Tips Agar Masirah Selalu Berkesan
Kuacungkan dua jempol untuk Naufa Shaliha. Putri sulungku ini sudah dua kali ikut masirah (aksi damai, long march). Ia berjalan kaki sendiri, tidak mau digendong. Rabu lalu kami masirah dari Tugu Pahlawan hingga ke gedung DPRD Jawa Timur. Sampai kakinya lecet-lecet. Masya Allah...
Masih dalam tema yang sama—menolak RUU ORMAS—hari ini pun kami ikut masirah untuk yang kedua kalinya. Yang berbeda adalah rutenya.
Start dari Grahadi depan Taman Apsari, barisan masirah melakukan long march menuju tugu Bambu Runcing (hehe aku nggak tau namanya, cuma bentuknya persis seperti senjata perang gerilya tempo doeloe), lalu memutar ke Karapan Sapi, terus menyusuri jalan Basuki Rahmat, Tunjungan Plasa dan finish di Taman Apsari lagi.
Hmm.. Total jarak tempuh masirah kali ini lebih dari 2 kilometer. Rute yang menurutku cukup jauh untuk seorang Naufa yang 14 Maret lalu baru genap tiga tahun. Tiga tahun silam, saat ia lahir bertepatan juga dengan aksi masirah tolak kedatangan Barack Obama ke Indonesia. Nostalgia... Barakallahu laki fiy ‘umrikiy ya ibnatiy ash-shalihah...
Banyak yang menyarankan agar kami menunggu saja di taman Apsari. Namun entahlah, aku bersikeras untuk ikut berjalan. Sebab masirah kali ini memang sangat istimewa menurutku. Bagaimana tidak, jika RUU ORMAS jadi disahkan, mungkin inilah masirah terakhir yang bisa aku ikuti.
Karenanya, aku ingin ikut berjalan kaki, meski harus menggendong Naura (18 bulan, adiknya Naufa) dan menuntun Naufa (3 tahun). Biasanya Naufa ikut ayahnya di barisan rijal (kalangan laki-laki). Namun kali ini tidak bisa, karena pagi harinya ayah Naufa mendapat amanah agar menyiapkan diri untuk berorasi.
Barisan peserta masirah berderet panjang. Seperti barisan tentara menuju medan perang. Pekik takbir, bendera al-liwa dan ar-raya yang berkibar, orasi dari para ustadz yang sangat menggetarkan jiwa. Subhanallah...
Memoriku melayang saat kemarin aku dan suamiku nonton bareng film Umar Bin Khattab episode perang Badar, perang Uhud, perang Ahzab dan peperangan lainnya. Mungkin ada kemiripan. Bedanya adalah, kali ini bukan berperang, namun menyeru penguasa dzalim agar kembali kejalan yang benar.
Menurutku, persiapan masirah hampir sama dengan persiapan perang. Ada banyak hal yang harus disiapkan. Agar masirah tidak menjadi aktivitas tanpa makna atau malah berakhir sia-sia.
Pertama, persiapan niat. Bicara soal niat, ini terkait dengan motivasi. Motivasi juga macam-macam. Ada yang karena mau dapat materi (qimah maadiyyah), ada yang karena mau dapat kepuasan nurani (qimah maknawiyyah), ada juga yang semata karena ilahi (qimah ruhiyyah).
Ada lho, yang datang ke masirah semata-mata cuma mau jualan. Bukannya khusyuk ikut long march, atau mendengarkan orasi, eeh... malah sibuk gelar dagangan. Ada juga yang datang masirah mau "cuci mata", jalan-jalan, ketemu banyak orang alias reunian.
Nah... karenanya, telisik lagi lebih dalam sekaligus mempertanyakan kenapa ya... aku mesti datang dan ikut masirah? Apakah tidak boleh datang masirah dengan motivasi seperti tadi? Boleh saja. Namun hal ini akan berakibat lebih lanjut pada keadaan kita saat menjalani masirah.
Masirah merupakan aktivitas yang cukup berat. Berjalan kaki dengan rute yang cukup jauh, berjemur di bawah terik matahari surabaya yang cukup panas, atau malah kuyup diguyur hujan. Belum lagi polusi asap kendaraan yang menyesakkan. Semua itu berpotensi merontokkan stamina, apalagi dalam kondisi tubuh tidak fit. Namun, hal itu rela dilakukan semata karena menyuarakan kebenaran. Tentu ini semua membutuhkan motivasi super. Dorongan terbaik agar terus bisa bertahan dalam kondisi yang tidak nyaman.
