Gayung
“Tiara, Ibu mau kerumah sore ini…”
“Jam berapa, Bu…?”
“Insya Allah menunggu Bapak pulang kerja, sekitar jam 4 sore an”
“Minep, Bu?
“Enggak, cuma mau mampir, kangen sama Haidar”
“I-iya, Bu…”
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam”
Air muka tiara berubah. Dilihatnya jam dinding yang bergelantung di atas dipan. Jarum panjang tepat menunjuk ke angka 2 sementara jarum pendek menunjuk ke angka 8. Pukul 14.40. Tiara punya waktu kira-kira 1 jam 20 menit untuk membereskan semuanya. Mustahil. Bagaimana mungkin.
Buku-buku bertaburan di ruang tamu. Berbaur dengan mainan Haidar. Ada bau pesing yang semerbak mewangikan ruang tamu mungil itu. Karpet hijau yang membentang nyaris memenuhi lantai ruangan tampak sedikit basah. Tak jauh berbeda. Ruang makanpun sama. Piring bertumpang tindih. Gelas berjajar serabutan. Botol dot yang belum sempat di cuci.
“Ya Allaaaah… gimana nih cara membereskannya dalam waktu singkat” Keluh tiara dalam hati. Ia pandangi Haidar yang tengah terlelap dalam tidur siangnya. “Duh gustiiii… enaknya jadi anak kecil, gak punya masalah kayak orang tua” gerutu Tiara.
Ia kembali melangkahkan kaki ke dapur. Wajan dan panci duduk manis diatas tungku kompor gas. Blender pencincang daging bahkan masih terpasang erat diatas mesin penggiling. Sampah pun ikut berdemo di ujung jalan keluar. Bau tak sedap keluar dari onggokan sampah karena sudah 3 hari tak direlokasi.
“Begini saja, Ibu kan gak minep cuma jenguk Haidar, semua barang-barang yang kotor ditumpuk dalam kamar mandi saja”
“Ahaa… ide yang bagus” pikirnya.
“Tapi bukankah kamar mandi pun sudah penuh dengan tumpukan pakaian yang belum tercuci sejak kemarin” keluhnya.
“Iya sih, ditumpuk yang rapi lah Tiara” jemarinya menepuk keningnya sendiri berkali-kali. Tiara segera bergegas ke ruang tamu. Menggulung karpet hijau yang pesing kena ompol haidar. Tiara berhenti menggulung. Sejenak ia berfikir.
“Nanti ibu duduk dimana?”
“Duduk di kursi makan saja”.
Karpet bau itu segera menempati pojok kamar. Bersandar di sebelah dipan tidurnya.
“Oalaaah nasib-nasib. Beginilah kalau nggak ada pembantu” lagi-lagi ia menggerutu. Mainan haidar yang berserak dikumpulkan dengan sapu. Dimasukkan sebuah kantung kresek besar. Dan segera menemani gulungan karpet di kamar tidur. Buku-buku juga bernasib sama menyusul mainan Haidar.
“Braaaaaaaaak…”
Tumpukan buku di tangan Tiara jatuh berserak. Menimbulkan suara yang cukup berisik. Haidar terkaget. Seketika tangisnya pecah. Bocah usia 15bulan itu menangis sekencang-kencangnya. Tiara buru-buru menenangkan Haidar.
“Ssssst… cup-cup-cup” Haidar baru bisa tenang setelah disusui. Sembari menyusui haidar, mata Tiara menoleh kea rah jam dinding. Ia pun terbelalak melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 15.35.
“Innalillahi…” Tiara segera memencet hidung Haidar agar ia segera melepaskan susuannya. Haidarpun menangis lagi, kali ini lebih keras dan kencang.
“Huaaaaaaaaaa…” namun Tiara tak memedulikan tangisan itu. Ia terus berkemas. Membereskan semua perabot makan yang kotor dan menumpuknya dalam kamar mandi. Begitupun perabot masak. Ia segera melap dan menyapu lantai sesegera mungkin.
Kini ruangan sudah lumayan bersih. Meski masih lengket karena Tiara belum sempat mengepel. Tangis Haidar semakin menjadi. Tubuhnya bergerak-gerak di atas dipan. Haidar memang sudah bisa berjalan tertatih. Namun untuk turun sendiri dari dipan setinggi 90cm itu, ia belum berani. Sementara Tiara terus membereskan segala perabot kotor yang bisa ditumpuk di kamar mandi.
“Huffff… akhirnya selesai juga” senyum tiara mengembang.
Segera ia beranjak masuk kamar tidur bermaksud mengamit Haidar. Rupanya Haidar Buang air besar.
“Oalah lee… maafkan umi ya… sini, umi bereskan… sebentar lagi Uti datang” Tiara bergegas ke kamar mandi. Hatinya terhenyak. Bagaimana mau membersihkan Haidar kamar mandi ini penuh sesak dengan barang-barang kotor. Mata tiara mencari-cari satu benda. Gayung.
“Gayungnya dimana ya…?”
“Oooo… itu dia” segera tiara menarik gayung yang terselip diantara tumpukan wajan, panci, piring, blender, sendok dan gelas.
“Tok… tok… tok… Assalamu’alaikum” suara pintu rumah diketuk dari luar.
“Tidak salah lagi, itu pasti Ibu...” Tiara segera menarik gayung yang tumpang tindih dengan perabot lain.
“Krompyaang… ” wajan berhambur keluar kamar mandi, menyusul panci dan barang barang lain.
Wajah Tiara pucat. Tubuhnya lemas. Ia terduduk di sebelah Haidar dengan kotoran BAB yang bercecer dan segenap perabot kotor.
