Resensi Novel Bidadari-Bidadari Surga
Ini adalah sebuah resensi yang kutulis dalam rangka belajar menulis. Jadi deh masih berantakan, acak kadut. Novel ini berjudul "Bidadari-bidadari Surga" ditulis oleh seorang novelis produktif bernama Darwis Tere Liye.
*****
Akhirnya sampai juga pada bab terakhir. Setelah 4 hari ini mencuri-curi waktu membaca sembari bermain dengan Naufa dan Naura. Mencuri-curi waktu dan minta izin pada keduanya. Kadang aku harus menutupnya paksa karena Naura berteriak-teriak agar aku berhenti mematutinya. Atau juga harus meletakkannya terbuka di antara mainan anak-anak karena Naufa minta di perhatikan atau sekedar membersihkan pup dan pipis juga ingus dan air mata pertengkaran duo eN itu.
Aku bersyukur, Ayah Naufa begitu memperhatikan kebiasaan baruku. Setelah azzamku untuk menjadi novelis parenting Islam Ideologis, beliau bersedia mengorbankan banyak hal. Termasuk membelikan berbagai buku. Novel salah satunya. Dan malam itu, malam minggu, ia pulang dengan lima buku di tangan. Salah satunya "Bidadari-Bidadari Surga" ini. Aku sungguh terharu. Makasih ya Nda… untuk semuanya…
*****
Kak Laisa. Seorang bayi yang ditinggal meninggal ibu dan ditelantarkan ayahnya. Bersyukur ada mamak tiri Lainuri yang menyayanginya sebagaimana anak sendiri. Hidup dalam serba keterbatasan tak membuatnya pupus harapan. Masa kecil yang suram menjadikannya tumbuh tak semestinya.
Sosok Kak Laisa begitu menginspirasi. Ia adalah teladan terbaik untuk ke-empat adiknya. Ada rasa tak percaya saat membuka lembaran demi lembaran kisah heroik kak Laisa. Benarkah ada perempuan seperkasa dia. Adakah di zaman ini, perempuan yang tak cengeng dan manja?
Penantiannya yang panjang akan datangnya lelaki idaman tak kunjung terkabulkan. Sekalinya ia jatuh hati, sungguh mencintai, namun ia harus terus patah hati tersebab takdir tak menghendaki. Perjodohan yang panjang dan melelahkan raga dan pikiran.
Dalimunte. Tampan, penurut, Cerdas. Bahkan di usia nya yang ke-tiga belas, ia telah punya andil besar mengubah nasib Lembah Lahambay. Ia dengan kejeniusannya, mampu memindahkan air sungai ke lembah Lahambay yang tersekat batu cadas setinggi lima meter. Lima kincir bambu hasil percobaan kecilnya menjadikan derajatnya melampaui orang dewasa. Di usia kepala tiga ia telah menjadi professor muda dunia bidang fisika.
Cerita paling romantis adalah kisah cintanya dengan Chi Hui. Gadis Tiong hoa yang menaruh rasa dan memendamnya hingga 6 tahun lamanya. Padahal Dalimunte juga punya rasa yang sama. Hanya karena sungkan dengan mitos melintas-lah yang membuat lembaran kisah cintanya mengharu biru.
Romantisme cinta kebun strawberry. Aku sangat terharu dengan bagian ini, serasa bayangan masa lalu menyambangi aku untuk yang kedua kali. Tak sanggup menahan haru. Dialah Dalimunte, adik Kak Laisa lelaki sulung di rumah panggung Mamak Lainuri.
Dua kembar identik. Ikanuri dan Wibisana. Nakal, bandel, suka usil dan jahil. Bolos sekolah adalah kebiasaan mereka. Bahkan mereka sempat menggegerkan penduduk Lembah Lahambay. Apa pasal?
Setelah menghina Kak Laisa, mereka berdua tak berani pulang ke rumah. Pasti akan kena hukum Mamak Lainuri. Keduanya memutuskan untuk minggat ke kota kecamatan. Hanya saja, jarak tempuh Lembah Lahambay ke kota kecamatan lewat rute normal 25km. Akhirnya, dua sigung nakal ini menempuh jalan pintas.
Mengambil keputusan bodoh yang mereka sesali sepanjang hidup. Terjebak di rimba belantara. Terkencing-kencing di hadapan sang siluman, tiga harimau dewasa penguasa gunung Kendeng.
