Manajer Rumah Tangga
Ini adalah kelanjutan kisah sebelumnya berjudul Musibah. ada baiknya anda membaca kisah sebelumnya, agar ceritanya tak tersambung di tengah jalan. hehe... Selamat Menikmati :)
*****
Siang yang panas. Suhunya hampir 35 derajat. Debu beterbangan. Mentari yang menyengat. Bersiap terpanggang jika memilih di luar rumah. Kecuali untuk yang sudah menyiapkan berbagai antisipasi. Siap gerah jika memilih di dalam rumah. Kecuali rumah-rumah yang telah terfasilitasi dengan pendingin ruangan (AC). Itulah Surabaya. Kota Pahlawan dengan berbagai keistimewan.
Biasanya… siang-siang begini, Tiara duduk manis di teras depan rumahnya. Menikmati sepoi-sepoi angin yang menggugurkan daun seri. Satu-dua. Sambil membaca majalah, atau buletin, atau buku. Menyeruput es teh yang ia buat sendiri. Memanfaatkan waktu tidur siang Haidar untuk menyegarkan pikiran dengan manfaat bacaan.
Namun, siang yang panas kali ini justru diliputi mendung kesedihan. Tiara duduk di sebelah Ardy yang tengah terbaring. Mendengarkan baik-baik cerita Ardy yang meringis kesakitan. Haidar sudah pulas tidur siang.
“Kok Bisa lho, Bi…” Tiara meluruskan kaki Ardy.
“Entahlah… ini adalah Qodho dari Allah. Kita tak bisa menilai apakah ini baik atau buruk berdasarkan hawa nafsu kita. Pasti Allah punya rencana terbaik untuk kita, Mi…” Ardy tersenyum. Perih. Kepalanya masih pusing. Kakinya yang di perban ngilu luar biasa.
“Apakah tidak sebaiknya kita periksa ke rumah sakit, Bi… rontgen. Kuatir kalau ada apa-apa…”
“Nggak usah, kata dokter di puskesmas tadi. Abi baik-baik saja…”
“Atau diurut sama tukang pijat ya… biasanya kalo ada yang kecelakaan atau jatuh langsung diurut”
“Nggak usah, Umi… jangan terlalu khawatir. Semuanya baik-baik saja”
“Sudah kasih tahu kantor, kalo abi tidak masuk hari ini?”
“Belum, belum sempat…”
“Ponsel dimana?”
“Coba lihat di tas abi… Tolong smskan David, agar mengurus perizinan”
“Ya sudah, istirahatlah, Abi…”
*****
Malam telah menjelang. Menggantikan siang. menyuarakan ketenangan. Melerai kelelahan. berceloteh tentang nyanyian penantian. Saat fajar surya mengintip mesra di balik tirai alam.
Pukul 22.05. Detak jam terdengar berirama. Ardy bangun dari pembaringan. Mematut-matut kaki yang terbungkus perban. Berjalan pincang menuju ruang makan. Perutnya meliuk. Berderik-derik kosong.
Sebenarnya tak kuasa ia membangunkan Tiara. Rasanya tak tega. Gurat kelelahan nyata tergambar di wajahnya. Namun Ardy membutuhkan bantuan Tiara. Perutnya lapar dan ia tak menemukan apapun di meja makan. Padahal, setelah shalat isya tadi Tiara mengajaknya makan. Mungkin Tiara menyimpannya di tempat lain.
“Mi… umi… bangun, Mi…” Jemari Ardi menggoyang-goyang bahu Tiara. Lembut. Ditatapnya Tiara lamat-lamat.
“Mi… Umi… bangun, Mi… abi lapar…” Tiara terbangun. Duduk dan mengucek matanya.
“Oh iya, Iya…” keduanya beranjak ke ruang makan. Tiara menyalakan lampu ruang makan, mengelap hamparan meja makan. Mengeluarkan tumis pok coy dan dadar telur dari bagian atas rak piring. Meletakkannya di meja makan. Lalu mengambil piring dan sendok menyendokkan nasi dari dalam penanak nasi listrik. Duduk menyebelahi Ardy. Tangannya berhitung.
“Sekarang jam berapa, Abi…”
“Jam 22.10. Kenapa?”
