Tips Menulis untuk Ibu-Ibu

Tips Menulis untuk Ibu-Ibu

Tips Menulis untuk IbuKemarin malam ada yang mengomentari status FB saya. Minta dibagi tips biar bisa menulis. Hm... antara kegeeran dengan tidak percaya. Sepertinya pertanyaan itu tidak layak diajukan ke saya. Bagaimana tidak, saya inikan bukan siapa-siapa. Mestinya minta tips semacam itu kepada para suhu yang sudah menelurkan banyak karya. Baik buku, artikel yang tembus ke media maupun yang sudah banyak menjuarai event-event menulis.

Lha saya, naskah buku belum layak diterbitkan, bikin tulisan ke media tidak pernah bisa membuat editor jatuh cinta, tidak pernah juga menjuarai event lomba apapun. So... layakkah ia bertanya pada saya mengenai hal tersebut hanya semata karena saya punya blog pribadi yang isinya juga jauh dari mutu. Kesiaaaan... ipinupinmodeon.

Wah, inikan namanya underestimated yak...

Namun, karena saya sudah berjanji untuk membuatkannya malam ini, baiklah... saya harus tetap menyelesaikannya. Sebelum saya masuk ke tips inti saya ingin cerita soal kenapa saya menulis.

Kenapa Saya Menulis?
Mencari alasan di balik sebuah kegiatan akan menguatkan keinginan. Membuncahkan harapan. Mencuatkan semangat untuk menghadapi berbagai hambatan. Jika alasannya lemah maka dorongannya juga akan lemah. Namun jika alasannya memiliki daya dorong yang kuat, kita akan mendapati orang tersebut senantiasa enjoy dengan apa yang dilakukannya. Meski melelahkan. Lalu... apa sebenarnya alasan saya menulis?

Saya menulis karena saya jatuh cinta.
Bukan sama buku tapi sama seseorang. Hehe... Saya mulai belajar menulis pada tahun 2004. Waktu itu karena saya sedang jatuh cinta dengan seorang lelaki. lelaki tersebut saat ini menjadi suami saya. Menurut saya—waktu itu—dia adalah sosok yang luar biasa. Rajin membaca (sampai-sampai kalau berangkat ke kampus, sepanjang jalan yang dipelototin bukan jalan tapi buku di tangan). Tulisannya juga sering muncul di harian lokal dan majalah kampus. Sering diundang jadi pembicara. Tentu saja karena kemampuan intelektualnya di atas rata-rata.

Meski perasaan itu cuma terpendam di hati, tapi tetep saja berefek pada perilaku diri. Namanya juga sedang jatuh cinta, apa yang disukai dan digeluti pujaan hati pastilah jadi motivasi. Apalagi waktu itu saya diminta untuk satu team dengannya menggarap buletin remaja mingguan. Wah... hati semakin berbunga-bunga.

Padahal, tahu tidak... baru kali inilah saya menggeluti dunia ini. Selama ini saya paling tidak suka dengan pelajaran bahasa Indonesia utamanya mengarang. Namun sejak saat itu, setiap hari saya memaksakan diri untuk bisa membuat artikel yang layak terbit. inilah kekuatan cinta. Cieee...

Sayang disayang, hasilnya nihil. Bahkan artikel yang saya serahkan kepada pimpinan redaksi buletine remaja mingguan itupun dipangkas habis. Semua kalimat berganti, bukan kalimat saya. Waduuuh mulai deh panasnya. Saya lalu rajin baca buku tentang teori menulis dari banyak penulis ternama.

Menulis untuk popolaritas dan uang

Waktu berlalu dan saya punya kebiasaan baru. Membaca dan menulis. Lambat  laun, orientasi saya berubah. Saya menulis karena ingin dapat uang banyak. Hehe matre banget ya... ketika saya banyak membaca biografi para penulis ternama, saya jadi ingin juga seperti mereka. Bahkan ada yang kaya raya lho dengan berprofesi sebagai penulis.