Malam yang larut, senyap, bahkan derik jangkrikpun menutup mulutnya. Pilihan yang sungguh gila. Untunglah ada sang penyelamat, kak Laisa.
Heroik. Mendebarkan. Dan menjadi guyonan saat dua kembar identik ini terpaksa melintas Kak Laisa. Bang Jogar sebagai kepala kampung lembah Lahambay bermaksud membuat 3 harimau kendeng dari janur kuning sebagai bahan olok-olokan di pesta pernikahan mereka berdua yang dilangsungkan berbarengan. Sungguh menggelikan.
Ikanuri dan Wibisana bukan kembar. Usia keduanya terpaut 11 bulan. Namun sikap dan perawakan keduanya lebih kembar dari kembar identik sekalipun. Mereka menikah di hari yang sama, kalimat pinangan ke calon mertua yang sama, istri dari jalur keturunan yang sama serta punya anak yang lahir pada hari yang sama pula.
Ikanurilah yang paling menonjol. Wataknya suka mengomel, mengumpat dan bebal. Perjalanan bisnis ke Italia yang konyol. Mereka harus membatalkan pembicaraan bisnis sesaat setelah mendarat di bandara. Menempuh perjalanan dengan kereta listrik ke Perancis yang juga menguras perasaan. Longsoran tebing menghalangi mereka untuk segera pulang.
Namun, kisah di gunung Kendeng sungguh membuat jantungku berdegub kencang. Merasakan suasana yang tak terbayangkan. Itulah yang menjadikan Ikanuri begitu menyesal, tersedu bahkan menangis kencang. Dan… kekaguman keduanya pada Kak Laisa adalah kenyataan.
Yashinta. Gadis cantik yang galak. Miss. Headstone kata Goughsky. Memang ia sangat keras kepala. Keingin tahuannya tinggi. Meski harus menerobos hutan belantara sekedar melihat anak berang-berang. Sudah menjadi penakluk 27 gunung di dunia. Ke-keras-kepalaannya baru luluh setelah kepalanya terbentur tebing, jatuh bergelimpangan bagaimanalah.
Setelah pendakian di gunung Semeru ia putuskan sebelah pihak. Meski Peregrine, alap-alap kawah yang ia incar selama ini tinggal sesaat lagi terealisasi.
Jatuh. Berdebam. Pingsan hampir 20 jam. Nyaris dimakan beruang hutan kalaulah tidak dijaga seekor harimau. Entah apa jadinya gadis cantik itu. Nah kalau yang ini saya agak janggal membacanya… masih belum masuk nalar.
Mamak Lainuri, gadis desa yang dipinang duda beranak Laisa. Jadi janda setelah ditinggal pergi entah kemana oleh suaminya. Menikah untuk yang kedua kalinya dengan Babak. Sayang, ia harus kembali menjadi janda setelah babak diterkam sang Siluman.
Hidup sendirian mengurus ladang, memasak gula aren, merajut anyaman agar semuanya dapat diuangkan. Membiayai dan menghidupi lima anak bukan hal mudah untuk seorang janda miskin sepertinya. Bersyukur ada Kak Laisa. Hingga hidupnya berubah drastis setelah Kak Laisa memutuskan untuk menanam buah strawberry.
Eh, bagaimanakah kisah lembah itu berubah jadi perkebunan strawberry... seru sekali kisahnya.
Intan, Delima, Juwita adalah tokoh pendukung. Tiga sigung ini beruntung lahir dan di besarkan dalam keluarga yang berkecukupan, bahagia dan harmonis. tidak seperti masa kecil abi-abi mereka.
Dua bulan sekali mereka pulang untuk berkumpul di lembah Lahambay. Dan di sanalah dirajut kisah suka bersama Wak Laisa. Di kebun strawberry bersama Rio, hamster kesayanganya. Ketiganya tak jarang bertengkar. Soal sepele. Yah… khas anak-anak begitu lah.
Wak Burhan, Bang Jogar, Goughsky, Mr dan Mrs Yoko tak terlalu ditonjolkan. Namun peran mereka sungguh melengkapi cerita yang apik ini.
Novel ini berkisah tentang pengorbanan, perjuangan merubah nasib, kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas serta keharmonisan keluarga. Kecintaan yang sangat antara satu sama lain.