Kenapa banyak peserta masirah malah duduk-duduk, nongkrong sambil ngerumpi trus makan di pinggir jalan. Menurut hematku, ini karena motivasi yang mendorong mereka berangkat masirah masih harus dipertanyakan.
Jujur saja, sepanjang aku ikut masirah, momen kali inilah yang paling berkesan. Kenapa? Sebelum masirah ini berlangsung, aku telah membaca beberapa berita terkait RUU ORMAS. Kontak dengan beberapa tokoh di daerah tempat kami tinggal. Berdiskusi dengan mereka sehingga memicu pikiran dan rasaku agar segera bertindak.
Jangan-jangan ini masirah terakhirku. Jangan-jangan setelah ini tak ada lagi pekik takbir yang bisa kudengar dan kuteriakkan. Terbayanglah di mata bagaimana kekejaman rezim orde baru yang menelikung aspirasi umat Islam dengan asas tunggalnya. Apakah ini akan berulang? Oh no... tidak akan kami biarkan.
Kesadaran ini, ditambah dengan niatan ikhlas lillah semata, akan memunculkan kekuatan dahsyat yang bahkan mungkin tak terbayangkan sebelumnya. Kekuatan inilah yang melingkupi kaum muslimin generasi awal, sehingga dapat menaklukkan berbagai hambatan dakwah meski jumlah dan kekuatan mereka sangat diremehkan orang kala itu.
Karenanya, pastikan bahwa niatan kita ikut masirah murni untuk meraih ridha Allah saja. bukan karena motivasi yang lain. Sayang sekali kan, kalau sudah mengorbankan waktu, tenaga, pikiran eh malah tidak bernilai kebaikan di sisi Allah Yang Maha Menetapkan.
Kedua, persiapan fisik. Yang tak kalah pentingnya untuk dipersiapkan adalah fisik. Kondisi fisik yang prima akan membuat aksi masirah berjalan maksimal. Karenanya, sebagai pengemban dakwah, kita harus pandai-pandai menjaga kesehatan badan. Makan teratur, olahraga dan istirahat yang cukup akan membuat kita tidak gampang jatuh sakit.
Memang benar sakit adalah qadha Allah, namun kondisi prasakit merupakan pilihan kita (terkait hal ini insya Allah akan dibuat tulisan khusus). Jangan sampai, aksi masirah malah justru mendapat kecaman dari pihak luar, karena menimbulkan banyak korban. Hehe bukan korban kekerasan ya, tapi karena banyak yang jatuh pingsan.
Ketiga, persiapan bekal. Ini terutama bagi yang membawa bayi, anak-anak dan juga orang tua. Sebisa mungkin, bawalah bekal sehat dari rumah. Karena aksi masirah biasanya tidak hanya dikawal oleh aparat kepolisian, tapi juga disertai oleh para pedangang kaki lima yang menawarkan aneka jajanannya. Kalau kita tidak menyiapkan bekal dari rumah, kita bisa rugi dua kali. Rugi merogoh kocek lebih dalam, dan—nah ini dia—rugi kesehatan.
Banyak pedagang makanan yang tidak care dengan kehalalan dan ke-thayyib-an makanan yang mereka jual. Ini fatal resikonya. Karenanya, sekiranya besok ada agenda masirah, maka sudah harus dirancang makanan apa yang akan dibawa sebagai bekal yang bisa dimakan setelah aksi selesai.
Oya, sebisa mungkin selama masirah berlangsung tidak ngobrol sendiri-sendiri. Jika ada teman yang ngobrol, ingatkanlah, agar situasi semakin kondusif.
Juga jangan duduk-duduk nongkrong, kita melakukan aksi bukan untuk beginian. Justru, kita harus tunjukkan sikap sebagaimana para ksatria pendahulu kita ketika melakukan hal yang sama.
Kalau mau makan, sebaiknya setelah acara ditutup. Kalau dari rumah sudah makan, insya Allah... belum ada kebutuhan untuk makan lagi kan. Kecuali kalo minum air, ya silahkan saja...