Sebut saja, penulis novel best seller Harry Potter, Ayat-ayat cinta, dan banyak lagi penulis lain. Sudahlah terkenal tajir pula. Selanjutnya... terpatri dalam benak saya, membaca dan menulis bukan  lagi karena dorongan rasa kepada seseorang. Namun, lebih karena ingin mendapatkan uang. Lagi-lagi saya memaksa diri untuk lebih banyak membaca dan menulis.

Pada tahun 2006 saya berhasil mengajukan dua naskah buku ke sebuah penerbit ternama di negeri ini. Kabar baiknya, naskah saya diterima. Kabar buruknya, saya harus melakukan beberapa editing. Dan saya tidak bisa bersabar mengedit tulisan saya sendiri. Akhirnya dua naskah itu masih menjadi file dokumen word yang ada di laptop.

Tahun 2007 saya menikah. Kejutannya adalah, saya menikah dengan seorang lelaki yang pada tahun 2004 lalu membuat saya jatuh hati dengan buku dan menulis. Ya, lelaki itu. Pujaan hati. Saya berharap, setelah menikah kebiasaan menulis ini akan semakin terasah.

Namun, ternyata saya salah. Saya justru harus patah hati. Saya menikahi seorang editor, yang kritikannya bikin pedas telinga dan banjir air mata. Ketika naskah buku itu ia baca. Komentarnya membuat saya justru ingin meninggalkan dunia menulis selama-lamanya. Rasanya, tulisan saya itu tidak bermutu sama sekali. Begitu seterusnya, hingga artikel-artikel baru yang saya buatpun menurutnya tak bernilai apa-apa. Ya Allah...

Benar, hingga 2010 saya tak pernah lagi membuat tulisan. Apapun. Bahkan sekedar catatan harian. Padahal selama ini saya rutin menuliskannya. Apalagi setelah kami dikaruniai Naufa Shaliha Daud, praktis saya tak pernah memijit-mijit tuts keyboard lagi.

Hingga saya membaca sebuah majalah remaja yang diterbitkan di kota hujan, Bogor. Iseng-iseng saya membuat artikel opini dan saya kirimkan. Saya tidak bilang ke suami tentang hal tersebut. Biar saja dia tidak tahu, daripada artikel ini tepar. Bulan depannya, artikel itu muncul di majalah tersebut tanpa editing.

Awalnya saya tidak tahu, namun teman-teman sepengajian memberitahu tentang hal tersebut. Waaah senangnya, inilah kali pertama tulisan saya dipublish. Hati saya berbunga-bunga, serasa jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan pena.

Sayangnya, ketika semangat menulis itu berbinar kembali, terbentur dengan kesibukan mengurus anak. Boro-boro mau menulis, membaca buku saja tidak kebagian waktu luang. Karena Naufa sedang sangat butuh perhatian. Waktu itu usia Naufa 10 bulan dan saya tengah mengandung Naura.  Jadilah... impian untuk merajut pena kembali tertunda. Sesekali saja saya menuangkan ide, itupun untuk konsumsi pribadi dan tak layak dipublish.

Saya menulis karena ingin berbagi.

Ketika saya membaca tulisan Ustadz. Felix Xiaw. Yang sering direpost oleh teman-teman FB, saya terperanjat, saya kagum, dan saya ingin sepertinya. Tulisan-tulisannya begitu mengena. Mak Jleb kata orang. Tulisan-tulisan tersebut menginspirasi banyak orang untuk meninggalkan kemaksiyatan. Meski ia tak berniat mengkomersialkan, namun nyatanya ia tetap dikejar-kejar ketenaran dan juga uang.

Setelah saya renungkan. Dulu saya keliru. Menulis karena jatuh cinta sama seseorang atau menulis untuk popularitas dan uang. Namun, saya ambil sisi positifnya, bahwa kedua motivasi tersebut berhasil memaksa saya punya kebiasaan baru, yaitu membaca dan menulis. Meski tak bisa membuat saya istiqamah menjalaninya. Karenanya, saya azzamkan sejak saat itu, untuk menulis lagi, untuk berbagi.