Haru, romantis, heroik. Saya terperangah dengan alur cerita yang melompat-lompat. Penulisnya mampu membawa pembaca menyusuri masa yang berbeda. Menyisir watak yang berbeda. Salut deh sama bang Tere Liye.
Air mataku tak sanggup kutahan di bagian akhir kisah ini. Aku menangis sejadinya. Bahkan memanjatkan doa untuk Kak Laisa. Semoga kesendiriannya di dunia menjadikan ia sebagai bidadari surga yang mendapat pahala berlimpah atas segala pengorbananya.
Tak ada gading yang tak retak. Begitupun novel ini, menurutku ada beberapa yang harus dikoreksi utamanya soal kronologis urutan usia. Sebagai contoh, pada bab ke 34 saat Intan Lahir, Kak Laisa usia 39 tahun. Padahal saat cerita ini dibuat klimaks Kak Laisa kalo tidak salah 43 tahun dan Intan 9 tahun. Inikan nggak klop, mestinya intan baru berusia 4 tahun dong Bang Tere.
Ada beberapa yang lain namun aku tak memerincinya satu persatu. Monggo diedit ulang Bang Tere.
Trus yang berikutnya adalah soal kekerabatan. Masih menjadi tanda tanyaku apakah Laisa dengan adik beradik (Dalimunte, Ikanuri, Wibisana) termasuk mahram? Sementara mereka lain Babak beda Mamak. Meski besar dalam lingkungan yang sama.
Sehingga adegan Laisa memeluk pinggang Dalimunte menurut aku kurang tepat. Sebab
bagaimanapun mereka bukan mahram. Ini kukemukakan, kuatir kalo pembaca kadung menilai boleh yang demikian.
Juga soal hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Bukan pacaran. Sekedar persahabatan. Bolehkah ini? Lagi-lagi saya kuatir pembaca mendapat pembenaran seperti ini dibolehkan.
Soal Yashinta yang mendaki gunung. Saat ia hanya berdua dengan Goughsky mengamati Elang Jawa. Berhamburnya Chi Hui ke pelukan Dalimunte saat di bandara.
Soal fasihnya Ikanuri membaca al-qur’an, padahal secara historis, dialah yang paling bandel kalo disuruh ngaji. Paling tidak bisa mengerem kata-kata dengan mengomel. Kalimat “SIAL” sering terlafadz lewat lisannya. Bisakah itu terjadi? Apakah orang yang fasih bacaan qur'annya mungkin punya kebiasaan tersebut?
Apakah tidak lebih realistis jika Dalimunte yang fasih? karna ia lebih penurut, rajin belajar dan justru sedang intens dengan kereligiusannya. Hingga merambah penelitian ilmiah segala.
Juga soal metode pendidikan anak-anak yang dijalani Mamak Lainuri tidak kudapatkan sepanjang cerita. Kapankah saat Mamak membacakan cerita? sementara kesan yang aku dapat justru Mamak sangat sibuk dengan ladang, gula aren, rajutan dll. Aku dapat kesimpulan itu justru dicerita akhirnya Bang Tere sebagai turis yang menceritakan kisah (nyata atau bukan ya?) ini.
‘Ala kulli hal. Aku salut sama Bang Tere Liye. Yang sangat produktif menulis. Menulis yang bermanfaat. Menulis untuk perubahan. Sebenarnya, aku ingin menjadikan Bang Tere Liye sebagai guru expertku dalam menulis novel. Aku ingin menjadi novelis parenting Islam Ideologis, Bang. Dan Bang Tere adalah salah satu yang menjadi inspiratorku.
Sampai hari ini, aku belum mendapatkan guru expert setelah kemarin mengajukan ke mas Sayf Muhammad Isa dan beliau berkeberatan. Menangislah diriku, selama masih ada waktu…
Andai saja Bang Tere mau, betapa gembiranya hatiku.
Demikianlah yang bisa kukisahkan tentang salah satu novelnya bang Tere Liye dengan judul Bidadari-Bidadari Surga. Semoga resensi ini semakin menguatkan anda untuk membacanya, dan bagiku ini adalah upaya untuk mengikat apa yang telah kubaca. Jika ada yang kurang berkenan aku minta maaaf sebesar-besarnya ya…
Oya Bang Tere, satu lagi pertanyaanku. Ngomong-ngomong Lembah Lahambay itu ada dimana ya…?
