Manajer Rumah Tangga (Part 3)

Manajer Rumah Tangga (Part 3)

Kelanjutan dari kisah berjudul Manajer Rumah Tangga (Part 2). Baca dulu kisah sebelumnya, baru nyambungnya pas. Thanks for reading :)

*****

“Protein paling banyak di konsumsi Haidar. Karna ia masih dalam proses tumbuh kembang. Butuh banyak nutrisi untuk otaknya. Agar ia cerdas. Sementara untuk kita, tak menjadi proioritas. Kita justru harus banyak mengurangi konsumsi protein. Yang kita butuhkan lebih banyak adalah serat dalam sayuran dan buah-buahan”

“Hm… ya ya ya”

“Camilan anggarannya Rp. 10.000? Haidar kan masih bayi, masak camilannya semahal ini, Mi?”

“Umi tak membiasakan Haidar nyemil camilan instan, Bi… kayak biscuit, wafer, coklat, ice cream dan lain-lain kecuali jarang sekali. Karena itu semua tak baik untuk kesehatannya. Nah, untuk camilan umi buat sendiri. Seperti agar-agar, bolu kukus, bubur singkong, bubur sum-sum,  winko babat, pudding. Memang modalnya lebih besar jika buat sendiri. Tapi sekali lagi, ini untuk kesehatannya.

“Besar sekali ya pengeluaran harian kita… bahkan paling besar dari kebutuhan yang lain. Apakah tidak memungkinkan untuk mengurangi anggarannya, Mi?” Ardy menarik nafas panjang. Andai anggaran ini bisa di pangkas Rp. 500.000 tentu itu adalah kabar baik. Karena paling tidak mereka bisa menabung sejumlah itu tiap bulan.

“Sebenarnya, bisa di pangkas… kalau kita beli makanan matang, beli camilan matang”

“Kenapa tidak kita coba?”

“Tapi itu resikonya besar, Bi... Kita harus menggadaikan masa depan kesehatan kita”

“Separah itukah?”

“Ya…” Tiara mengangguk yakin.

“Pertama, dari aspek kehalalan”

“Kan kita bisa cari pedagang muslim, Mi…”

“Orang Islam sekarang kan banyak yang nggak care sama standar halal-haram, Bi… pernah umi denger celetukan pedagang—“Mbak, jaman sekarang yang haram aja susah apalagi yang halal”

“Iya sih, memang. Bahkan banyak pedagang muslim yang nggak shalat, nggak menutup aurat. Kalo untuk urusan ibadah mahdhoh saja mereka nggak peduli, gimana dengan makanan” Ardy berfikir.

“Nah, itu dia. Kalo lah masih ada yang idealis. Nggak mau ngolah yang haram-haram. Lagi-lagi mereka terbentur kejahatan yang terorganisir”

“Maksudnya?”

“Banyak pedagang daging yang jual daging oplosan, campuran daging sapi dan babi. Ada juga yang tega jual ayam tiren (mati kemaren-bangkai)”

“Iiiih, serem amat ya?”

“Pedagang makanan yang nggak tahu cara membedakan hal-hal tadi ya tetap beli, apalagi kalo sudah jadi langganan. Nah, kalo kita beli matang kita kan nggak tahu asal usulnya?”

“Betul-betul-betul…” Ardy manggut-manggut.

“Bahkan, ada yang lebih parah lho, Bi… Tikus got diolah jadi seperti ayam bakar”

“Huek…” Ardy menutup mulutnya. Mual dengan cerita Tiara.

“Tatanan kehidupan kita memang sudah amburadul. Yang jadi standar bukan lagi halal haram. Tapi untung yang banyak. Peduli amat sama konsumen yang dirugikan”

“Kemaren umi baca di buletine, bahwa banyak perusahaan memalsukan logo halal MUI. Dan MUI tak bisa memberi sangsi apapun. Gimana coba?”

“Negeri ini sudah auto pilot, nggak ada pihak yang mengayomi, melindungi masyarakat”

“Susah memang cari pedagang makanan yang idealis dengan standar halal-haram, tapi pasti ada. Pasti ada, Umi…”

“Okelah misalnya kita sudah ketemu pedagang yang perhatian dengan standar halal. Poin kedua yang harus diperhatikan adalah kethayyiban”

“Soal kebersihan maksudnya?”

