Self View dan Self Value

Self View dan Self Value

Self View dan Self Value
Self View dan Self Value — Istilah ini baru aku pahami. Aku ingin realisasikannya dalam ranah kehidupanku, tapi aku tak tahu. Aku baru tahu ternyata ada 2 paradigma tentang diri dan amalku.

Pertama aku sebagai subjek (pelaku). Inilah yang aku kenal—dari suamiku—sebagai self view. Dan yang kedua adalah aku sebagai objek. Aku berperan sebagai dua hal, pelaku dan pengamatnya secara sekaligus. Disinilah berlaku keobjektivitasan diriku. Aku harus melepaskan sekat-sekat perasaan ‘aku’, aku harus melihat ‘aku’ sebagai sosok umum yang harus mendapatkan penilaian dari diriku, belakangan aku mengetahuinya sebagai self Value.

Berada di area yang pertama sudah menjadi kebiasaanku. Di area ini aku begitu dimanjakan. Tak jarang aku hanya berjibaku dengan perasaanku sebagai ‘aku’ melulu. Aku banyak menghabiskan waktu, tenaga, pikiran, dan dana untuk area ini. Salahkah aku? Aku sering membela diriku dengan menimang segala rasa yang seringnya menjerumuskan aku pada jurang kegetiran, kekecewaan.

Di area inilah, aku dengan pandanganku yang umum disebut "kacamata kuda" berlari kencang, terkadang harus mengorbankan akal sehat dan logika yang jelas. Aku memutuskan penilaian orang terhadapku, sebelum orang tersebut secara nyata memberiku nilai tertentu.

Aku, jika mengikuti apa yang sesuai dengan sudut pandangku, rasa-rasanya tiada hari tanpa stress, ya, aku tertekan. Sebab itulah berbagai-bagai penyakit mudah masuk dalam tubuh yang ringkih ini. Banyak hal, yang membuat aku selalu ingin kesal. Padahal aku memahami konsepsi dasar manusia. Tapi pada tataran praktis, aplikasi teori yang telah diketahui menjadi sesuatu yang utopi. Memandang peristiwa dengan satu kacamata menjadikan aku kehilangan solusi tuntas dan aku cenderung lebih emosional plus 'lebay'.

Memandang masalah dari sudut pandang 'aku' semakin membuatku egois. Aku tidak mempertimbangkan faktor lain di luar aku. Padahal di sekitarku banyak orang yang mungkin saja mereka merasakan hal yang sama dengan diriku. Tapi karena aku tidak mau keluar dari sekat individualisme, jargon yang selanjutnya keluar adalah, tuntutan untuk dipahami. Pahamilah aku apa adanya… Pahamilah aku teman… Padahal di luar sana, orang lain tengah melakukan hal yang sama. Berlomba untuk menuntut haknya terpenuhi. Pahami lah aku kawan…

Alih-alih pemahaman yang dimaksud dapat direalisasikan, yang ada justru, ketiadaan pemenuhan pengertian dan pemahaman. Sehingga kegelisahan merajalela dimana-mana. Tuntutan untuk dapat mengerti diri masing-masing membomb masyarakat kita. Hmm... jika yang terjadi sudah begitu, maka kegelisahan, keresahan, kekesalan menjulang bak gunung es emosi yang siap untuk meletus kapan saja. Sungguh… aku ingin mengeluarkan diriku darinya.

Berbeda 180 derajat, self value adalah menilai diriku dari luar. Aku seolah terbang ke atas melihat diriku sendiri. Jika ini kulakukan, mencoba menjadi orang lain dan menilai secara utuh diriku yang tengah berjibaku dengan rasaku, aku jadi malu... Betapa kekanakannya aku. Padahal usia sudah hampir kepala 3. Namun, kenapa masih seperti anak kemarin sore.

Hahaha... aku jadi tertawa, ternyata aku tak jauh berbeda dengan anak-anak te-ka yang nesu kalo keinginannya nggak terpenuhi. Hahaha... aku sungguh menertawai diriku sendiri, hanya gara-gara masalah kecil kukorbankan segalanya. Waaah... kenapa nggak dari dulu aku keluar dari self view dan beralih ke self value yak! Andaikan semua orang berfikir begitu, indahnya dunia! Be hapy setiap hari :-) [uni]

Related

Dakwah 2059811832355870973

Post a Comment

emo-but-icon

Tulisan Unggulan

Sebulan Bisa Hafal Satu Juz?

Hafalan Al-Qur'an Yuuuk Saya memulai jadwal tahfidz harian ba'da shubuh. Saat suasana masih sangat tenang, Goma masih lelap ...

Catatan Terbaru

item