*****
Akhirnya sampai juga pada bab terakhir. Setelah 4 hari ini mencuri-curi waktu membaca sembari bermain dengan Naufa dan Naura. Mencuri-curi waktu dan minta izin pada keduanya. Kadang aku harus menutupnya paksa karena Naura berteriak-teriak agar aku berhenti mematutinya. Atau juga harus meletakkannya terbuka di antara mainan anak-anak karena Naufa minta di perhatikan atau sekedar membersihkan pup dan pipis juga ingus dan air mata pertengkaran duo eN itu.
Aku bersyukur, Ayah Naufa begitu memperhatikan kebiasaan baruku. Setelah azzamku untuk menjadi novelis parenting Islam Ideologis, beliau bersedia mengorbankan banyak hal. Termasuk membelikan berbagai buku. Novel salah satunya. Dan malam itu, malam minggu, ia pulang dengan lima buku di tangan. Salah satunya "Bidadari-Bidadari Surga" ini. Aku sungguh terharu. Makasih ya Nda… untuk semuanya…
*****
Membaca Novel Bidadari-Bidadari Surga
Gendut, gempal, pendek, matanya bulat dan besar, rambutnya berombak gimbal, kulitnya hitam, perangainya keras, pekerja keras, disiplin tinggi. Itulah Kak Laisa. Sosok kakak yang luar biasa. Rela mengorbankan segala yang ia punya, untuk adik-adiknya. Hatta berkorban nyawa. Ia rela menukar masa kecil, masa remaja, masa dewasa semua untuk kebahagiaan adik-adik yang notabene tak ada hubungan rahim dengannya, lain mamak beda babak.Kak Laisa. Seorang bayi yang ditinggal meninggal ibu dan ditelantarkan ayahnya. Bersyukur ada mamak tiri Lainuri yang menyayanginya sebagaimana anak sendiri. Hidup dalam serba keterbatasan tak membuatnya pupus harapan. Masa kecil yang suram menjadikannya tumbuh tak semestinya.
Sosok Kak Laisa begitu menginspirasi. Ia adalah teladan terbaik untuk ke-empat adiknya. Ada rasa tak percaya saat membuka lembaran demi lembaran kisah heroik kak Laisa. Benarkah ada perempuan seperkasa dia. Adakah di zaman ini, perempuan yang tak cengeng dan manja?
Penantiannya yang panjang akan datangnya lelaki idaman tak kunjung terkabulkan. Sekalinya ia jatuh hati, sungguh mencintai, namun ia harus terus patah hati tersebab takdir tak menghendaki. Perjodohan yang panjang dan melelahkan raga dan pikiran.
Dalimunte. Tampan, penurut, Cerdas. Bahkan di usia nya yang ke-tiga belas, ia telah punya andil besar mengubah nasib Lembah Lahambay. Ia dengan kejeniusannya, mampu memindahkan air sungai ke lembah Lahambay yang tersekat batu cadas setinggi lima meter. Lima kincir bambu hasil percobaan kecilnya menjadikan derajatnya melampaui orang dewasa. Di usia kepala tiga ia telah menjadi professor muda dunia bidang fisika.
Cerita paling romantis adalah kisah cintanya dengan Chi Hui. Gadis Tiong hoa yang menaruh rasa dan memendamnya hingga 6 tahun lamanya. Padahal Dalimunte juga punya rasa yang sama. Hanya karena sungkan dengan mitos melintas-lah yang membuat lembaran kisah cintanya mengharu biru.
Romantisme cinta kebun strawberry. Aku sangat terharu dengan bagian ini, serasa bayangan masa lalu menyambangi aku untuk yang kedua kali. Tak sanggup menahan haru. Dialah Dalimunte, adik Kak Laisa lelaki sulung di rumah panggung Mamak Lainuri.
Dua kembar identik. Ikanuri dan Wibisana. Nakal, bandel, suka usil dan jahil. Bolos sekolah adalah kebiasaan mereka. Bahkan mereka sempat menggegerkan penduduk Lembah Lahambay. Apa pasal?
Setelah menghina Kak Laisa, mereka berdua tak berani pulang ke rumah. Pasti akan kena hukum Mamak Lainuri. Keduanya memutuskan untuk minggat ke kota kecamatan. Hanya saja, jarak tempuh Lembah Lahambay ke kota kecamatan lewat rute normal 25km. Akhirnya, dua sigung nakal ini menempuh jalan pintas.
