Save Ummah With Khilafah
Duhai Jiwaku... Pedih rasanya hatiku. Berlinang airmataku. Teringat aku pada dua putriku, Naufa dan Naura. Juga keponakanku, juga anak-a...
Duhai Jiwaku...
Pedih rasanya hatiku. Berlinang airmataku. Teringat aku pada dua putriku, Naufa dan Naura. Juga keponakanku, juga anak-anak saudariku di seluruh penjuru dunia.
Sungguh... hatiku sangat pilu. Kulihat seorang bayi, mungkin sekitar 2 tahun, merangkak di atas mayat ibunya yang telah menjadi korban pembantaian di Myanmar. Mungkin ia pikir ibunya sedang tertidur, diapun mulai menyusu di atas mayat itu.
Ya Allah... aku sungguh tak tahan melihat gambar itu. Gambar bisu itu bercerita banyak padaku. Tentang kepedihan hidup tanpa pelindung. Tentang kedzaliman demi kedzaliman.
Ya Allah... Bilakah ini kan berakhir?
Aku tersedu di pundak suamiku. Kuceritakan ini semua padanya. Kutunjukkan gambar itu padanya. Dan ia pun menangis geram...
ya Allah... ya Allah... Wahai Dzat Yang Maha Adil. Wahai Dzat yang Maha Perkasa. Wahai Dzat Yang Maha Segala-galanya, Tolonglah kami... Tolonglah kaum muslimin. Tegakkanlah Khilafah sesegera mungkin. Agar darah ini, agar airmata ini, agar sakit ini... kan segera berakhir. Sebesar apapun daya dan kekuatan kami, apalah artinya. Karna hanya Engkaulah yang punya kuasa atas segalanya.
Ya Allah... sekiranya karena dosa-dosa pengemban dakwahlah yang menghalangi kembalinya Khilafah, maka Ampunilah kami semua ya Allah... sekiranya karena maksiyat kami kepada-Mu Menjadi penghalang pertolongan-Mu, maka Ampunilah kami ya Allah...
Naufa dan Naura tengah tertidur pulas dan lelap. Apakah anak-anakku di belahan dunia lain juga merasakan hal yang sama. Kami hari ini dapat makan kenyang dengan sup ayam bahkan ada nasi yang terbuang karena anak-anak masih belajar makan sendiri, sehingga masih berserakan.
Bagaimanakah dengan anak-anak saudara-saudarku di belahan negeri Islam. Ya Allah... ampunilah hamba atas kelalaian ini, atas ketidakpedulian ini, atas kelambatan dalam berdakwah. Ya Allah... aku sungguh tak tahan mengenang semua ini.
Luka ini semakin meradang. Nanahnya makin parah. Mengeluarkan bau busuk yang tak tertahankan. Teriakan histeris sekalipun tak dapat meredakan perihnya. Sementara, dunia tetap diam. Membiarkan kedzoliman demi kedzaliman datang silih bergnti. Sampai kapan?
Layakkah aku diam. Berdiam diri. Sembari menutup mata dan telinga. Pura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi. Wajah kututup rapat-rapat. Namun setiap kali semua itu kulakukan, hatiku kian bergejolak. Tak terima.
Untuk inikah aku hidup dan diciptakan. Hanya untuk berdiam. Layaknya seonggok kayu tumbang. Yang tak peduli dengan kondisi sekitarku? Layakkah aku disebut manusia, atau sebaiknya aku ganti nama saja.
Ayolah wahai jiwa yang malas, kau masih diberi kesempatan lapang untuk mendakwahkan Islam. Untuk meneriakkan kebenaran secara lantang. Untuk kontak dengan para simpul umat agar mereka juga segera menerima seruan kebenaran ini.
Ayolah jiwa yang malas, apa yang kau nanti. Apakah menunggu kondisimu seperti saudarimu difoto yang bertabur itu.
Ayolah... waktumu terbatas. Berhitung, sekaranglah saatnya berhitung. Detik demi detik yang kau lalui sungguh sangat berarti. Untuk perjuangan ini. Untuk revolusi ini, meski istilah ini tak tepat, namun aku belum mendapati istilah lain yang pas.
Bergeraklah, berbicaralah, kontaklah, sampaikanlah. Agar umat di Indonesia dan seluruh dunia berfikir dengan caramu berfikir. Agar kita satukan rasa marah, benci dan cinta ini. Agar apa yang kita pandang baik hanyalah apa yang baik menurut Allah.
Semoga lewat lisanmulah wahai jiwa yang teduh, hidayah itu datang. Semoga lewat perjuanganmu—meski harus berjibaku dengan sulitnya kehidupan, dengan seabreg tugas rumah tangga—pertolongan-Nya datang. Semoga dengan dakwahmu, sementara masyghul daganganmu juga membuntutimu, secercah harapan itu hadir.
Semoga...
