Rumahku Syurgaku
Punya rumah sendiri buat yang sudah berkeluarga tentu adalah hal yang sangat diimpikan. Rumah adalah sekolah pertama bagi anak-anak sebelu...
Punya rumah sendiri buat yang sudah berkeluarga tentu adalah hal yang sangat diimpikan. Rumah adalah sekolah pertama bagi anak-anak sebelum mereka memasuki jenjang sekolah umum.
Disanalah tempat bersemai generasi penerus. Disana pula canda tawa dirajut. Pun ranah privasi akan semakin terjaga bila ada di dalam rumah sendiri. Sayangnya, tinggal di kota besar seperti Surabaya, meniscayakan uang yang banyak untuk bisa punya rumah sendiri. minimal ada 200 an juta untuk tipe biasa.
Karena belum punya dana yang cukup untuk beli rumah sendiri, akhirnya aku dan suamiku memilih untuk menjadi kontraktor sejati. Maksudnya, ngontrak kesana kemari. Waktu baru pindah ke surabaya, aku berisi keras untuk ngontrak rumah di perum IKIP gunung anyar. Dua tahun lalu harganya masih 5 juta pertahun. Itupun karena si empunya rumah adalah dosen suamiku, makanya dikasih harga segitu—harga mahasiswa.
Tahun berikutnya harga dinaikkan menjadi 6 juta. Aku dan suamiku berfikir ulang untuk melanjutkan kontrak rumah tersebut. Kami pindah tempat, cari rumah yang harganya paling tidak sama dengan sebelumnya. Maklum, kocek mahasiswa begitu bisa diukur kedalamannya.
Ditempat yang baru, kami hanya mengontrak 1/2 tahun. Setelah itu move lagi. Kali ini kami memutuskan untuk mengontrak rumah kecil tapi yang bisa dibayar bulanan. Alhamdulillah... kami dapat. Ruangan ukuran 3 x 5m. Terbagi menjadi tiga ruangan. Ruang tamu, kamar tidur dan dapur. Aku sangat bersyukur bisa bertemu dengan rumah mungil itu. Meski tempat jemuran dan kamar mandi harus berbagi dengan dua penghuni kos yang ada di lantai dua, privasi kami cukup terjaga. Kesyukuranku bertambah, karena kami tidak harus mengeluarkan uang berbilang juta di muka. 450rb per bulan cukup membuat kami dapat bernafas teratur.
Kami sangat betah di tempat tersebut. Udaranya segar (karena fentilasinya cukup banyak), bersih, asri dan aman untuk area bermain anak-anak. Sayangnya, penghuni kos yang lain (termasuk pemilik kos yang rumahnya bersebelahan dengan tempat tersebut) justru yang nggak betah. Apa pasal? tangis dua bayi kamilah yang membuat mereka tidak nyaman. terkadang mereka harus mengungsi kerumah teman, atau kerabat nya demi dapat beristirahat. Akhirnya, ibu kos memanggil kami, dan meminta kami untuk pindah sesegera mungkin. Aku menangis.... hatiku seperti teriris mendengar kata-katanya... ya Allah... sebegitu dholimkah suara tangis anak kami menggagu mereka.
Kami pun terpaksa pindah. Mau kemana? Entahlah... sementara sanak kerabat tak ada disini. Kami memang merantau sejak 2 tahun yang lalu. Suamiku memutuskan kuliah bahasa arab di salah satu ma'had kota pahlawan ini. Sebagai istri, tentunya aku harus taat dan ikut kemana saja ia pergi. Ia adalah seperuh nafasku. Bagaimanapun keadaannya, aku akan tetap ada disisinya.
Saat itu, menjelang hari raya. Kami bergegas mencari tempat baru yang bisa dijadikan tempat tinggal meski sementara. Hari raya tinggal tujuh hari lagi, banyak penduduk Surabaya yang sudah mudik. Setelah berkeliling siwalan kerto, ada satu kamar kosan yang kosong dan harganya cuma 200rb/bulan. Namun, setelah melihat kondisinya, suamiku tak mau mengambilnya. Katanya "tak baik untuk anak-anak kita" ya, aku percaya sepenuhnya, ia ngin berikan yang terbaik untuk kami, keluarganya.
Setelah hampir putus asa, kami pun beristirahat di sebuah masjid di daerah siwalan kerto timur. Kupeluk Naura (8bulan) erat-erat, sementara Naufa (2tahun 4 bulan) berlari mengejar ayahnya ke area wudhu. Kulihat suamiku berbincang dengan seorang bapak tua, rambutnya beruban dan wajahnya sudah keriput. Setelah agak lama mereka berbincang, suamiku kembali menghampiriku.
