Orang Miskin dilarang Sakit

Orang Miskin dilarang Sakit

Ini adalah kelanjutan kisah berjudul Manager Rumah Tangga 3. Thank you for reading my blog. have a nice reading.
:)

*****

Ruang rawat Inap rumah sakit Haji tampak ramai. Enam orang pasien terbaring di bangsal masing-masing. Selang infus menjuntai layaknya belalai pastik. Mengalirkan cairan ke nadi tiap pasien. Hilir mudik petugas medis yang berganti sift jaga. Juga sanak saudara yang menyambangi kerabatnya.

Tiara duduk di kursi tunggu sebelah Ardy terbaring lemah. Setelah Ardy di bawa ke ruang ICU tadi malam. Pikirannya makin berantakan. 3 hari pasca kecelakaan itu Ardy demam. Meski begitu ia tetap menolak dibawa ke rumah sakit. Sudah di urut ke tukang urut. Kakinya yang memar bengkak. Haidar di titipkan ke Ustadzah Fadhilah. Bersyukur ia tak rewel dalam kondisi seperti ini.

Malam itu, Tiara panik. Ardy demam tinggi dan mengigau tak sadarkan diri. Suhu tubuhnya bahkan melebihi temperatur suhu kota Surabaya pada siang hari. Mungkin mencapai 42 derajat. Segera ia meminta bantuan Ustadzah Fadhilah.

Mobil Kijang tua milik Ustadz Rahmat (suami Ustadzah Fadhilah) segera membawa Ardy ke rumah sakit haji Sukolilo, Surabaya. Setelah masuk ruang gawat darurat, Ardy langsung dibawa ke ruang Marwa kelas II. Selang infus dipasang. Suhu badannya perlahan kembali normal.

Ustadzah Fadhilah pulang bersama Ustadz Rahmat membawa Haidar yang terlelap. Rentan membawa bayi ke rumah sakit seperti ini. Bisa tertular virus.

“Umi… mi… kita dimana?” Ardy menggoyang  bahu Tiara yang tertidur.

“Di rumah sakit haji, Bi…”

“Apa yang terjadi?” Tiara menceritakan apa yang terjadi semalam. “Kata dokter, abi kena infeksi. Luka memar di kaki abi yang bengkak ini disebabkan ada tulang yang retak dan bernanah. Semalam sudah dirontgen. Besok akan di operasi…”

Innalillahi wa inna ilayhi raaji’un…” mata Ardy berkaca. Setelah kecelakaan itu, Ardy memang sengaja tak mau rontgen, nanti malah keluar banyak dana pikirnya. Apalagi setelah pembicaraan mereka soal belanja keluarga. Soal tabungan yang nyaris tak ada.

Mau pakai dana siapa untuk biaya pengobatan. Sementara ia juga tak bisa mendapat tunjangan pengobatan dari perusahaan tempat ia bekerja. Setelah perdebatan panjang soal premi asuransi kesehatan. Ardy menolak membayar premi asuransi kecelakaan dan kematian. Dan perusahaan berlepas diri dari menjamin biaya pengobatan.

Seorang perawat berseragam putih-putih mengucap salam. Ia datang membawakan jatah makanan. Meletakkannya di atas meja-meja sebelah bangsal masing-masing pasien. Berlalu lagi sembari mendorong meja beroda dengan tumpukan piring kosong bekas makanan tadi malam.

“Makanlah, Abi…” Tiara menyuapkan sendok makan. “Habis makan umi mau ke apotik, mau nebus obat.”

“Haidar sama siapa, Mi?”

“Umi titipkan sama Ustadzah Fadhilah, kunci rumah juga umi kasih ke beliau. Supaya beliau bisa mengambil keperluan Haidar”

“Sudah kasih kabar ibu sama bapak?” Tiara menggeleng.

“Nanti setelah ngambil obat di apotek umi telfon ibu”



Tiara tertegun menatapi lembar tagihan resep yang harus ia tebus. Angka Rp.1.200.000 terpampang disana. Bagaimana mungkin obatnya semahal ini. Gumam hatinya.

“Gimana, Bu…” petugas apotek menyela lamunan Tiara.

“Ini… obatnya memang segini ya mba…”

“Iya bu, ini obat dengan kualitas bagus”

“Mungkin nggak ya, kalau diganti dengan yang harganya di bawah ini?”

“Bisa saja, Bu. Pake yang generik”

“Kualitasnya gimana?”

“Ya, sedikit berbeda bu… karena ada kualitas ada harga. Kalau harganya murah, kualitasnya juga sebanding, Bu” Tiara berfikir ulang untuk mengganti  obat dengan harga yang lebih murah.

“Hm… kalau gitu nggak usah diganti, Mbak.  Gimana kalau saya tebus setengah resepnya dulu, boleh?”