“Tadikan umi numis pok coy ini jam 19.00 sekarang jam 22.10 berarti baru 3 jam 10 menit. Sayur ini masih bagus. Bisa dikonsumsi, Bi…” Ardy menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Tak habis fikir ia dengan kebiasaan istrinya yang rumit. Sampai sedetail itukah urusan seorang pengatur rumah tangga.
“Sayuran hijau hanya bisa bertahan 6 jam setelah dimasak, Abi. Setelahnya tak boleh lagi dikonsumsi karena sudah berubah struktur kandungannya. Tak boleh pula di hangatkan, nanti malah jadi rusak. Alih-alih mendapat kandungan gizi yang mencukupi kita malah akan melahap sampah yang justru merusak kesehatan kita” Tiara menjelaskan panjang lebar. Ardy hanya mengangguk. Baginya penjelasan Tiara tak perlu di pertanyakan lagi. Kegemaran Tiara membaca buku-buku kesehatan berbuah super ketat soal urusan makanan.
“Makanlah, Abi..." Tiara menyodorkan piring ke hadapan Ardy. "Hm... Mau disuap?” Tiara tersenyum. Kali ini senyum Ardy mengembang. Mengiyakan dengan segenap keinginan.
“Umi… kira-kira berapa ya tabungan kita?” Ardy bertanya di sela-sela mengunyah makanan.
“Nggak tahu, belum dihitung” Tiara menyuapkan suapan terakhir.
“Kira-kira ada 36 juta nggak ya…” intonasi kalimat Ardy agak melambat dan bernada sedikit bercanda. Tiara memandang Ardy. Menggeleng.
“Gaji Abi kan 4juta perbulan. Dulu, waktu kita belum menikah. Abi selalu menyisakan 1 juta untuk tabungan. Abi titipin ibu. Itulah sebabnya, tadi pagi ibu bilang soal tanahnya lek Woto, berharap kebiasaan menabung itu dilanjutkan setelah menikah” Tiara menarik nafas panjang. Masih terngiang obrolannya dengan ibu mertua tadi pagi. Soal tanah. Soal tabungan. Soal belanja. Soal pemborosan.
Tiara beranjak ke dalam kamar. Mengambil sebuah buku catatan. Di dalamnya amplop-amplop panjang berjajar. Ada beberapa. Barang lima atau enam. Tiara kembali duduk menyebelahi Ardy. Membuka catatannya dan mulai presentasi.
bersambung ke Manajer Rumah Tangga 2
*****
Siang yang panas. Suhunya hampir 35 derajat. Debu beterbangan. Mentari yang menyengat. Bersiap terpanggang jika memilih di luar rumah. Kecuali untuk yang sudah menyiapkan berbagai antisipasi. Siap gerah jika memilih di dalam rumah. Kecuali rumah-rumah yang telah terfasilitasi dengan pendingin ruangan (AC). Itulah Surabaya. Kota Pahlawan dengan berbagai keistimewan.
Biasanya… siang-siang begini, Tiara duduk manis di teras depan rumahnya. Menikmati sepoi-sepoi angin yang menggugurkan daun seri. Satu-dua. Sambil membaca majalah, atau buletin, atau buku. Menyeruput es teh yang ia buat sendiri. Memanfaatkan waktu tidur siang Haidar untuk menyegarkan pikiran dengan manfaat bacaan.
Namun, siang yang panas kali ini justru diliputi mendung kesedihan. Tiara duduk di sebelah Ardy yang tengah terbaring. Mendengarkan baik-baik cerita Ardy yang meringis kesakitan. Haidar sudah pulas tidur siang.
“Kok Bisa lho, Bi…” Tiara meluruskan kaki Ardy.
“Entahlah… ini adalah Qodho dari Allah. Kita tak bisa menilai apakah ini baik atau buruk berdasarkan hawa nafsu kita. Pasti Allah punya rencana terbaik untuk kita, Mi…” Ardy tersenyum. Perih. Kepalanya masih pusing. Kakinya yang di perban ngilu luar biasa.
“Apakah tidak sebaiknya kita periksa ke rumah sakit, Bi… rontgen. Kuatir kalau ada apa-apa…”
“Nggak usah, kata dokter di puskesmas tadi. Abi baik-baik saja…”
“Atau diurut sama tukang pijat ya… biasanya kalo ada yang kecelakaan atau jatuh langsung diurut”
“Nggak usah, Umi… jangan terlalu khawatir. Semuanya baik-baik saja”
“Sudah kasih tahu kantor, kalo abi tidak masuk hari ini?”