Refleksi setelah ikut masirah TOLAK RUU ORMAS
Taman Apsari, 07 April 2013
—Bunda Naufa
Masih dalam tema yang sama—menolak RUU ORMAS—hari ini pun kami ikut masirah untuk yang kedua kalinya. Yang berbeda adalah rutenya.
Start dari Grahadi depan Taman Apsari, barisan masirah melakukan long march menuju tugu Bambu Runcing (hehe aku nggak tau namanya, cuma bentuknya persis seperti senjata perang gerilya tempo doeloe), lalu memutar ke Karapan Sapi, terus menyusuri jalan Basuki Rahmat, Tunjungan Plasa dan finish di Taman Apsari lagi.
Hmm.. Total jarak tempuh masirah kali ini lebih dari 2 kilometer. Rute yang menurutku cukup jauh untuk seorang Naufa yang 14 Maret lalu baru genap tiga tahun. Tiga tahun silam, saat ia lahir bertepatan juga dengan aksi masirah tolak kedatangan Barack Obama ke Indonesia. Nostalgia... Barakallahu laki fiy ‘umrikiy ya ibnatiy ash-shalihah...
Banyak yang menyarankan agar kami menunggu saja di taman Apsari. Namun entahlah, aku bersikeras untuk ikut berjalan. Sebab masirah kali ini memang sangat istimewa menurutku. Bagaimana tidak, jika RUU ORMAS jadi disahkan, mungkin inilah masirah terakhir yang bisa aku ikuti.
Karenanya, aku ingin ikut berjalan kaki, meski harus menggendong Naura (18 bulan, adiknya Naufa) dan menuntun Naufa (3 tahun). Biasanya Naufa ikut ayahnya di barisan rijal (kalangan laki-laki). Namun kali ini tidak bisa, karena pagi harinya ayah Naufa mendapat amanah agar menyiapkan diri untuk berorasi.
Bismillah... Ya Allah... sekiranya ini masirah terakhirku, maka terimalah ia sebagai catatan amal shalih di penghujung kehidupanku. Aamiin...
Barisan peserta masirah berderet panjang. Seperti barisan tentara menuju medan perang. Pekik takbir, bendera al-liwa dan ar-raya yang berkibar, orasi dari para ustadz yang sangat menggetarkan jiwa. Subhanallah...
Memoriku melayang saat kemarin aku dan suamiku nonton bareng film Umar Bin Khattab episode perang Badar, perang Uhud, perang Ahzab dan peperangan lainnya. Mungkin ada kemiripan. Bedanya adalah, kali ini bukan berperang, namun menyeru penguasa dzalim agar kembali kejalan yang benar.
Menurutku, persiapan masirah hampir sama dengan persiapan perang. Ada banyak hal yang harus disiapkan. Agar masirah tidak menjadi aktivitas tanpa makna atau malah berakhir sia-sia.
Pertama, persiapan niat. Bicara soal niat, ini terkait dengan motivasi. Motivasi juga macam-macam. Ada yang karena mau dapat materi (qimah maadiyyah), ada yang karena mau dapat kepuasan nurani (qimah maknawiyyah), ada juga yang semata karena ilahi (qimah ruhiyyah).
Ada lho, yang datang ke masirah semata-mata cuma mau jualan. Bukannya khusyuk ikut long march, atau mendengarkan orasi, eeh... malah sibuk gelar dagangan. Ada juga yang datang masirah mau "cuci mata", jalan-jalan, ketemu banyak orang alias reunian.
Nah... karenanya, telisik lagi lebih dalam sekaligus mempertanyakan kenapa ya... aku mesti datang dan ikut masirah? Apakah tidak boleh datang masirah dengan motivasi seperti tadi? Boleh saja. Namun hal ini akan berakibat lebih lanjut pada keadaan kita saat menjalani masirah.
Masirah merupakan aktivitas yang cukup berat. Berjalan kaki dengan rute yang cukup jauh, berjemur di bawah terik matahari surabaya yang cukup panas, atau malah kuyup diguyur hujan. Belum lagi polusi asap kendaraan yang menyesakkan. Semua itu berpotensi merontokkan stamina, apalagi dalam kondisi tubuh tidak fit. Namun, hal itu rela dilakukan semata karena menyuarakan kebenaran. Tentu ini semua membutuhkan motivasi super. Dorongan terbaik agar terus bisa bertahan dalam kondisi yang tidak nyaman.