"Kita ditawari kos di tempat Pak Leman, katanya rumahnya besar tapi tak ada yang menunggu" Ya Allah... seketika itu, air mataku tumpah. Di ujung keputus asaan kami, Engkau memberi secercah harapan ya Rabb... Kupandangi dua buah hatiku, kuusap lembut keduanya lalu ku kecup. tenanglah sayang... malam ini kita ada tempat bermalam.
Rumah itu memang besar sekali. 4 kamar tidur 1 ruang tamu, ruang keluarga, dapur dan kamar mandi yang sungguh sangat besar untuk ukuranku. Pak Leman dan Istrinya sudah tua. Mereka punya 4 orang anak. Kesemuanya sudah menikah dan punya rumah sendiri. Ada 1 orang yang belum menikah tapi ia kuliah di luar kota dan nyaris tak pernah pulang kecuali hari raya. Rumah sebesar itu hanya ditinggali oleh mereka berdua dan satu orang gadis yang nge kos 1 kamar. Kami ditawari 1 kamar dengan harga sewa yang murah meriah, 350rb/bulan nya sudah termasuk listrik dan air.
Sebenarnya hatiku maju mundur menerima tawaran tersebut. Bukan apa-apa, baru saja kami dipaksa untuk pindah karena penghuni lain terganggu kenyamanan oleh jerit tangis anak-anakku. Padahal, kami tak tinggal serumah. Apatah lagi kali ini yang tinggal satu rumah? Namun, suamiku membujukku dan meyakinkanku bahwa itu tak akan terjadi. Tipe pemilik kos yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Nampaknya kali ini mereka lebih bisa bersabar dengan suara tangisan anak-anak. Aku mengangguk, lagipula kemana lagi kami mau cari tempat sementara malam itu juga diberi tangguh waktu sampai jam 8 malam. Gelisah hatiku kuabaikan, aku pasti bisa melampauinya.
Belum genap sebulan kami tinggal di rumah Pak Leman, suamiku di panggil dan di minta untuk pindah karena kamar tersebut akan di tempati anaknya. Kami diberi tangguh 1 minggu sejak saat itu untuk cari tempat baru. Ya Allah... dugaan ku benar. mereka sungguh tak tahan dengan suara rengekan, tangisan dan jeritan ke dua putriku saat rewel.
hingga hari H, kami belum juga dapat kosan. Pintu kamar di ketuk keras-keras. Pak Leman mengancam suamiku akan melaporkan kami ke ketua RT setempat jika tak pindah saat itu juga. Suamiku hampir saja meluap emosinya, ia bicara denagn suara tertahan.
"Jika seperti ini ujungnya, kenapa tidak sejak awal saja kami dibolehkan ngekos disini. Tempo hari, bapak yang bilang, akan menganggap kami seperti anak bapak sendiri. anak-anak kami seperti cucu sendiri"
Aku tau suamiku sangat marah. Aku bersyukur dia termasuk orang yang bisa mengendalikan emosi. Baik, kami akan pindah sekarang juga! ia menangis di pangkuanku. baru kali itu sepenjang usia pernikahan kami ia menangis...
“Maafkan ayah, bunda... ayah selalu saja menyulitkan kalian.”
"Tenangklah sayang... kita akan pindah sekarang juga. Tenangkan dirimu. Kita cari penginapan untuk 2 malam ini, selebihnya nanti kita fikirkan lagi. Barang-barang kita yang banyak, kita titipkan di rumah salah seorang teman saja". Ia pun mengangguk. air mataku mengalir. entah mau bermalam dimana kami malam ini. Ya Allah tolonglah kami....
Kami pun, segera mencari carteran mobil bak terbuka untuk mengangkut barang barang. Suamiku tampak tenang. ia mengemas seluruh barang-barang kami dan mengangkutnya ke mobil. sesekali ia tapak menelfon teman nya.
Alhamdulillah... kami dapat tempat bermalam di rumah seorang teman yang berbaik hati menampung kami. Semoga Allah memberikan balasan dengan kebaikan yang berkali lipat padanya, aku tak kan melupakan kebaikan kalian pada kami...
Catatan ini saya buat dalam rangka mensyukuri nikmat yang Allah anugrahkan kepada kami hingga hari ini. bahwa pertolongan Allah begitu dekat. Bahwa Allah pergilirkan suka dan duka untuk manusia untuk menguji siapakah diantara kita yang paling baik amalnya. Bahwa Allah begitu sayang kepada hamba-Nya. dan bahwa kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau belaka.