Mengambil keputusan bodoh yang mereka sesali sepanjang hidup. Terjebak di rimba belantara. Terkencing-kencing di hadapan sang siluman, tiga harimau dewasa penguasa gunung Kendeng.
Malam yang larut, senyap, bahkan derik jangkrikpun menutup mulutnya. Pilihan yang sungguh gila. Untunglah ada sang penyelamat, kak Laisa.
Heroik. Mendebarkan. Dan menjadi guyonan saat dua kembar identik ini terpaksa melintas Kak Laisa. Bang Jogar sebagai kepala kampung lembah Lahambay bermaksud membuat 3 harimau kendeng dari janur kuning sebagai bahan olok-olokan di pesta pernikahan mereka berdua yang dilangsungkan berbarengan. Sungguh menggelikan.
Ikanuri dan Wibisana bukan kembar. Usia keduanya terpaut 11 bulan. Namun sikap dan perawakan keduanya lebih kembar dari kembar identik sekalipun. Mereka menikah di hari yang sama, kalimat pinangan ke calon mertua yang sama, istri dari jalur keturunan yang sama serta punya anak yang lahir pada hari yang sama pula.
Ikanurilah yang paling menonjol. Wataknya suka mengomel, mengumpat dan bebal. Perjalanan bisnis ke Italia yang konyol. Mereka harus membatalkan pembicaraan bisnis sesaat setelah mendarat di bandara. Menempuh perjalanan dengan kereta listrik ke Perancis yang juga menguras perasaan. Longsoran tebing menghalangi mereka untuk segera pulang.
Namun, kisah di gunung Kendeng sungguh membuat jantungku berdegub kencang. Merasakan suasana yang tak terbayangkan. Itulah yang menjadikan Ikanuri begitu menyesal, tersedu bahkan menangis kencang. Dan… kekaguman keduanya pada Kak Laisa adalah kenyataan.
Yashinta. Gadis cantik yang galak. Miss. Headstone kata Goughsky. Memang ia sangat keras kepala. Keingin tahuannya tinggi. Meski harus menerobos hutan belantara sekedar melihat anak berang-berang. Sudah menjadi penakluk 27 gunung di dunia. Ke-keras-kepalaannya baru luluh setelah kepalanya terbentur tebing, jatuh bergelimpangan bagaimanalah.
Setelah pendakian di gunung Semeru ia putuskan sebelah pihak. Meski Peregrine, alap-alap kawah yang ia incar selama ini tinggal sesaat lagi terealisasi.
Jatuh. Berdebam. Pingsan hampir 20 jam. Nyaris dimakan beruang hutan kalaulah tidak dijaga seekor harimau. Entah apa jadinya gadis cantik itu. Nah kalau yang ini saya agak janggal membacanya… masih belum masuk nalar.
Mamak Lainuri, gadis desa yang dipinang duda beranak Laisa. Jadi janda setelah ditinggal pergi entah kemana oleh suaminya. Menikah untuk yang kedua kalinya dengan Babak. Sayang, ia harus kembali menjadi janda setelah babak diterkam sang Siluman.
Hidup sendirian mengurus ladang, memasak gula aren, merajut anyaman agar semuanya dapat diuangkan. Membiayai dan menghidupi lima anak bukan hal mudah untuk seorang janda miskin sepertinya. Bersyukur ada Kak Laisa. Hingga hidupnya berubah drastis setelah Kak Laisa memutuskan untuk menanam buah strawberry.
Eh, bagaimanakah kisah lembah itu berubah jadi perkebunan strawberry... seru sekali kisahnya.
Intan, Delima, Juwita adalah tokoh pendukung. Tiga sigung ini beruntung lahir dan di besarkan dalam keluarga yang berkecukupan, bahagia dan harmonis. tidak seperti masa kecil abi-abi mereka.
Dua bulan sekali mereka pulang untuk berkumpul di lembah Lahambay. Dan di sanalah dirajut kisah suka bersama Wak Laisa. Di kebun strawberry bersama Rio, hamster kesayanganya. Ketiganya tak jarang bertengkar. Soal sepele. Yah… khas anak-anak begitu lah.
Wak Burhan, Bang Jogar, Goughsky, Mr dan Mrs Yoko tak terlalu ditonjolkan. Namun peran mereka sungguh melengkapi cerita yang apik ini.
Novel ini berkisah tentang pengorbanan, perjuangan merubah nasib, kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas serta keharmonisan keluarga. Kecintaan yang sangat antara satu sama lain.