Kenapa banyak peserta masirah malah duduk-duduk, nongkrong sambil ngerumpi trus makan di pinggir jalan. Menurut hematku, ini karena motivasi yang mendorong mereka berangkat masirah masih harus dipertanyakan.
Jujur saja, sepanjang aku ikut masirah, momen kali inilah yang paling berkesan. Kenapa? Sebelum masirah ini berlangsung, aku telah membaca beberapa berita terkait RUU ORMAS. Kontak dengan beberapa tokoh di daerah tempat kami tinggal. Berdiskusi dengan mereka sehingga memicu pikiran dan rasaku agar segera bertindak.
Jangan-jangan ini masirah terakhirku. Jangan-jangan setelah ini tak ada lagi pekik takbir yang bisa kudengar dan kuteriakkan. Terbayanglah di mata bagaimana kekejaman rezim orde baru yang menelikung aspirasi umat Islam dengan asas tunggalnya. Apakah ini akan berulang? Oh no... tidak akan kami biarkan.
Kesadaran ini, ditambah dengan niatan ikhlas lillah semata, akan memunculkan kekuatan dahsyat yang bahkan mungkin tak terbayangkan sebelumnya. Kekuatan inilah yang melingkupi kaum muslimin generasi awal, sehingga dapat menaklukkan berbagai hambatan dakwah meski jumlah dan kekuatan mereka sangat diremehkan orang kala itu.
Karenanya, pastikan bahwa niatan kita ikut masirah murni untuk meraih ridha Allah saja. bukan karena motivasi yang lain. Sayang sekali kan, kalau sudah mengorbankan waktu, tenaga, pikiran eh malah tidak bernilai kebaikan di sisi Allah Yang Maha Menetapkan.
Kedua, persiapan fisik. Yang tak kalah pentingnya untuk dipersiapkan adalah fisik. Kondisi fisik yang prima akan membuat aksi masirah berjalan maksimal. Karenanya, sebagai pengemban dakwah, kita harus pandai-pandai menjaga kesehatan badan. Makan teratur, olahraga dan istirahat yang cukup akan membuat kita tidak gampang jatuh sakit.
Memang benar sakit adalah qadha Allah, namun kondisi prasakit merupakan pilihan kita (terkait hal ini insya Allah akan dibuat tulisan khusus). Jangan sampai, aksi masirah malah justru mendapat kecaman dari pihak luar, karena menimbulkan banyak korban. Hehe bukan korban kekerasan ya, tapi karena banyak yang jatuh pingsan.
Ketiga, persiapan bekal. Ini terutama bagi yang membawa bayi, anak-anak dan juga orang tua. Sebisa mungkin, bawalah bekal sehat dari rumah. Karena aksi masirah biasanya tidak hanya dikawal oleh aparat kepolisian, tapi juga disertai oleh para pedangang kaki lima yang menawarkan aneka jajanannya. Kalau kita tidak menyiapkan bekal dari rumah, kita bisa rugi dua kali. Rugi merogoh kocek lebih dalam, dan—nah ini dia—rugi kesehatan.
Banyak pedagang makanan yang tidak care dengan kehalalan dan ke-thayyib-an makanan yang mereka jual. Ini fatal resikonya. Karenanya, sekiranya besok ada agenda masirah, maka sudah harus dirancang makanan apa yang akan dibawa sebagai bekal yang bisa dimakan setelah aksi selesai.
Oya, sebisa mungkin selama masirah berlangsung tidak ngobrol sendiri-sendiri. Jika ada teman yang ngobrol, ingatkanlah, agar situasi semakin kondusif.
Juga jangan duduk-duduk nongkrong, kita melakukan aksi bukan untuk beginian. Justru, kita harus tunjukkan sikap sebagaimana para ksatria pendahulu kita ketika melakukan hal yang sama.
Kalau mau makan, sebaiknya setelah acara ditutup. Kalau dari rumah sudah makan, insya Allah... belum ada kebutuhan untuk makan lagi kan. Kecuali kalo minum air, ya silahkan saja...
Refleksi setelah ikut masirah TOLAK RUU ORMAS
Taman Apsari, 07 April 2013
—Bunda Naufa