Kakak- Adek Ketemu Gede
Assalamu’alaikum Wr. Wb,
Bunda, kenalin saya winda dari SMU 2 Bandar Lampung. Ada fasilitas dari sekolah nge-net gratis. Jadi ya... harus dimanfaatin dong. hehe. Hm... mau curhat nich Bun. Sebenarnya, Curhatannya panjang banget, tapi untuk nyingkat space, saya fikir kita langsung kepada duduk persoalannya aja ya. Intinya gini, Winda punya teman cewek. Sebut saja Ria. Doi tinggal sama orang lain yang sama sekali tidak ada hubungan kekerabatan denganya. Cuma dianggap saudara gitu. Kebetulah orang yang ditebengin sama Ria nich punya anak laki-laki. seusia dengan Ria. Sebut saja Ari.
Nah, Ari nich ternyata seorang ikhwan (aktif dirohis). Ria sebelumnya tidak tahu banyak tentang Islam. Tapi karena interaksinya dengan Ari, Ria jadi rada interest ama keislaman. Malah kabar terakhir, doi dah pake jilbab lho. Dan gabung ama Rohis en the genk. But ada yang nggak beres nih Bun, karena seringnya interaksi ama Ari, Ria jadi dianggap seperti adiknya sendiri. Sehingga Ria dan Ari sering becandaan, saling menggoda, dan tentunya saling curhatan. Kirim-kiriman sms bukan hal yang asing antara mereka berdua, pokoknya ya… ngerasanya kakak-adek gitu (emank boleh ya Bun?). Kalo Ari nggak nongolin batang hidungnya sekejab aja pasti Ria bakal kelimpungan nyari kesana-kemari. Resah mulai dirasakan Ria kalo nggak dapet candaan or guyonan dari Ari.
Ria kemudian mulai ngerasa aneh dengan interaksinya ama Ari. Doi jadi sering salah tingkah en serba salah. Pokoknya nggak enak deh. Menurut Winda sich, sebelum Bunda ngejawab pertanyaan ini, Bunda kudu renungin dulu kasus ini. hehe... Detektif Conan kalee. Nah yang mo Winda tanyain tuh, ada nggak sich hubungan kakak-adek ketemu gede dalam pandangan Islam?, en musti bersikap apa nich? Jazakillah ya Bunda atas jawabannya. ^_^
Wassalam
Windaxxx@yahoo.com
*********
Wa’alaikum salam Wr. Wb
Ba’da tahmid wa sholawat. Apa kabar Winda? Bunda harap kamu dalam kondisi sehat wal afiat ya... amiiin. Kemarin Bunda dah baca surat kamu. Dan seperti katamu, Bunda coba renungi sebenarnya apa yang tengah temanmu alami. Hm…bunda sering lho denger temen-temen akhwat bilang gini: “Eh, dia itu udah kayak kakak ku sendiri kok!”. Kalimat ini biasanya terlontar untuk mengomentari seorang ikhwan yang dianggap lebih tua. Sebaliknya juga ada ikhwan yang bilang: “Oh dia sich udah seperti adik sendiri aja.” Nah kalo yang ini untuk menyebut akhwat bukan mahram yang usianya lebih muda.
Sebenarnya nggak maslah sih kalau sekedar bentuk penghargaan, penghormatan, atau sebutan sebagaimana saudara sesama muslim. Kita biasanya menyebut yang lebih tua sebagai: “Mbak”, “Teteh”, “Mas”, “Kak”, “Uda”, “Abang” atau memanggil yang lebih muda sebagai: “Dik”, “Akhi”, “Ukhti” dll. Saya rasa ini adalah hal yang wajar dalam kehidupan kita sehari-hari. Apalagi untuk Indonesia yang secara culture menganggap seseorang kurang sopan bila memanggil orang yang lebih tua hanya namanya saja. Tanpa embel-embel sebutan-sebutan tadi. Tapi, yang Bunda lihat cukup menjadi ‘masalah’ adalah ketika penyebutan “kakak”, atau “Adik” ini berimbas pada interaksi keduanya. Misalnya sang adik angkat kalo bicara dengan kakak angkatnya jadi terkesan lebih manja, lebih akrab bahkan kadang-kadang suka curhat sama yang disebut kakak tadi. Padahal keduanya lawan jenis yang bukan mahram.
