Berantakan
Ini adalah kelanjutan cerpen terdahulu yang berjudul Gayung
*****
Perabot berserak acak memenuhi lantai depan kamar mandi. Sisa kuah sayur lodeh yang sudah mulai basi tumpah membasahi daster lapuk Tiara. Haidarpun mulai nampak tidak nyaman dengan kotoran BAB. Sementara Tiara terduduk lemas.
Apa yang telah ia usahakan hampir 1jam 20 menit yang lalu berakhir parah. Suara ketukan pintu makin kuat terdengar. Membuat hati Tiara kian berdebar. Omelan apalagi yang akan ia dengar dari ibu mertuanya, melihat kondisi rumah seperti ini.
Ponsel Tiara bordering. Ada panggilan masuk. Namun Tiara abaikan. Ia segera mengurus Haidar yang tangisannya kian mengencang.
Haidar sudah selesai dimandikan. Bayi montok itu didudukkan di atas tempat tidur. Tiara mengamit ponselnya. 3 panggilan tak terjawab. 1 pesan masuk.
“Astaghfirullah… Ibu…” jangan-jangan tadi sudah di depan rumah.
Tiara segera ke ruang tamu untuk memastikan. Pintu depan dibuka, tapi tak ada siapa-siapa disana. Ia segera menelfon balik ibu mertuanya.
“Hallo, Assalamu’alaykum…”
“Wa’alaykumussalam”
“Kamu kemana aja, Tiara? Ditelfon kok ndak diangkat-angkat…”
“Ma-maaf bu, tadi saya lagi mberesin Haidar eek”
“Ibu tadi sudah di depan rumah ya?”
“Lha… apa kamu ndak baca sms ibu?”
“Be-belum, Bu…”
“Ini lho, ibu ndak jadi ke rumahmu, sepulang kerja bapakmu gigilan*”
“Innalillahi… iya bu ndak papa…”
“Nggeh sampun, salam untuk bapak. Semoga bapak segera baikan…”
“Aamiin… nggak usah bilang ke Ardy kalau bapak meriang. Nanti dia kepikiran”
“Insyaa Allah, Bu…”
“Assalamu’alaykum…”
“Wa’alaykumussalam…”
Tiara menarik nafas lega. Wajahnya cerah seketika. Seulas senyum tersungging di bibir mungilnya. Setidaknya untuk kali ini ia bisa selamat dari omelan ibu mertua. Entah esok atau lusa.
*****
Asap kendaraan mengepul. Bunyi klakson bersahut-sahutan sebagai tanda ketidaksabaran. Setiap orang ingin segera keluar dari kemacetan panjang itu. Ardy menaikkan kaca penutup helm. Jaket hitam melekat di badan lelaki tegap itu. Matanya masih tak tampak. Tertutup kaca mata hitam. Hidung dan mulutnyapun berbalut masker. Kedua tangannya menggenggam erat stang motor gedenya. Sementara tas punggungnya menempel erat dipundaknya layaknya kura-kura membawa sarangnya.
Jam segini jalanan Ahmad Yani memang macetnya luar biasa. Apalagi di perempatan DTC ini. Sudah 30 menit ia ada di ruas jalan itu, tapi antrian panjang merayap seperti siput.
“Lambat sekali. Bagaimana jika potong jalur saja” Pikirnya. Traffic lamp sudah berwarna hijau, namun tetap tidak bergerak. Jam digital yang terpasang di atasnya sudah menunjukkan angka 26. Pertanda 26 detik lagi lampu merah.
Ardy menarik nafas panjang. Berhari-hari seperti ini. Ingin rasanya ia segera sampai di rumah. Mandi, makan dan bercengkrama dengan Tiara dan Haidar. Lamunannya pecah. Kendaraan di depannya sudah merayap lebih cepat.
Tiara tengah menggendong Haidar di halaman depan rumah. Bubur bayi di mangkuk kecil telah habis dilahap Haidar. Sendok dan mangkuknya masih di pegang Tiara. Wajah Haidar belepotan sisa makanan. Tiara segera menurunkan Haidar, membuka celemek makan yang menggantung di lehernya. Mengusap sisa makanan di wajah Haidar dengan celemek tadi.