“Boleh, Bu… silahkan tunggu…”

Tiara kembali duduk di kursi antrian. Setelah lama berdiskusi dengan apoteker tersebut.  Matanya menatap sekeliling. Wajah-wajah semrawut yang mungkin lebih buruk lagi kondisinya. Ah… betapa mahalnya biaya pengobatan. Wajarlah ada jargon “Orang miskin dilarang sakit”.

Kapankah pemerintah bisa menyediakan fasilitas dan pelayanan kesehatan gratis. Yang semua orang bisa mengaksesnya. Yang semua orang diperlakukan sama.

“Pak Ardy Gunung Anyar!”

Suara petugas berdengking keras lewat mikrofon. Tiara berjalan. Mengeluarkan ampop panjang bertulis ‘sewa rumah’ dari tasnya. Mengeluarkan uang pecahan 50 ribuan sebanyak 12 lembar. Kali ini idealismenya untuk tak memakai uang tersebut luluh. Tak ada cadangan uang yang lain kecuali uang itu. Tiara segera bergegas ke ruang perawatan Ardy. Membawa obat yang baru saja ia tebus.


Pak Bahar dan Bu Prapti tergesa memasuki lorong rumah sakit Haji. Tak dihiraukan pandangan orang-orang yang ada di sekitar mereka yang tertegun dengan ketergesaan mereka berdua. Menuju ke ruang Marwa di lantai 3.

Setelah sms Tiara pagi itu. “Aslm, bu… Mas Ardy masuk rumah sakit semalam. Sekarang dirawat di ruang marwa kelas II no. 3. wslm”

“Ardy…!” bu Prapti berhambur ke bangsal Ardy. Memeluk anak lelakinya yang terbaring tak berdaya. Air matanya tumpah. Suaranya sesengukan. Pak Bahar mencoba menenangkan  dengan mengusap bahu bu Prapti. Tiara beranjak berdiri dari duduknya. Mempersilahkan ibu mertuanya duduk di sebelah Ardy.

“Kapan kejadiannya, Le…”

“3 hari yang lalu, Bu…” Tiara menjawab lembut.

“Lho kok baru sekarang di kasih tahu tho, Nduk…”

“Ardy yang minta Tiara untuk tidak kasih tahu ibu. Ardy kira, baik-baik saja seperti kata dokter di puskesmas tempo hari. Ternyata ada tulang yang retak, sampai infeksi”

“Oalah, Le… Le…” Tangis bu Prapti belum kunjung reda.

“Besok  mas Ardy di operasi, Bu…”

“Kenapa ndak sekarang?”

“Menunggu dokter spesialis tulang bu… Beliau sedang di Jakarta”



Barang-barang telah di kemas. Bersiap untuk pulang. Ardy telah duduk di kursi roda dengan kaki kanan yang digips. Tiara menunduk dalam. Wajahnya terpekur. Berkas-berkas administrasi yang harus ia bayar lunas ada di tangan kanannya.

“Gimana, Mi?”

“Uang kita nggak cukup, Abi…” Tiara menyodorkan berkas-berkas itu. “Total yang harus dibayar Rp. 7.875.000. uang sewa rumah yang kita pakai tinggal Rp.2.500.000” Tiara menghela nafas panjang.

“Apa tidak sebaiknya kita bilang ke ibu, pinjam uang beliau” Usul Tiara…

“Nggak mungkin, Mi… Mereka pasti berpikiran bahwa biaya pengobatan ditanggung perusahaan. Pasti akan ada perdebatan lagi soal asuransi, abi capek. Kita bahkan belum menjelaskan tentang tabungan yang beliau pertanyakan seminggu yang lalu untuk beli tanah.” mereka berdua terpekur. Memikirkan solusi terbaik. Ini memang salah mereka. Kenapa tak terbuka dengan orang tua sendiri. Kenapa pula tak dijelaskan soal bathil (rusak)nya asuransi kecelakaan dan kematian jauh-jauh hari sebelum kejadian ini terjadi.

“Hm... Kalau pinjam Ustadzah Fadhilah, kira-kira gimana menurut, Umi…”

“Sungkan, Bi… kecuali kalau abi yang bilang ke Ustadz Rahmat. Dan ada kejelasan kapan kita akan membayarnya”

“Baiklah, Abi akan coba hubungi ustadz Rahmat. Semoga ada jalan keluar”

Setengah jam kemudian. Ardy terpekur lagi. Menggeleng. Memandang Hampa pada jendela.

“Ustadz Rahmat nggak bisa bantu, beliau tak punya dana sebanyak itu”


Bersambung ke Hutang Pertama

Related

Menulis 4018006996650913332

Post a Comment

emo-but-icon

Tulisan Unggulan

Sebulan Bisa Hafal Satu Juz?

Hafalan Al-Qur'an Yuuuk Saya memulai jadwal tahfidz harian ba'da shubuh. Saat suasana masih sangat tenang, Goma masih lelap ...

Catatan Terbaru

item