Winda, Islam sebagai sebuah agama yang sempurna, telah mengatur masalah pergaulan antar pria dan wanita. Aturan ini dimulai sejak pria dan wanita bertemu. Kemudian berinteraksi. Bahkan bila berlanjut kepada interaksi-interaksi berikutnya. Pengaturan ini bersifat memecahkan persoalan yang timbul atau yang berkemungkinan timbul dengan adanya interaksi tersebut. Pemecahan ini nggak mungkin dibuat oleh akal manusia. Yang lemah dan sangat terbatas. Karenanya, aturan pergaulan selalu dikembalikan kepada Allah saja sebagai yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur.
Mengenai mahram dan bukan mahram, penyebutan inipun sudah menunjukkan adanya pengaturan tersendiri. Mahram adalah mereka yang haram dinikahi, baik karena hubungan darah, persusuan, maupun sebab perkawinan. Al-Qur’an menyebutkan para mahram ini (dari kalangan wanitanya) secara jelas.
Allah berfirman: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS.an-Nisaa’[4]:22-24)
Sementara itu ada beberapa hadis yang menjelaskan tentang siapa saja yang juga termasuk mahram. Yakni mereka yang memiliki hubungan persususan, dan sebab perkawinan. Penyetaraan hubungan darah dengan persusuan terdapat dalam hadis Rasulallah: “Sesungguhnya persusuan itu (akan) mengharamkan apa yang diharamkan melalui (sebab) kelahiran” (HR.Muslim), begitu juga dengan hubungan perkawinan. Ini semisal mertua, selamanya para mertua haram dinikahi menantunya, sekalipun menantu itu sudah bercerai dengan anaknya.
Winda, adanya perbedaan aturan antara mereka yang mahram dengan yang non mahram bisa dilihat dari: Pertama, haram lho menampakkan tempat-tempat perhiasan (misal rambut, leher, lengan, betis) kepada laki-laki dewasa manapun selain mahramnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an.
Allah berfirman: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur[24]:31).
Berdasarkan nash ini para mahram memiliki pengecualian yakni boleh melihat rambut, leher, lengan atau betis.
Kedua, haram juga lho seorang wanita melakukan safar (Perjalanan sehari semalam) tanpa ditemani mahram. Rasulallah bersabda: “tidak diperbolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan selama seharti semalam kecuali ditemani mahramnya”.
Berarti boleh melakukan safar jika ditemani oleh mahramnya.
Ketiga, larangan kholwat dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Kholwat adalah berkumpulnya seorang pria dan seorang wanita di suatu tempat yang tidak memberikan kemungkinan orang lain untuk bergabung dengan keduanya kecuali dengan izin keduanya (Syaik Taqiyyudin an-Nabhani, dalam an-Nidhom al-Ijtima’I fii al-Islam).
Rasulallah bersabda: “tidak diperbolehkan seorang wanita dan seorang pria berkholwat, kecuali jika wanita itu ditemani mahramnya”.
Untuk itu, berdiam diri di suatu rumah atau tempat bersama seorang mahram tidak terkategori kholwat. Sebaliknya, bila hal itu dilakukan dengan orang yang bukan mahramnya, maka terkategori kholwat. Islam melarang dengan tegas setiap bentuk kholwat
Winda sayang, Islam sangat menjaga kehormatan dan kemuliaan umatnya. Islam telah mengatur agar hubungan kerjasama antar laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya hendaknya bersifat umum dalam urusan-urusan mu’amalah. Itulah sebabnya laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya tidak boleh saling mengunjungi (walaupun dengan alasan seperti kakak kepada adik).