Pohon Seri yang rindang bergoyang tertiup angin sore yang damai. Buahnya yang matang merah berguguran. Sementara yang lain berkilauan diterpa cahaya sore mentari. Daun-daun pohon seri jatuh satu persatu. Haidar berdiri memegang gerbang rumah. Tiara berdiri agak jauh dari Haidar, tepatnya di depan jendela kamar Haidar. Halaman depan rumah itu terbagi dua. Garasi dengan lantai semen kasar di sisi kanan. Dan taman bunga dengan pohon seri rindang menaunginya. Halaman taman masih berupa tanah, sengaja tak disemen, karena akan ditanami apotik hidup, entah kapan.
Tiara melambai-lambaikan tangan. Mengajak Haidar berjalan ke arahnya. Sebentar-sebentar ia bernyanyi riang. Berebut perhatian dengan anak-anak muda yang tengah bermain burung merpati. Perum IKIP Gunung Anyar itu memang berhadapan langsung dengan perkampungan penduduk. Sehingga suasananya memang tak se-tenang perumahan pada umumnya.
Hingar bingar suara anak-anak muda berisik sekali. Sesekali mereka bersorak sorai setelah merpati yang mereka lepas kembali mendarat dengan selamat. Haidar terpaku menatapi kerumunan pemuda tanggung itu. Suara merdu uminya hanya sayup-sayup terdengar. Tak sekejabpun ia bergeming.
Deru suara motor gede milik Ardy sudah ada di depan pagar rumah. Klaksonnya berbunyi dua kali. Tiara tersenyum. Ardy telah tiba dirumah menjelang maghrib. Ia segera membuka pintu gerbang dan memarkirkan motornya. Dibukanya seluruh perlengkapan bersepeda. Helm di gantungkan di salah satu stang motor. Menyusul jaket hitam, sarung tangan, masker serta kaca mata hitamnya. Kini tampaklah sesosok lelaki gagah, dengan kemeja bergaris. Matanya berbinar menatap Haidar. Langkahnya pasti menghampiri sosok mungil itu.
Ardy berjongkok dengan satu kaki menyangga. Ia senang sekali sudah bisa sampai rumah. Bertemu dengan putra tercinta dan bidadari hatinya.
“Assalamu'alaykum, Haidar… anak abi yang sholeh…”
Haidar menoleh ke asal suara dan segera berhambur kepelukan ayahnya.
“Waaah besar sekali perutnya, apa nih isinya” jemari Ardy bermain menggelitik perut Haidar. Bocah kecil itu tertawa terkekeh-kekeh kegelian. Ia belum bisa menjawab pertanyaan ayahnya, tersebab belum dapat bicara. Semakin Ardy memainkan jemarinya, tawa Haidar semakin membahana.
Tiara tersenyum melihat tinggkah suami dan putranya. Dua lelaki tampan yang membuat hidup Tiara kian bahagia.
“Sini sama Umi, Le… abi capek tuh. Lagian abi belum mandi, bau… iiih” Tiara mengamit Haidar dan segera menggendongnya. Ardy mengecup kening Tiara dan bergegas masuk ke dalam rumah.
Tiara masih bermain dengan Haidar di halaman depan. Maghrib masih 10 menit lagi. Ia masih betah menikmati suasana senja. Langit mulai jingga. Mentari mulai berpamitan pada penduduk dunia. Menghantarkan gulita. Menyenandungkan tembang nina bobo agar manusia tak selalu terjaga.
“Umiiiiiii!” suara keras itu membuyarkan tatapan tiara. Tidak biasanya suaminya berteriak sekeras itu. Ia segera masuk. Didapatinya suaminya yang tengah tegak di pintu kamar mandi.
“Apa-apaan ini” Ardy menunjuk kamar mandi yang berantakan penuh dengan perabot kotor yang tumpang tindih.
“Belum sempet cuci piring, Abi” Tiara terbata sambil menggendong Haidar kecil.