Disanalah tempat bersemai generasi penerus. Disana pula canda tawa dirajut. Pun ranah privasi akan semakin terjaga bila ada di dalam rumah sendiri. Sayangnya, tinggal di kota besar seperti Surabaya, meniscayakan uang yang banyak untuk bisa punya rumah sendiri. minimal ada 200 an juta untuk tipe biasa.
Karena belum punya dana yang cukup untuk beli rumah sendiri, akhirnya aku dan suamiku memilih untuk menjadi kontraktor sejati. Maksudnya, ngontrak kesana kemari. Waktu baru pindah ke surabaya, aku berisi keras untuk ngontrak rumah di perum IKIP gunung anyar. Dua tahun lalu harganya masih 5 juta pertahun. Itupun karena si empunya rumah adalah dosen suamiku, makanya dikasih harga segitu—harga mahasiswa.
Tahun berikutnya harga dinaikkan menjadi 6 juta. Aku dan suamiku berfikir ulang untuk melanjutkan kontrak rumah tersebut. Kami pindah tempat, cari rumah yang harganya paling tidak sama dengan sebelumnya. Maklum, kocek mahasiswa begitu bisa diukur kedalamannya.
Ditempat yang baru, kami hanya mengontrak 1/2 tahun. Setelah itu move lagi. Kali ini kami memutuskan untuk mengontrak rumah kecil tapi yang bisa dibayar bulanan. Alhamdulillah... kami dapat. Ruangan ukuran 3 x 5m. Terbagi menjadi tiga ruangan. Ruang tamu, kamar tidur dan dapur. Aku sangat bersyukur bisa bertemu dengan rumah mungil itu. Meski tempat jemuran dan kamar mandi harus berbagi dengan dua penghuni kos yang ada di lantai dua, privasi kami cukup terjaga. Kesyukuranku bertambah, karena kami tidak harus mengeluarkan uang berbilang juta di muka. 450rb per bulan cukup membuat kami dapat bernafas teratur.
Kami sangat betah di tempat tersebut. Udaranya segar (karena fentilasinya cukup banyak), bersih, asri dan aman untuk area bermain anak-anak. Sayangnya, penghuni kos yang lain (termasuk pemilik kos yang rumahnya bersebelahan dengan tempat tersebut) justru yang nggak betah. Apa pasal? tangis dua bayi kamilah yang membuat mereka tidak nyaman. terkadang mereka harus mengungsi kerumah teman, atau kerabat nya demi dapat beristirahat. Akhirnya, ibu kos memanggil kami, dan meminta kami untuk pindah sesegera mungkin. Aku menangis.... hatiku seperti teriris mendengar kata-katanya... ya Allah... sebegitu dholimkah suara tangis anak kami menggagu mereka.
Kami pun terpaksa pindah. Mau kemana? Entahlah... sementara sanak kerabat tak ada disini. Kami memang merantau sejak 2 tahun yang lalu. Suamiku memutuskan kuliah bahasa arab di salah satu ma'had kota pahlawan ini. Sebagai istri, tentunya aku harus taat dan ikut kemana saja ia pergi. Ia adalah seperuh nafasku. Bagaimanapun keadaannya, aku akan tetap ada disisinya.
Saat itu, menjelang hari raya. Kami bergegas mencari tempat baru yang bisa dijadikan tempat tinggal meski sementara. Hari raya tinggal tujuh hari lagi, banyak penduduk Surabaya yang sudah mudik. Setelah berkeliling siwalan kerto, ada satu kamar kosan yang kosong dan harganya cuma 200rb/bulan. Namun, setelah melihat kondisinya, suamiku tak mau mengambilnya. Katanya "tak baik untuk anak-anak kita" ya, aku percaya sepenuhnya, ia ngin berikan yang terbaik untuk kami, keluarganya.
Setelah hampir putus asa, kami pun beristirahat di sebuah masjid di daerah siwalan kerto timur. Kupeluk Naura (8bulan) erat-erat, sementara Naufa (2tahun 4 bulan) berlari mengejar ayahnya ke area wudhu. Kulihat suamiku berbincang dengan seorang bapak tua, rambutnya beruban dan wajahnya sudah keriput. Setelah agak lama mereka berbincang, suamiku kembali menghampiriku.
"Kita ditawari kos di tempat Pak Leman, katanya rumahnya besar tapi tak ada yang menunggu" Ya Allah... seketika itu, air mataku tumpah. Di ujung keputus asaan kami, Engkau memberi secercah harapan ya Rabb... Kupandangi dua buah hatiku, kuusap lembut keduanya lalu ku kecup. tenanglah sayang... malam ini kita ada tempat bermalam.