Tidak boleh pula jalan-jalan atau makan-makan bareng. Misalnya rekreasi, makan bakso atau jajan somay dll. Gimana kalau ramean? Misal yang dianggap kakak dua orang, dan yang dianggap adik tiga orang? Sama saja.
Islam memisahkan komunitas wanita dengan komunitas laki-laki. Kalaupun ada kebolehan interaksi, itupun hanya untuk muamalah. Seperti jual beli, sewa menyewa, kerjasama bisnis, pendidikan (belajar mengajar), kedokteran dan amar ma’ruf nahiy munkar. Pelaksaannya diatur dalam rambu-rambu syari’at.
Nah winda, melihat adanya perbedaan hukum antara mahram dan non mahram, Winda akan tahu bahwa kita nggak bakal bisa menyamakan perlakuan non mahram dengan mahram. Kalau kemudian kita menyamakan perlakuan kepada orang yang bukan mahram kita, yakni seperti kakak sendiri, maka akan terbuka peluang pelanggaran hukum syara’ yaitu aturan-aturan Allah SWT.
Jangan-jangan kelak malah menghalalkan apa yang sudah diharamkan atau mengharamkan apa yang sudah dihalalkan. Misal mengharamkan menikah dengan seseorang yang dianggap sebagai seorang kakak padahal Allah telah menghalalkanya. atau menghalalkan berduaan dengan yang dianggap kakak padahal itu jelas haram. Intinya anggapan tidak boleh mengubah status hukum.
Winda manis, bergaul dengan non mahram harus dengan batas-batas syari’at. Kalaupun hanya sekedar penghormatan dengan menyebut “kakak” boleh-boleh saja. Tapi tetap tidak boleh kholwat. Harus menundukkan pandangan dan hanya berinteraksi dalam urusan yang dibolehkan untuk berinteraksi.
Demikianlah semoga bisa membantu dan semoga kita bisa tetap istiqomah berpegang teguh pada aturan-Nya. Amin. Allahua’lam. Jika ingin konsultasi silahkan kirim email ke ummunaufa@gmail.com [bunda naufa]
Bunda, kenalin saya winda dari SMU 2 Bandar Lampung. Ada fasilitas dari sekolah nge-net gratis. Jadi ya... harus dimanfaatin dong. hehe. Hm... mau curhat nich Bun. Sebenarnya, Curhatannya panjang banget, tapi untuk nyingkat space, saya fikir kita langsung kepada duduk persoalannya aja ya. Intinya gini, Winda punya teman cewek. Sebut saja Ria. Doi tinggal sama orang lain yang sama sekali tidak ada hubungan kekerabatan denganya. Cuma dianggap saudara gitu. Kebetulah orang yang ditebengin sama Ria nich punya anak laki-laki. seusia dengan Ria. Sebut saja Ari.
Nah, Ari nich ternyata seorang ikhwan (aktif dirohis). Ria sebelumnya tidak tahu banyak tentang Islam. Tapi karena interaksinya dengan Ari, Ria jadi rada interest ama keislaman. Malah kabar terakhir, doi dah pake jilbab lho. Dan gabung ama Rohis en the genk. But ada yang nggak beres nih Bun, karena seringnya interaksi ama Ari, Ria jadi dianggap seperti adiknya sendiri. Sehingga Ria dan Ari sering becandaan, saling menggoda, dan tentunya saling curhatan. Kirim-kiriman sms bukan hal yang asing antara mereka berdua, pokoknya ya… ngerasanya kakak-adek gitu (emank boleh ya Bun?). Kalo Ari nggak nongolin batang hidungnya sekejab aja pasti Ria bakal kelimpungan nyari kesana-kemari. Resah mulai dirasakan Ria kalo nggak dapet candaan or guyonan dari Ari.