“Lalu kenapa seberantakan ini?” jemari Ardy menutup hidung yang tak tahan dengan bau rendaman pakayan.
“Handuk mandi mana?” Tanyanya galak.
“Belum sempat nyuci pakayan juga” Tiara menunduk pasrah.
“Ngapain saja di rumah?” bentak Ardy penuh emosi. Tiara terdiam. Air matanya mengalir. Ia membawa Haidar ke kamar tidur. Ardy terus mengomel.
“Suami pulang capek, Umi! mana macet lagi di jalan. Pulang-pulang rumah berantakan!” ceracau Ardy semakin menjadi.
“Krompyang… ” perabot kotor di kamar mandi lagi-lagi berhambur keluar pintu kamar mandi.
“Begitu ya, namanya istri shalihah…” suara Ardy begitu tajam. Tak sanggup mendengarnya, Tiara berdiri tegak di pintu kamar. Matanya merah berair. Suaranya terisak.
“Ini semua salah abi!” pekik Tiara tak mau kalah emosi.
“Kenapa pula mencari kambing hitam”
“Istri itukan Rabbatul-bayt!**”
“Tapi istrikan bukan babu, Kenapa Abi tidak menyediakan mesin cuci?”
“Alasan saja…!”
“Kenapa tak mencarikan pembantu” Emosi Tiara kian melonjak. Perang mulut tak dapat terelakkan.
“Allahu Akbar… Allaaaaaaahhu Akbar! Suara adzan menggema. Gaungnya memenuhi ruangan. Memanggil-manggil para mukmin untuk bersegera. Ke rumah Allah.
Tiara dan Ardy diam tak lagi bersuara. Setelah Adzan selesai dikumandangkan, gantian Haidar yang ambil mikrofon. Suaranya melengking. Menangis minta digendong dan ditenangkan. Tangisnya tak juga reda seperti hati Tiara yang tengah terluka.
Catatan kaki:
*Gigilan: menggigil kedinginan (bahasa jawa)
**Rabbatul-bayt: Pengatur rumah tangga (bahasa Arab)
bersambung....
*****
Perabot berserak acak memenuhi lantai depan kamar mandi. Sisa kuah sayur lodeh yang sudah mulai basi tumpah membasahi daster lapuk Tiara. Haidarpun mulai nampak tidak nyaman dengan kotoran BAB. Sementara Tiara terduduk lemas.
Apa yang telah ia usahakan hampir 1jam 20 menit yang lalu berakhir parah. Suara ketukan pintu makin kuat terdengar. Membuat hati Tiara kian berdebar. Omelan apalagi yang akan ia dengar dari ibu mertuanya, melihat kondisi rumah seperti ini.
Ponsel Tiara bordering. Ada panggilan masuk. Namun Tiara abaikan. Ia segera mengurus Haidar yang tangisannya kian mengencang.
Haidar sudah selesai dimandikan. Bayi montok itu didudukkan di atas tempat tidur. Tiara mengamit ponselnya. 3 panggilan tak terjawab. 1 pesan masuk.
“Astaghfirullah… Ibu…” jangan-jangan tadi sudah di depan rumah.
Tiara segera ke ruang tamu untuk memastikan. Pintu depan dibuka, tapi tak ada siapa-siapa disana. Ia segera menelfon balik ibu mertuanya.
“Hallo, Assalamu’alaykum…”
“Wa’alaykumussalam”
“Kamu kemana aja, Tiara? Ditelfon kok ndak diangkat-angkat…”
“Ma-maaf bu, tadi saya lagi mberesin Haidar eek”
“Ibu tadi sudah di depan rumah ya?”
“Lha… apa kamu ndak baca sms ibu?”
“Be-belum, Bu…”
“Ini lho, ibu ndak jadi ke rumahmu, sepulang kerja bapakmu gigilan*”
“Innalillahi… iya bu ndak papa…”
“Nggeh sampun, salam untuk bapak. Semoga bapak segera baikan…”
“Aamiin… nggak usah bilang ke Ardy kalau bapak meriang. Nanti dia kepikiran”
“Insyaa Allah, Bu…”
“Assalamu’alaykum…”
“Wa’alaykumussalam…”
Tiara menarik nafas lega. Wajahnya cerah seketika. Seulas senyum tersungging di bibir mungilnya. Setidaknya untuk kali ini ia bisa selamat dari omelan ibu mertua. Entah esok atau lusa.