Haru, romantis, heroik. Saya terperangah dengan alur cerita yang melompat-lompat. Penulisnya mampu membawa pembaca menyusuri masa yang berbeda. Menyisir watak yang berbeda. Salut deh sama bang Tere Liye.
Air mataku tak sanggup kutahan di bagian akhir kisah ini. Aku menangis sejadinya. Bahkan memanjatkan doa untuk Kak Laisa. Semoga kesendiriannya di dunia menjadikan ia sebagai bidadari surga yang mendapat pahala berlimpah atas segala pengorbananya.
Tak ada gading yang tak retak. Begitupun novel ini, menurutku ada beberapa yang harus dikoreksi utamanya soal kronologis urutan usia. Sebagai contoh, pada bab ke 34 saat Intan Lahir, Kak Laisa usia 39 tahun. Padahal saat cerita ini dibuat klimaks Kak Laisa kalo tidak salah 43 tahun dan Intan 9 tahun. Inikan nggak klop, mestinya intan baru berusia 4 tahun dong Bang Tere.
Ada beberapa yang lain namun aku tak memerincinya satu persatu. Monggo diedit ulang Bang Tere.
Trus yang berikutnya adalah soal kekerabatan. Masih menjadi tanda tanyaku apakah Laisa dengan adik beradik (Dalimunte, Ikanuri, Wibisana) termasuk mahram? Sementara mereka lain Babak beda Mamak. Meski besar dalam lingkungan yang sama.
Sehingga adegan Laisa memeluk pinggang Dalimunte menurut aku kurang tepat. Sebab
bagaimanapun mereka bukan mahram. Ini kukemukakan, kuatir kalo pembaca kadung menilai boleh yang demikian.
Juga soal hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Bukan pacaran. Sekedar persahabatan. Bolehkah ini? Lagi-lagi saya kuatir pembaca mendapat pembenaran seperti ini dibolehkan.
Soal Yashinta yang mendaki gunung. Saat ia hanya berdua dengan Goughsky mengamati Elang Jawa. Berhamburnya Chi Hui ke pelukan Dalimunte saat di bandara.
Soal fasihnya Ikanuri membaca al-qur’an, padahal secara historis, dialah yang paling bandel kalo disuruh ngaji. Paling tidak bisa mengerem kata-kata dengan mengomel. Kalimat “SIAL” sering terlafadz lewat lisannya. Bisakah itu terjadi? Apakah orang yang fasih bacaan qur'annya mungkin punya kebiasaan tersebut?
Apakah tidak lebih realistis jika Dalimunte yang fasih? karna ia lebih penurut, rajin belajar dan justru sedang intens dengan kereligiusannya. Hingga merambah penelitian ilmiah segala.
Juga soal metode pendidikan anak-anak yang dijalani Mamak Lainuri tidak kudapatkan sepanjang cerita. Kapankah saat Mamak membacakan cerita? sementara kesan yang aku dapat justru Mamak sangat sibuk dengan ladang, gula aren, rajutan dll. Aku dapat kesimpulan itu justru dicerita akhirnya Bang Tere sebagai turis yang menceritakan kisah (nyata atau bukan ya?) ini.
‘Ala kulli hal. Aku salut sama Bang Tere Liye. Yang sangat produktif menulis. Menulis yang bermanfaat. Menulis untuk perubahan. Sebenarnya, aku ingin menjadikan Bang Tere Liye sebagai guru expertku dalam menulis novel. Aku ingin menjadi novelis parenting Islam Ideologis, Bang. Dan Bang Tere adalah salah satu yang menjadi inspiratorku.
Sampai hari ini, aku belum mendapatkan guru expert setelah kemarin mengajukan ke mas Sayf Muhammad Isa dan beliau berkeberatan. Menangislah diriku, selama masih ada waktu…
Andai saja Bang Tere mau, betapa gembiranya hatiku.
Demikianlah yang bisa kukisahkan tentang salah satu novelnya bang Tere Liye dengan judul Bidadari-Bidadari Surga. Semoga resensi ini semakin menguatkan anda untuk membacanya, dan bagiku ini adalah upaya untuk mengikat apa yang telah kubaca. Jika ada yang kurang berkenan aku minta maaaf sebesar-besarnya ya…
Oya Bang Tere, satu lagi pertanyaanku. Ngomong-ngomong Lembah Lahambay itu ada dimana ya…?