Ria kemudian mulai ngerasa aneh dengan interaksinya ama Ari. Doi jadi sering salah tingkah en serba salah. Pokoknya nggak enak deh. Menurut Winda sich, sebelum Bunda ngejawab pertanyaan ini, Bunda kudu renungin dulu kasus ini. hehe... Detektif Conan kalee. Nah yang mo Winda tanyain tuh, ada nggak sich hubungan kakak-adek ketemu gede dalam pandangan Islam?, en musti bersikap apa nich? Jazakillah ya Bunda atas jawabannya. ^_^
Wassalam
Windaxxx@yahoo.com
*********
Wa’alaikum salam Wr. Wb
Ba’da tahmid wa sholawat. Apa kabar Winda? Bunda harap kamu dalam kondisi sehat wal afiat ya... amiiin. Kemarin Bunda dah baca surat kamu. Dan seperti katamu, Bunda coba renungi sebenarnya apa yang tengah temanmu alami. Hm…bunda sering lho denger temen-temen akhwat bilang gini: “Eh, dia itu udah kayak kakak ku sendiri kok!”. Kalimat ini biasanya terlontar untuk mengomentari seorang ikhwan yang dianggap lebih tua. Sebaliknya juga ada ikhwan yang bilang: “Oh dia sich udah seperti adik sendiri aja.” Nah kalo yang ini untuk menyebut akhwat bukan mahram yang usianya lebih muda.
Sebenarnya nggak maslah sih kalau sekedar bentuk penghargaan, penghormatan, atau sebutan sebagaimana saudara sesama muslim. Kita biasanya menyebut yang lebih tua sebagai: “Mbak”, “Teteh”, “Mas”, “Kak”, “Uda”, “Abang” atau memanggil yang lebih muda sebagai: “Dik”, “Akhi”, “Ukhti” dll. Saya rasa ini adalah hal yang wajar dalam kehidupan kita sehari-hari. Apalagi untuk Indonesia yang secara culture menganggap seseorang kurang sopan bila memanggil orang yang lebih tua hanya namanya saja. Tanpa embel-embel sebutan-sebutan tadi. Tapi, yang Bunda lihat cukup menjadi ‘masalah’ adalah ketika penyebutan “kakak”, atau “Adik” ini berimbas pada interaksi keduanya. Misalnya sang adik angkat kalo bicara dengan kakak angkatnya jadi terkesan lebih manja, lebih akrab bahkan kadang-kadang suka curhat sama yang disebut kakak tadi. Padahal keduanya lawan jenis yang bukan mahram.
Winda, Islam sebagai sebuah agama yang sempurna, telah mengatur masalah pergaulan antar pria dan wanita. Aturan ini dimulai sejak pria dan wanita bertemu. Kemudian berinteraksi. Bahkan bila berlanjut kepada interaksi-interaksi berikutnya. Pengaturan ini bersifat memecahkan persoalan yang timbul atau yang berkemungkinan timbul dengan adanya interaksi tersebut. Pemecahan ini nggak mungkin dibuat oleh akal manusia. Yang lemah dan sangat terbatas. Karenanya, aturan pergaulan selalu dikembalikan kepada Allah saja sebagai yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur.
Mengenai mahram dan bukan mahram, penyebutan inipun sudah menunjukkan adanya pengaturan tersendiri. Mahram adalah mereka yang haram dinikahi, baik karena hubungan darah, persusuan, maupun sebab perkawinan. Al-Qur’an menyebutkan para mahram ini (dari kalangan wanitanya) secara jelas.
Allah berfirman: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS.an-Nisaa’[4]:22-24)
Sementara itu ada beberapa hadis yang menjelaskan tentang siapa saja yang juga termasuk mahram. Yakni mereka yang memiliki hubungan persususan, dan sebab perkawinan. Penyetaraan hubungan darah dengan persusuan terdapat dalam hadis Rasulallah: “Sesungguhnya persusuan itu (akan) mengharamkan apa yang diharamkan melalui (sebab) kelahiran” (HR.Muslim), begitu juga dengan hubungan perkawinan. Ini semisal mertua, selamanya para mertua haram dinikahi menantunya, sekalipun menantu itu sudah bercerai dengan anaknya.