“Bukan cuma itu, Bi… thayyib juga bicara soal kandungan gizi, proses pengolahan, zat-zat berbahaya dan lain-lain…”

“Kalo untuk mengukur standar bersih tidaknya kan gampang, Mi… lihat saja etalase jualan nya. Bersih atau kotor. Ada lalat atau tidak…”

“Itukan hasil akhirnya, Bi… kita kan nggak tahu di balik layarnya. Banyak penjual makanan yang karena mungkin tingkat pendidikan yang rendah, tak memahami pentingnya kebersihan makanan yang ia olah. Misalnya. Ada survey tentang perilaku cuci tangan para pedagang makanan. Survey itu adalah seputar apakah mereka mencuci tangan setelah buang air besar? 90% mengatakan tak mencucinya. Padahal, tidak mencuci tangan setelah buang air besar berdampak besar pada penularan cacing dari tinja kepada makanan yang ia jual”

"Cacingan tidak hanya diderita anak kecil lho, Bi... orang dewasapun rentan terkena. dan kalo kita sudah terinfeksi cacing, apalagi cacing yang berbahaya, kita bisa kena malnutrisi. karena nutrisi yang kita makan diserap cacing"

“Iihh ngeri sekali ya…”

“Bicara soal cara pengolahan makanan. Rata-rata pedagang makanan tidak ambil pusing bagaimana mengolah makanan terutama sayur mayur. Mereka mencuci sayuran setelah dipotong-potong. Padahal itu akan menghilangkan sebagian zat penting dalam sayur. Terutama sayuran yang bisa larut dalam air. Juga soal lamanya perebusan sayuran. Sayuran hijau tak boleh direbus lebih dari 15 menit dengan suhu diatas 70 derajat. Padahal faktanya, sayur matang yang dijual pedagang biasanya sudah berubah warna menjadi kecoklatan saking lamanya direbus. Sayuran hijau juga tak boleh dikonsumsi setelah 6 jam berlalu. Padahal, banyak pedagang justru tak tahu informasi ini atau mereka malah tak mau tahu. Menurut Dr. Hiromi Shinya sayur seperti itu telah berubah menjadi sampah. Kita tidak mendapatkan manfaat apapun mengkonsumsinya”

“Belum lagi penggunaan zat-zat berbahaya. Penyedap rasa, pengawet, pemanis buatan. Juga penggunaan air PDAM untuk memasak. Tambah ngeri ketika ketemu fakta penggunaan minyak goreng limbah. Karena ingin menekan biaya produksi. Penggunaan minyak goreng berulang saja bisa berbahaya buat tubuh apalagi penggunaan minyak limbah. Kita sama sekali tak dapat mengontrol itu semua jika menyerahkan persoalan makanan ini pada orang lain, Bi... Benarlah kata dr. Hendrawan Nadesul sehat itu ada di dapurmu bukan di restoran mewah.” Ardy sekali lagi mengangguk-angguk.

“Nah, akumulasi pola konsumsi yang tak sehat inilah yang akan membuat kesehatan kita menurun dari waktu ke waktu. Hingga banyak penyakit degenerative yang tertimbun di badan kita”

“Murah memang, tapi masa depan kesehatan kita sungguh akan tergadaikan…”

“Ya, setelah mendengar penjelasan umi, abi setuju. Kita memang tak bisa menggadaikan masa depan kesehatan kita hanya dengan alasan penghematan, tak akan...”

Ardy terbengong mendengar penjelasan Tiara. Benar juga gumam hatinya.  Total pengeluaran Rp. 3.915.000,-

Tiara beranjak mengambil tas hijau agak besar. Menyerahkan ke Ardy. “Ini tabungan kita. Sisa penghasilan abi setelah di keluarkan untuk belanja” Ardy membuka resletting nya. Tampak pecahan ribuan, dua ribuan, lima ribuan berjubel di dalamnya.

“Jelas ini tak sampai 36 juta, Abi. Karena sebagian sudah umi infakkan. Maaf tanpa sepengetahuan abi…” Tiara menunduk.

Ardy memeluk Tiara. Matanya berkaca. “Terimakasih telah menjadi manager yang baik untuk rumah tangga kita. Terima kasih… “ bisiknya lembut ke telinga Tiara. “Maafkan abi, telah berburuk sangka...” Persoalannya, bukan pada Tabungan rumah. Tapi komunikasi antara kita.

Dua insan itupun berpelukan. Tak peduli rasa ngilu di kaki. Ardy melupakannya. Betapa ia bersyukur, mendapat hadiah bidadari surga.

*****

bersambung...

Kita butuh keterbukaan. Agar selalu terjaga keharmonisan. Dan menjauhkan kita dari dugaan. Yang hanya menyisakan retaknya hubungan. Cinta itu memahami. Cinta itu berbagi. Cinta itu mengerti. Dan cinta bukan mendominasi.

Menjadi suami atau istri yang baik tak akan datang tiba-tiba. Butuh proses. Proses belajar menjadi lebih baik dari saat ke saat. Bukan lebih baik dari orang lain. Namun, lebih baik kualitas diri. Selalu berproses menjadi lebih baik. Masa lalumu adalah kenangan, masa depanmu adalah impian dan masa sekarangmu adalah kenyataan. Terus berbenah adalah jawaban. Atas pertanyaan kegelisahan. Atau juga kegalauan. Juga atas sangkaan atas pasangan.

Related

Menulis 6496094680550447601

Post a Comment

emo-but-icon

Tulisan Unggulan

Sebulan Bisa Hafal Satu Juz?

Hafalan Al-Qur'an Yuuuk Saya memulai jadwal tahfidz harian ba'da shubuh. Saat suasana masih sangat tenang, Goma masih lelap ...

Catatan Terbaru

item