“Belum, belum sempat…”
“Ponsel dimana?”
“Coba lihat di tas abi… Tolong smskan David, agar mengurus perizinan”
“Ya sudah, istirahatlah, Abi…”
*****
Malam telah menjelang. Menggantikan siang. menyuarakan ketenangan. Melerai kelelahan. berceloteh tentang nyanyian penantian. Saat fajar surya mengintip mesra di balik tirai alam.
Pukul 22.05. Detak jam terdengar berirama. Ardy bangun dari pembaringan. Mematut-matut kaki yang terbungkus perban. Berjalan pincang menuju ruang makan. Perutnya meliuk. Berderik-derik kosong.
Sebenarnya tak kuasa ia membangunkan Tiara. Rasanya tak tega. Gurat kelelahan nyata tergambar di wajahnya. Namun Ardy membutuhkan bantuan Tiara. Perutnya lapar dan ia tak menemukan apapun di meja makan. Padahal, setelah shalat isya tadi Tiara mengajaknya makan. Mungkin Tiara menyimpannya di tempat lain.
“Mi… umi… bangun, Mi…” Jemari Ardi menggoyang-goyang bahu Tiara. Lembut. Ditatapnya Tiara lamat-lamat.
“Mi… Umi… bangun, Mi… abi lapar…” Tiara terbangun. Duduk dan mengucek matanya.
“Oh iya, Iya…” keduanya beranjak ke ruang makan. Tiara menyalakan lampu ruang makan, mengelap hamparan meja makan. Mengeluarkan tumis pok coy dan dadar telur dari bagian atas rak piring. Meletakkannya di meja makan. Lalu mengambil piring dan sendok menyendokkan nasi dari dalam penanak nasi listrik. Duduk menyebelahi Ardy. Tangannya berhitung.
“Sekarang jam berapa, Abi…”
“Jam 22.10. Kenapa?”
“Tadikan umi numis pok coy ini jam 19.00 sekarang jam 22.10 berarti baru 3 jam 10 menit. Sayur ini masih bagus. Bisa dikonsumsi, Bi…” Ardy menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Tak habis fikir ia dengan kebiasaan istrinya yang rumit. Sampai sedetail itukah urusan seorang pengatur rumah tangga.
“Sayuran hijau hanya bisa bertahan 6 jam setelah dimasak, Abi. Setelahnya tak boleh lagi dikonsumsi karena sudah berubah struktur kandungannya. Tak boleh pula di hangatkan, nanti malah jadi rusak. Alih-alih mendapat kandungan gizi yang mencukupi kita malah akan melahap sampah yang justru merusak kesehatan kita” Tiara menjelaskan panjang lebar. Ardy hanya mengangguk. Baginya penjelasan Tiara tak perlu di pertanyakan lagi. Kegemaran Tiara membaca buku-buku kesehatan berbuah super ketat soal urusan makanan.
“Makanlah, Abi..." Tiara menyodorkan piring ke hadapan Ardy. "Hm... Mau disuap?” Tiara tersenyum. Kali ini senyum Ardy mengembang. Mengiyakan dengan segenap keinginan.
“Umi… kira-kira berapa ya tabungan kita?” Ardy bertanya di sela-sela mengunyah makanan.
“Nggak tahu, belum dihitung” Tiara menyuapkan suapan terakhir.
“Kira-kira ada 36 juta nggak ya…” intonasi kalimat Ardy agak melambat dan bernada sedikit bercanda. Tiara memandang Ardy. Menggeleng.
“Gaji Abi kan 4juta perbulan. Dulu, waktu kita belum menikah. Abi selalu menyisakan 1 juta untuk tabungan. Abi titipin ibu. Itulah sebabnya, tadi pagi ibu bilang soal tanahnya lek Woto, berharap kebiasaan menabung itu dilanjutkan setelah menikah” Tiara menarik nafas panjang. Masih terngiang obrolannya dengan ibu mertua tadi pagi. Soal tanah. Soal tabungan. Soal belanja. Soal pemborosan.
Tiara beranjak ke dalam kamar. Mengambil sebuah buku catatan. Di dalamnya amplop-amplop panjang berjajar. Ada beberapa. Barang lima atau enam. Tiara kembali duduk menyebelahi Ardy. Membuka catatannya dan mulai presentasi.
bersambung ke Manajer Rumah Tangga 2