*****
Asap kendaraan mengepul. Bunyi klakson bersahut-sahutan sebagai tanda ketidaksabaran. Setiap orang ingin segera keluar dari kemacetan panjang itu. Ardy menaikkan kaca penutup helm. Jaket hitam melekat di badan lelaki tegap itu. Matanya masih tak tampak. Tertutup kaca mata hitam. Hidung dan mulutnyapun berbalut masker. Kedua tangannya menggenggam erat stang motor gedenya. Sementara tas punggungnya menempel erat dipundaknya layaknya kura-kura membawa sarangnya.
Jam segini jalanan Ahmad Yani memang macetnya luar biasa. Apalagi di perempatan DTC ini. Sudah 30 menit ia ada di ruas jalan itu, tapi antrian panjang merayap seperti siput.
“Lambat sekali. Bagaimana jika potong jalur saja” Pikirnya. Traffic lamp sudah berwarna hijau, namun tetap tidak bergerak. Jam digital yang terpasang di atasnya sudah menunjukkan angka 26. Pertanda 26 detik lagi lampu merah.
Ardy menarik nafas panjang. Berhari-hari seperti ini. Ingin rasanya ia segera sampai di rumah. Mandi, makan dan bercengkrama dengan Tiara dan Haidar. Lamunannya pecah. Kendaraan di depannya sudah merayap lebih cepat.
Tiara tengah menggendong Haidar di halaman depan rumah. Bubur bayi di mangkuk kecil telah habis dilahap Haidar. Sendok dan mangkuknya masih di pegang Tiara. Wajah Haidar belepotan sisa makanan. Tiara segera menurunkan Haidar, membuka celemek makan yang menggantung di lehernya. Mengusap sisa makanan di wajah Haidar dengan celemek tadi.
Pohon Seri yang rindang bergoyang tertiup angin sore yang damai. Buahnya yang matang merah berguguran. Sementara yang lain berkilauan diterpa cahaya sore mentari. Daun-daun pohon seri jatuh satu persatu. Haidar berdiri memegang gerbang rumah. Tiara berdiri agak jauh dari Haidar, tepatnya di depan jendela kamar Haidar. Halaman depan rumah itu terbagi dua. Garasi dengan lantai semen kasar di sisi kanan. Dan taman bunga dengan pohon seri rindang menaunginya. Halaman taman masih berupa tanah, sengaja tak disemen, karena akan ditanami apotik hidup, entah kapan.
Tiara melambai-lambaikan tangan. Mengajak Haidar berjalan ke arahnya. Sebentar-sebentar ia bernyanyi riang. Berebut perhatian dengan anak-anak muda yang tengah bermain burung merpati. Perum IKIP Gunung Anyar itu memang berhadapan langsung dengan perkampungan penduduk. Sehingga suasananya memang tak se-tenang perumahan pada umumnya.
Hingar bingar suara anak-anak muda berisik sekali. Sesekali mereka bersorak sorai setelah merpati yang mereka lepas kembali mendarat dengan selamat. Haidar terpaku menatapi kerumunan pemuda tanggung itu. Suara merdu uminya hanya sayup-sayup terdengar. Tak sekejabpun ia bergeming.
Deru suara motor gede milik Ardy sudah ada di depan pagar rumah. Klaksonnya berbunyi dua kali. Tiara tersenyum. Ardy telah tiba dirumah menjelang maghrib. Ia segera membuka pintu gerbang dan memarkirkan motornya. Dibukanya seluruh perlengkapan bersepeda. Helm di gantungkan di salah satu stang motor. Menyusul jaket hitam, sarung tangan, masker serta kaca mata hitamnya. Kini tampaklah sesosok lelaki gagah, dengan kemeja bergaris. Matanya berbinar menatap Haidar. Langkahnya pasti menghampiri sosok mungil itu.