Rumah itu memang besar sekali. 4 kamar tidur 1 ruang tamu, ruang keluarga, dapur dan kamar mandi yang sungguh sangat besar untuk ukuranku. Pak Leman dan Istrinya sudah tua. Mereka punya 4 orang anak. Kesemuanya sudah menikah dan punya rumah sendiri. Ada 1 orang yang belum menikah tapi ia kuliah di luar kota dan nyaris tak pernah pulang kecuali hari raya. Rumah sebesar itu hanya ditinggali oleh mereka berdua dan satu orang gadis yang nge kos 1 kamar. Kami ditawari 1 kamar dengan harga sewa yang murah meriah, 350rb/bulan nya sudah termasuk listrik dan air.
Sebenarnya hatiku maju mundur menerima tawaran tersebut. Bukan apa-apa, baru saja kami dipaksa untuk pindah karena penghuni lain terganggu kenyamanan oleh jerit tangis anak-anakku. Padahal, kami tak tinggal serumah. Apatah lagi kali ini yang tinggal satu rumah? Namun, suamiku membujukku dan meyakinkanku bahwa itu tak akan terjadi. Tipe pemilik kos yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Nampaknya kali ini mereka lebih bisa bersabar dengan suara tangisan anak-anak. Aku mengangguk, lagipula kemana lagi kami mau cari tempat sementara malam itu juga diberi tangguh waktu sampai jam 8 malam. Gelisah hatiku kuabaikan, aku pasti bisa melampauinya.
Belum genap sebulan kami tinggal di rumah Pak Leman, suamiku di panggil dan di minta untuk pindah karena kamar tersebut akan di tempati anaknya. Kami diberi tangguh 1 minggu sejak saat itu untuk cari tempat baru. Ya Allah... dugaan ku benar. mereka sungguh tak tahan dengan suara rengekan, tangisan dan jeritan ke dua putriku saat rewel.
hingga hari H, kami belum juga dapat kosan. Pintu kamar di ketuk keras-keras. Pak Leman mengancam suamiku akan melaporkan kami ke ketua RT setempat jika tak pindah saat itu juga. Suamiku hampir saja meluap emosinya, ia bicara denagn suara tertahan.
"Jika seperti ini ujungnya, kenapa tidak sejak awal saja kami dibolehkan ngekos disini. Tempo hari, bapak yang bilang, akan menganggap kami seperti anak bapak sendiri. anak-anak kami seperti cucu sendiri"
Aku tau suamiku sangat marah. Aku bersyukur dia termasuk orang yang bisa mengendalikan emosi. Baik, kami akan pindah sekarang juga! ia menangis di pangkuanku. baru kali itu sepenjang usia pernikahan kami ia menangis...
“Maafkan ayah, bunda... ayah selalu saja menyulitkan kalian.”
"Tenangklah sayang... kita akan pindah sekarang juga. Tenangkan dirimu. Kita cari penginapan untuk 2 malam ini, selebihnya nanti kita fikirkan lagi. Barang-barang kita yang banyak, kita titipkan di rumah salah seorang teman saja". Ia pun mengangguk. air mataku mengalir. entah mau bermalam dimana kami malam ini. Ya Allah tolonglah kami....
Kami pun, segera mencari carteran mobil bak terbuka untuk mengangkut barang barang. Suamiku tampak tenang. ia mengemas seluruh barang-barang kami dan mengangkutnya ke mobil. sesekali ia tapak menelfon teman nya.
Alhamdulillah... kami dapat tempat bermalam di rumah seorang teman yang berbaik hati menampung kami. Semoga Allah memberikan balasan dengan kebaikan yang berkali lipat padanya, aku tak kan melupakan kebaikan kalian pada kami...
Catatan ini saya buat dalam rangka mensyukuri nikmat yang Allah anugrahkan kepada kami hingga hari ini. bahwa pertolongan Allah begitu dekat. Bahwa Allah pergilirkan suka dan duka untuk manusia untuk menguji siapakah diantara kita yang paling baik amalnya. Bahwa Allah begitu sayang kepada hamba-Nya. dan bahwa kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau belaka.
Subhanallah... gak nyangka yah, masa-masa sulit telah berlalu. Alhamdulillah ya Allah... setiap rumah tangga pasti akan diuji, namun ingatlah bahwa ketika ujian itu semarin berat seperti badai yang tak mungkin dihalau, itu tandanya jalan keluar segera datang. cahaya terang kan segera bersinar. aku buat catatan ini tahun 2012, dua bulan setelah kejadian ini keajaiban demi keajaiban datang. kini, kami telah punya usaha mandiri, melunasi seluruh hutang (yang nominalnya lebih dari 50 juta), dll. Allahu akbar walillahil hamd.... sujud syukurku padamu ya Allah...
ReplyDelete