buruh di pabrik. Dunia memang sudah kebalik, edan" mata Ardy manatap tajam puluhan bapak-bapak yang berderet.
"Pengusaha kapitalistik memang tak punya hati. Cari amannya saja. Buruh perempuan murah upah kerjanya dan pekerjaan lebih rapih serta teliti. Lebih dari itu buruh perempuan juga mudah diarahkan. Apa yang ada di pikiran pengusaha kapitalistik memang cuma duit, untung. Menekan biaya produksi serendah-rendahnya untuk beroleh profit sebesar-besarnya. Mana pikir mereka soal tatanan sosial yang bakal timpang. Soal peran perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Soal pendidikan anak, sebodo teing". Ardy menyeringai sebal.
"Andai saja pemerintah tegas dengan para pengusaha. Menetapkan aturan kerja yang pro wanita. Membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk kaum pria. Mensubsidi setiap yang butuh modal. Mengkondusifkan suasana wirausaha. Menasionalisasi perusahaan yang semestinya dikelola Negara. Mustahil. Ini Negara demokrasi bung. Bukan negara Sosialis!" Tangan Ardy menepuk-nepuk helm yang membalut kepalanya, pura-pura bego.
"Sama saja, semuanya kebalik. Perempuan yang alaminya bertugas di rumah dan mendidik anak, malah menyerbu ranah publik. Berbondong-bondong jadi wanita karir. Lebih enjoy dengan dunia kerja. Bête dengan kerjaan rumah tangga. Nggak mau pusing sama rengekan anak-anak yang manja. Yo wes… klop deh" Ardy menelan ludah, getir.
Bayangan Tiara melintas. Ardy sungguh merasa beruntung menikahi Tiara. Tiara rela resign untuk sebuah keputusan besar. Antara jilbab dan karirnya. Dan memutuskan sama sekali tak bekerja semata mengabdi padanya. Mengurus rumah dan anaknya. Ah… pertengkaran senja itu sungguh membekas di hatinya. Ternyata memang tidak mudah menjadi ibu dan pengatur rumah tangga. Mungkin pekerjaannya di kantor tak seberat apa yang di tanggung Tiara, istrinya.
Ealah pemandangan yang ia saksikan pagi ini jadi mengingatkannya pada burung penguin. Penguin jantan selama 4 bulan bertugas mengerami telur hingga menetas. Sementara penguin betina bertugas mencari makanan di laut selama masa pengeraman. Dan pulang dengan harta karun makanan. Hehe sama ya.
“Tet teeeeeeet… tet teeeeeeet…” suara klakson bersahutan disertai omelan. Rupanya kendaraan tertahan disebabkan lyn (angkot) JTK jurusan Joyoboyo-UPN berhenti sembarangan, memasukkan penumpang. Bunyi klakson mulai mereda setelah Lyn itu merayap. Lambat.
Motor Ardy melaju lagi, melewati pos polisi, rumah sakit Royal dan berhenti lagi di traffic lamp Kendang Sari, lampu merah. Kaca penutup helm dinaikkan ke atas. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Seorang lelaki di sebelahnya sedang sibuk memencet keypad ponselnya. Lima belas detik-dua puluh detik. Lampu hijau menyala. Ardy menutup kembali kaca helm bening itu.
“Cuma 70 juta. Gajimu kan lumayan besar. Kalo sebulan bisa nabung sejuta, inikan sudah tiga tahun sejak kamu menikah, berarti paling ndak sudah ngumpul 36 juta. Nanti sisanya ibu sama bapak yang nambahi… yo pak yo…”
“Hm… nanti saya hitung dulu tabungan kami, Bu…”
“Keputusannya harus segera… nanti keburu diambil orang, pak lek mu jek (sedang) kepepet…”
Dialog tadi pagi terngiang kembali di telinga Ardy. Tabungan. Ya, Tabungan. Kenapa seolah terlupa selama ini dalam benaknya.
Padahal sewaktu lajang, Ardy memang punya tabungan. 1 juta sebulan. Dulu, ia mempercayakan uang tabungan itu kepada ibunya.
Hingga saat ia hendak melamar Tiara, uang tabungan itulah yang ia pakai. Terkumpul 20 juta. Untuk mahar dan seserahan 13 juta. Sisanya untuk modal hidup setelah menikah. Membayar kontrakan rumah dan biaya kehidupan sebelum gajian.
Setelah menikah, seluruh gaji ia serahkan ke Tiara untuk mengelolanya. Ia hanya memegang untuk kebutuhan transportasi, pulsa dan dana cadangan jika sewaktu-waktu membutuhkan. Itupun tak banyak. Setahunya, Tiara tak mengalokasikan untuk menabung. 3 tahun menikah, bukankah seharusnya sudah terkumpul 36 juta jika konsisten sebulan menabung satu juta.
“Ah, tidak mungkin… tidak mungkin Tiara mengorupsinya” Ardy menggelengkan kepala. Ia begitu percaya pada Tiara. Ia adalah istri shalehah yang tak mungkin mengambil sesuatu yang bukan haknya.
“Itu lho pak, Tiara belanja sayuran kok banyak sekali. Kayak mau hajatan saja” lagi-lagi kalimat ibunya melintas. Mungkin benar kata ibu, Tiara terlalu boros untuk belanja harian.
Mungkin pola belanja yang harus dievaluasi. Mungkin ada pos-pos belanja yang berlebih sehingga tak memungkinkan untuk menabung. Tapikan Tiara lihai sekali mengatur uang. Ia dulu bekerja sebagai akuntan sebuah perusahaan swasta.
Sebelum Haidar lahir ia sempat pusing dengan laporan keuangan Tiara setiap akhir bulan. Namun setelah Haidar lahir, kebiasaan itu tak lagi Tiara lakukan. Terlalu lelah dengan kesibukan mengurus Haidar nampaknya. Nanti malam Ardy berjanji untuk membicarakannya dengan Tiara.
Motor bersiap untuk menyebrang dari jalur utama Jemursari. Di pertigaan besar Jalan utama nasional Ahmad Yani. Lampu sign kanan telah dinyalakan. Jalanan agak padat memudahkan Ardy untuk merapat ke kanan. Semester tiga meter motornya telah bergerak mendekat ke bundaran Taman Pelangi. Tinggal satu meter lagi ia akan sampai di tikungan itu.
Namun tiba-tiba…
“BRAKKKKK!”
Sebuah motor bebek menghantam badan motor gede Ardy. Motornya terhuyung. Terseret dan menghantam pembatas jalan. Tubuhnya jatuh. Kepalanya terbentur aspal. Suara benturan helm dengan aspal berdebam keras. Kaca bening helm pecah. Kaca mata hitamnya terpelanting entah kemana. Ardy meringis menahan nyeri. Motor gedenya terbaring tiga meter darinya. Kedua rodanya berputar-putar. Juga kepalanya. Pikiranya. Dan semuanya menjadi gelap gulita.
Bersambung…