“Jam berapa, Bu…?”
“Insya Allah menunggu Bapak pulang kerja, sekitar jam 4 sore an”
“Minep, Bu?
“Enggak, cuma mau mampir, kangen sama Haidar”
“I-iya, Bu…”
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam”
Air muka tiara berubah. Dilihatnya jam dinding yang bergelantung di atas dipan. Jarum panjang tepat menunjuk ke angka 2 sementara jarum pendek menunjuk ke angka 8. Pukul 14.40. Tiara punya waktu kira-kira 1 jam 20 menit untuk membereskan semuanya. Mustahil. Bagaimana mungkin.
Buku-buku bertaburan di ruang tamu. Berbaur dengan mainan Haidar. Ada bau pesing yang semerbak mewangikan ruang tamu mungil itu. Karpet hijau yang membentang nyaris memenuhi lantai ruangan tampak sedikit basah. Tak jauh berbeda. Ruang makanpun sama. Piring bertumpang tindih. Gelas berjajar serabutan. Botol dot yang belum sempat di cuci.
“Ya Allaaaah… gimana nih cara membereskannya dalam waktu singkat” Keluh tiara dalam hati. Ia pandangi Haidar yang tengah terlelap dalam tidur siangnya. “Duh gustiiii… enaknya jadi anak kecil, gak punya masalah kayak orang tua” gerutu Tiara.
Ia kembali melangkahkan kaki ke dapur. Wajan dan panci duduk manis diatas tungku kompor gas. Blender pencincang daging bahkan masih terpasang erat diatas mesin penggiling. Sampah pun ikut berdemo di ujung jalan keluar. Bau tak sedap keluar dari onggokan sampah karena sudah 3 hari tak direlokasi.
“Begini saja, Ibu kan gak minep cuma jenguk Haidar, semua barang-barang yang kotor ditumpuk dalam kamar mandi saja”
“Ahaa… ide yang bagus” pikirnya.
“Tapi bukankah kamar mandi pun sudah penuh dengan tumpukan pakaian yang belum tercuci sejak kemarin” keluhnya.
“Iya sih, ditumpuk yang rapi lah Tiara” jemarinya menepuk keningnya sendiri berkali-kali. Tiara segera bergegas ke ruang tamu. Menggulung karpet hijau yang pesing kena ompol haidar. Tiara berhenti menggulung. Sejenak ia berfikir.
“Nanti ibu duduk dimana?”
“Duduk di kursi makan saja”.
Karpet bau itu segera menempati pojok kamar. Bersandar di sebelah dipan tidurnya.
“Oalaaah nasib-nasib. Beginilah kalau nggak ada pembantu” lagi-lagi ia menggerutu. Mainan haidar yang berserak dikumpulkan dengan sapu. Dimasukkan sebuah kantung kresek besar. Dan segera menemani gulungan karpet di kamar tidur. Buku-buku juga bernasib sama menyusul mainan Haidar.
“Braaaaaaaaak…”
Tumpukan buku di tangan Tiara jatuh berserak. Menimbulkan suara yang cukup berisik. Haidar terkaget. Seketika tangisnya pecah. Bocah usia 15bulan itu menangis sekencang-kencangnya. Tiara buru-buru menenangkan Haidar.
“Ssssst… cup-cup-cup” Haidar baru bisa tenang setelah disusui. Sembari menyusui haidar, mata Tiara menoleh kea rah jam dinding. Ia pun terbelalak melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 15.35.
“Innalillahi…” Tiara segera memencet hidung Haidar agar ia segera melepaskan susuannya. Haidarpun menangis lagi, kali ini lebih keras dan kencang.
“Huaaaaaaaaaa…” namun Tiara tak memedulikan tangisan itu. Ia terus berkemas. Membereskan semua perabot makan yang kotor dan menumpuknya dalam kamar mandi. Begitupun perabot masak. Ia segera melap dan menyapu lantai sesegera mungkin.
Kini ruangan sudah lumayan bersih. Meski masih lengket karena Tiara belum sempat mengepel. Tangis Haidar semakin menjadi. Tubuhnya bergerak-gerak di atas dipan. Haidar memang sudah bisa berjalan tertatih. Namun untuk turun sendiri dari dipan setinggi 90cm itu, ia belum berani. Sementara Tiara terus membereskan segala perabot kotor yang bisa ditumpuk di kamar mandi.
“Huffff… akhirnya selesai juga” senyum tiara mengembang.
Segera ia beranjak masuk kamar tidur bermaksud mengamit Haidar. Rupanya Haidar Buang air besar.
“Oalah lee… maafkan umi ya… sini, umi bereskan… sebentar lagi Uti datang” Tiara bergegas ke kamar mandi. Hatinya terhenyak. Bagaimana mau membersihkan Haidar kamar mandi ini penuh sesak dengan barang-barang kotor. Mata tiara mencari-cari satu benda. Gayung.
“Gayungnya dimana ya…?”
“Oooo… itu dia” segera tiara menarik gayung yang terselip diantara tumpukan wajan, panci, piring, blender, sendok dan gelas.
“Tok… tok… tok… Assalamu’alaikum” suara pintu rumah diketuk dari luar.
“Tidak salah lagi, itu pasti Ibu...” Tiara segera menarik gayung yang tumpang tindih dengan perabot lain.
“Krompyaang… ” wajan berhambur keluar kamar mandi, menyusul panci dan barang barang lain.
Wajah Tiara pucat. Tubuhnya lemas. Ia terduduk di sebelah Haidar dengan kotoran BAB yang bercecer dan segenap perabot kotor.