Winda, adanya perbedaan aturan antara mereka yang mahram dengan yang non mahram bisa dilihat dari: Pertama, haram lho menampakkan tempat-tempat perhiasan (misal rambut, leher, lengan, betis) kepada laki-laki dewasa manapun selain mahramnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an.
Allah berfirman: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur[24]:31).
Berdasarkan nash ini para mahram memiliki pengecualian yakni boleh melihat rambut, leher, lengan atau betis.
Kedua, haram juga lho seorang wanita melakukan safar (Perjalanan sehari semalam) tanpa ditemani mahram. Rasulallah bersabda: “tidak diperbolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan selama seharti semalam kecuali ditemani mahramnya”.
Berarti boleh melakukan safar jika ditemani oleh mahramnya.
Ketiga, larangan kholwat dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Kholwat adalah berkumpulnya seorang pria dan seorang wanita di suatu tempat yang tidak memberikan kemungkinan orang lain untuk bergabung dengan keduanya kecuali dengan izin keduanya (Syaik Taqiyyudin an-Nabhani, dalam an-Nidhom al-Ijtima’I fii al-Islam).
Rasulallah bersabda: “tidak diperbolehkan seorang wanita dan seorang pria berkholwat, kecuali jika wanita itu ditemani mahramnya”.
Untuk itu, berdiam diri di suatu rumah atau tempat bersama seorang mahram tidak terkategori kholwat. Sebaliknya, bila hal itu dilakukan dengan orang yang bukan mahramnya, maka terkategori kholwat. Islam melarang dengan tegas setiap bentuk kholwat
Winda sayang, Islam sangat menjaga kehormatan dan kemuliaan umatnya. Islam telah mengatur agar hubungan kerjasama antar laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya hendaknya bersifat umum dalam urusan-urusan mu’amalah. Itulah sebabnya laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya tidak boleh saling mengunjungi (walaupun dengan alasan seperti kakak kepada adik).
Tidak boleh pula jalan-jalan atau makan-makan bareng. Misalnya rekreasi, makan bakso atau jajan somay dll. Gimana kalau ramean? Misal yang dianggap kakak dua orang, dan yang dianggap adik tiga orang? Sama saja.
Islam memisahkan komunitas wanita dengan komunitas laki-laki. Kalaupun ada kebolehan interaksi, itupun hanya untuk muamalah. Seperti jual beli, sewa menyewa, kerjasama bisnis, pendidikan (belajar mengajar), kedokteran dan amar ma’ruf nahiy munkar. Pelaksaannya diatur dalam rambu-rambu syari’at.
Nah winda, melihat adanya perbedaan hukum antara mahram dan non mahram, Winda akan tahu bahwa kita nggak bakal bisa menyamakan perlakuan non mahram dengan mahram. Kalau kemudian kita menyamakan perlakuan kepada orang yang bukan mahram kita, yakni seperti kakak sendiri, maka akan terbuka peluang pelanggaran hukum syara’ yaitu aturan-aturan Allah SWT.
Jangan-jangan kelak malah menghalalkan apa yang sudah diharamkan atau mengharamkan apa yang sudah dihalalkan. Misal mengharamkan menikah dengan seseorang yang dianggap sebagai seorang kakak padahal Allah telah menghalalkanya. atau menghalalkan berduaan dengan yang dianggap kakak padahal itu jelas haram. Intinya anggapan tidak boleh mengubah status hukum.
Winda manis, bergaul dengan non mahram harus dengan batas-batas syari’at. Kalaupun hanya sekedar penghormatan dengan menyebut “kakak” boleh-boleh saja. Tapi tetap tidak boleh kholwat. Harus menundukkan pandangan dan hanya berinteraksi dalam urusan yang dibolehkan untuk berinteraksi.
Demikianlah semoga bisa membantu dan semoga kita bisa tetap istiqomah berpegang teguh pada aturan-Nya. Amin. Allahua’lam. Jika ingin konsultasi silahkan kirim email ke ummunaufa@gmail.com [bunda naufa]