Ardy berjongkok dengan satu kaki menyangga. Ia senang sekali sudah bisa sampai rumah. Bertemu dengan putra tercinta dan bidadari hatinya.
“Assalamu'alaykum, Haidar… anak abi yang sholeh…”
Haidar menoleh ke asal suara dan segera berhambur kepelukan ayahnya.
“Waaah besar sekali perutnya, apa nih isinya” jemari Ardy bermain menggelitik perut Haidar. Bocah kecil itu tertawa terkekeh-kekeh kegelian. Ia belum bisa menjawab pertanyaan ayahnya, tersebab belum dapat bicara. Semakin Ardy memainkan jemarinya, tawa Haidar semakin membahana.
Tiara tersenyum melihat tinggkah suami dan putranya. Dua lelaki tampan yang membuat hidup Tiara kian bahagia.
“Sini sama Umi, Le… abi capek tuh. Lagian abi belum mandi, bau… iiih” Tiara mengamit Haidar dan segera menggendongnya. Ardy mengecup kening Tiara dan bergegas masuk ke dalam rumah.
Tiara masih bermain dengan Haidar di halaman depan. Maghrib masih 10 menit lagi. Ia masih betah menikmati suasana senja. Langit mulai jingga. Mentari mulai berpamitan pada penduduk dunia. Menghantarkan gulita. Menyenandungkan tembang nina bobo agar manusia tak selalu terjaga.
“Umiiiiiii!” suara keras itu membuyarkan tatapan tiara. Tidak biasanya suaminya berteriak sekeras itu. Ia segera masuk. Didapatinya suaminya yang tengah tegak di pintu kamar mandi.
“Apa-apaan ini” Ardy menunjuk kamar mandi yang berantakan penuh dengan perabot kotor yang tumpang tindih.
“Belum sempet cuci piring, Abi” Tiara terbata sambil menggendong Haidar kecil.
“Lalu kenapa seberantakan ini?” jemari Ardy menutup hidung yang tak tahan dengan bau rendaman pakayan.
“Handuk mandi mana?” Tanyanya galak.
“Belum sempat nyuci pakayan juga” Tiara menunduk pasrah.
“Ngapain saja di rumah?” bentak Ardy penuh emosi. Tiara terdiam. Air matanya mengalir. Ia membawa Haidar ke kamar tidur. Ardy terus mengomel.
“Suami pulang capek, Umi! mana macet lagi di jalan. Pulang-pulang rumah berantakan!” ceracau Ardy semakin menjadi.
“Krompyang… ” perabot kotor di kamar mandi lagi-lagi berhambur keluar pintu kamar mandi.
“Begitu ya, namanya istri shalihah…” suara Ardy begitu tajam. Tak sanggup mendengarnya, Tiara berdiri tegak di pintu kamar. Matanya merah berair. Suaranya terisak.
“Ini semua salah abi!” pekik Tiara tak mau kalah emosi.
“Kenapa pula mencari kambing hitam”
“Istri itukan Rabbatul-bayt!**”
“Tapi istrikan bukan babu, Kenapa Abi tidak menyediakan mesin cuci?”
“Alasan saja…!”
“Kenapa tak mencarikan pembantu” Emosi Tiara kian melonjak. Perang mulut tak dapat terelakkan.
“Allahu Akbar… Allaaaaaaahhu Akbar! Suara adzan menggema. Gaungnya memenuhi ruangan. Memanggil-manggil para mukmin untuk bersegera. Ke rumah Allah.
Tiara dan Ardy diam tak lagi bersuara. Setelah Adzan selesai dikumandangkan, gantian Haidar yang ambil mikrofon. Suaranya melengking. Menangis minta digendong dan ditenangkan. Tangisnya tak juga reda seperti hati Tiara yang tengah terluka.
Catatan kaki:
*Gigilan: menggigil kedinginan (bahasa jawa)
**Rabbatul-bayt: Pengatur rumah tangga (bahasa Arab)
bersambung....