Tambah semangat setelah dihadiahi oleh suami sebuah blog keren untuk mempublish tulisan pribadi saya. Saya tak perlu pusing dengan penolakan media ataupun penerbit. Saya bisa terbitkan sendiri tulisan tersebut dan bisa dibaca banyak orang. Saya jadi rajin update artikel.

Nah... gimana caranya menyiasati menulis sementara anak-anak juga butuh perhatian? Inilah tips yang kali ini ingin saya bagikan. cekidot...

Pertama, kokohkan alasan. Mengambil ibrah dari cerita saya di atas, kita memang harus punya alasan kuat untuk menulis. Temukan alasannya, kenapa saya harus menulis. Saya pribadi, telah menemukan alasan itu. Anda bisa membacanya pada artikel depositokan pahala dengan pena.

Kedua, menulislah. Tips gampang menulis adalah dengan menulis. Tidak ada cara lain kecuali melakukannya. Saya pernah menetapkan jadwal menulis setiap hari untuk melatih otot menulis. Setiap hari menulis satu artikel.

Suatu hari saya tak punya sesuatu untuk dituliskan. Karena ingin disiplin, akhirnya saya sembarang mencet tuts keyboard sampai satu halaman penuh. Setelah itu saya simpan dan tutup. Hm... jadi ingin tertawa melihat kembali file tersebut. File apa ini?

Ketiga, luangkanlah waktu. Siapapun pasti akan berdalih tak punya waktu luang. Ya, kita memang tak punya waktu luang untuk menulis jika tak diluangkan. Karenanya, pilihlah satu jam atau dua jam dari 24 jam jatah hari kita.

Saya menjadwal membuat tulisan setelah Naufa dan Naura tertidur di malam hari. Biasanya saya tidur awal, bersama mereka, nanti jam 22.00 – jam 00.00 saya menulis. Hening, tidak ada tangisan, rengekan, pertengkaran dll.

Keempat, tulislah yang paling dekat dengan kita. Sejujurnya, saya senang menulis gaya remaja ketimbang gaya emak-emak. Namun, saya kerepotan untuk menyesuaikan gaya bahasa anak remaja zaman sekarang. Karena harus update diksi. Bagaimanapun, sekarang saya sudah emak-emak. Jadi tulislah topik yang terdekat dengan dunia emak-emak. Agar kita tak perlu pusing dengan bahan tulisan. Mesti searching data lagi, mesti update kosakata lagi. Repot, Bun!

Saya senang menulis pengalaman pribadi bersama suami atau anak-anak. Mungkin bisa menjadi inspirasi bagi orang lain. Selain karena tak perlu pusing dengan bahan tulisan, juga karena tulisan yang berdasarkan pengalaman pribadi akan lebih mengalir.

Bahasanya ustadz Faudzil ‘Adhim lebih “flow”. Tak ada beban dan enjoy. Bahkan jika harus begadang sampai larut malam, saya tetap tak merasa lelah.

Kelima, tutup mata tutup telinga. Maksudnya tulislah apa saja yang ingin kita tulis. Tak perlu pusing dengan komentar orang lain. Biar saja mereka menilai apapun tulisan kita. Sebab, ada orang tertentu (saya misalnya) justru patah semangat saat tulisannya dihabisi alias dibantai.

Dari waktu ke waktu, jika kita disiplin dan konsisten menulis, akan ada peningkatan kualitas kok, tenang saja. Lambat laun, kita akan punya kepekaan menilai tulisan sendiri, berkualitas atau tidak.  So... Menulis... menulis... dan menulislah.

Begitulah tips menulis untuk ibu-ibu yang bisa saya bagikan, moga bermanfaat ya... (Bunda Naufa)

Related

Menulis 3674120581216547404

Post a Comment

emo-but-icon

Tulisan Unggulan

Sebulan Bisa Hafal Satu Juz?

Hafalan Al-Qur'an Yuuuk Saya memulai jadwal tahfidz harian ba'da shubuh. Saat suasana masih sangat tenang, Goma masih lelap ...

Catatan Terbaru

item