Save ummah with KHILAFAH.
update: Depok, 2 September 2017,
Pedih rasanya hatiku. Berlinang airmataku. Teringat aku pada dua putriku, Naufa dan Naura. Juga keponakanku, juga anak-anak saudariku di seluruh penjuru dunia.
Sungguh... hatiku sangat pilu. Kulihat seorang bayi, mungkin sekitar 2 tahun, merangkak di atas mayat ibunya yang telah menjadi korban pembantaian di Myanmar. Mungkin ia pikir ibunya sedang tertidur, diapun mulai menyusu di atas mayat itu.
Ya Allah... aku sungguh tak tahan melihat gambar itu. Gambar bisu itu bercerita banyak padaku. Tentang kepedihan hidup tanpa pelindung. Tentang kedzaliman demi kedzaliman.
Ya Allah... Bilakah ini kan berakhir?
Aku tersedu di pundak suamiku. Kuceritakan ini semua padanya. Kutunjukkan gambar itu padanya. Dan ia pun menangis geram...
ya Allah... ya Allah... Wahai Dzat Yang Maha Adil. Wahai Dzat yang Maha Perkasa. Wahai Dzat Yang Maha Segala-galanya, Tolonglah kami... Tolonglah kaum muslimin. Tegakkanlah Khilafah sesegera mungkin. Agar darah ini, agar airmata ini, agar sakit ini... kan segera berakhir. Sebesar apapun daya dan kekuatan kami, apalah artinya. Karna hanya Engkaulah yang punya kuasa atas segalanya.
Ya Allah... sekiranya karena dosa-dosa pengemban dakwahlah yang menghalangi kembalinya Khilafah, maka Ampunilah kami semua ya Allah... sekiranya karena maksiyat kami kepada-Mu Menjadi penghalang pertolongan-Mu, maka Ampunilah kami ya Allah...
Naufa dan Naura tengah tertidur pulas dan lelap. Apakah anak-anakku di belahan dunia lain juga merasakan hal yang sama. Kami hari ini dapat makan kenyang dengan sup ayam bahkan ada nasi yang terbuang karena anak-anak masih belajar makan sendiri, sehingga masih berserakan.
Bagaimanakah dengan anak-anak saudara-saudarku di belahan negeri Islam. Ya Allah... ampunilah hamba atas kelalaian ini, atas ketidakpedulian ini, atas kelambatan dalam berdakwah. Ya Allah... aku sungguh tak tahan mengenang semua ini.
Luka ini semakin meradang. Nanahnya makin parah. Mengeluarkan bau busuk yang tak tertahankan. Teriakan histeris sekalipun tak dapat meredakan perihnya. Sementara, dunia tetap diam. Membiarkan kedzoliman demi kedzaliman datang silih bergnti. Sampai kapan?
Layakkah aku diam. Berdiam diri. Sembari menutup mata dan telinga. Pura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi. Wajah kututup rapat-rapat. Namun setiap kali semua itu kulakukan, hatiku kian bergejolak. Tak terima.
Untuk inikah aku hidup dan diciptakan. Hanya untuk berdiam. Layaknya seonggok kayu tumbang. Yang tak peduli dengan kondisi sekitarku? Layakkah aku disebut manusia, atau sebaiknya aku ganti nama saja.
Ayolah wahai jiwa yang malas, kau masih diberi kesempatan lapang untuk mendakwahkan Islam. Untuk meneriakkan kebenaran secara lantang. Untuk kontak dengan para simpul umat agar mereka juga segera menerima seruan kebenaran ini.
Ayolah jiwa yang malas, apa yang kau nanti. Apakah menunggu kondisimu seperti saudarimu difoto yang bertabur itu.
Ayolah... waktumu terbatas. Berhitung, sekaranglah saatnya berhitung. Detik demi detik yang kau lalui sungguh sangat berarti. Untuk perjuangan ini. Untuk revolusi ini, meski istilah ini tak tepat, namun aku belum mendapati istilah lain yang pas.
Bergeraklah, berbicaralah, kontaklah, sampaikanlah. Agar umat di Indonesia dan seluruh dunia berfikir dengan caramu berfikir. Agar kita satukan rasa marah, benci dan cinta ini. Agar apa yang kita pandang baik hanyalah apa yang baik menurut Allah.
Semoga lewat lisanmulah wahai jiwa yang teduh, hidayah itu datang. Semoga lewat perjuanganmu—meski harus berjibaku dengan sulitnya kehidupan, dengan seabreg tugas rumah tangga—pertolongan-Nya datang. Semoga dengan dakwahmu, sementara masyghul daganganmu juga membuntutimu, secercah harapan itu hadir.
Semoga...
Save ummah with KHILAFAH.
update: Depok, 2 September 2017,
Masya Allah, sungguh Engkau maha besar ya Allah, maha kuasa atas segala sesuatu. Ampuni kami jika salah dan berdosa, kami sadar telah banyak berlaku zolim
ReplyDelete